Mohon tunggu...
hesa adrian
hesa adrian Mohon Tunggu... mahasiswa -

Make your sillences as a gold And make your words as a diamond Thats what makes man a man

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Pemilukada di Indonesia (Bag III)

23 November 2010   14:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:21 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proses Kampanye Pemilukada

uang panas by ~nooreva

Ini adalah proses ketika pesta demokrasi rakyat akan sangat terasa. Ketika semua partai mengibarkan panji – panji kebesarannya, mengerahkan seluruh massanya, dan meneriakkan segala jargonnya. Namun disisi lain ini sekaligus saat – saat terbesar perputaran uang terjadi, sebuah transaksional politik massal berlangsung. Karena ini adalah saat ketika pemberian “hadiah” dari para calon Kepala Daerah kepada rakyat yang telah dibutakan oleh “hadiah” tersebut. Kini hadiah tersebut tidak selalu dalam bentuk uang, seperti ketika ada pemberian kain sarung di Kabupaten Simalungun atau Pesawaran, bahan pangan/makanan pokok, peralatan sekolah, pembuatan fasilitas umum seperti lapangan sepak bola yang dibiayai calon, hingga yayasan pondok pesantren atau panti asuhan pun tiba-tiba tersengat banyak bantuan.

money talks more dalam Pemilukada.

Hal – hal tersebut adalah berbagai modus yang terungkap di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga saat ini, MK telah menangani setidaknya 174 perkara. Sudah sering diakui, politik uang memang terjadi di hampir seluruh pilkada. Kalau pada 2010 ini terdapat 244 pilkada, maka hampir di seluruhnya terjadi praktik-praktik tersebut. Adapula modus baru yang juga terungkap di persidangan, yaitu penggunaan tim relawan. Beranggotakan puluhan hingga ratusan ribu orang, tim itu juga termasuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah bersangkutan. Seperti terungkap dalam putusan MK untuk perkara sengketa pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah, anggota tim relawan pasangan calon Sugianto-Eko Sugianto berjumlah 78.238 atau sekitar 62,09 persen dari total pemilih. Relawan itu mendapat uang Rp 150.000-Rp 200.000. Dalam putusannya, MK membatalkan penetapan pasangan calon terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kobar[1]. Satu hal yang perlu disadari, melakukan serangan fajar seperti membagi – bagikan uang kepada rakyat akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Dan besarnya biaya untuk melakukan hal ini tidak akan dapat terbayar hanya dengan gaji Kepala Daerah, sehingga akan sangat terbuka peluang korupsi ketika telah terpilih dan menjabat sebagai Kepala Daerah. Sekali lagi ini membuktikan money talks more dalam Pemilukada. Ketika terpilih menjadi Kepala Daerah

KPK - Founding Father by ~adjie76

Setelah melalui proses Pemilukada yang cukup panjang, akan ada Kepala Daerah terpilih. Jika kita melihat sedikit ke belakang, ketika Kepala Daerah yang mendapatkan kemenangannya dengan berbagai kontroversi maka berbagai kontroversi yang lainpun akan terus bermunculan. Jika telah terikat kontrak dengan suatu perusahaan terkait dengan dana bantuan pencalonan ataupun kampanye, maka perusahaan tersebut akan menagih hadiah tender yang akan diberikan cuma – cuma. Jika telah kehabisan uang karena gerilya serangan fajar door to door dengan dana dari kantong sendiri, maka ini adalah kesempatan emas untuk mengembalikan uang yang telah digunakan sebelumnya atau bahkan mendulang lebih dari yang menjadi ekspektasi. Sebuah pertanyaan sederhana akan muncul, melihat keadaan tersebut. Apakah benar ada Kepala Daerah yang bermasalah atau menjadi tersangka korupsi, namun tetap menjabat seperti biasa?  Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Jefferson Rumajar, yang tengah jadi tersangka KPK dalam perkara dugaan penyalahgunaan APBD hingga Rp 19,8 miliar, memenangi pilkada pada 3 Agustus 2010 lalu, adapula Yusak Yaluwo Bupati Boven Digoel Papua yang disidang. Walaupun didakwa melakukan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Boven Digoel tahun 2005 hingga 2007 senilai Rp 49 miliar, tetapi Yusak mengklaim dia tetap ”didukung”[2]. Faktanya memang syarat agar seorang Kepala Daerah dapat dicopot harus sebagai terdakwa. Ini akan menjawab pertanyaan mengapa power tends to corruption, betapa sebuah posisi yang sangat strategis untuk menjadi koruptor dan manipulator. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya daerah dengan APBD bermasalah, buktinya dari 54 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah atau mantan kepala daerah sepanjang 2005-2010, separuh lebih terkait penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sepertiga lebih terkait tender proyek. Sisanya korupsi terkait penyalahgunaan alokasi dana lainnya, seperti dana bantuan sosial atau kas daerah.

korupsi yang dilakukan Kepala Daerah akan menggurita ke berbagai elemen

Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, terjadi 38 kasus korupsi di keuangan daerah pada semester pertama 2010, meningkat dari 23 kasus periode yang sama tahun 2009. Beberapa kasus APBD dengan potensi kerugian negara sangat besar selama tahun 2010 di antaranya adalah pembobolan kas daerah Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar, APBD Indragiri Hulu sebesar Rp 116 miliar, kas daerah di Pasuruan, Jawa Timur, sebesar Rp 74 miliar, dan dana otonomi daerah di Boven Digoel sebesar Rp 49 miliar. Secara keseluruhan, ICW mencatat dua kali lipat lebih penindakan kasus korupsi selama semester pertama 2010 dengan 176 kasus korupsi mengakibatkan kerugian negara Rp 2,1 triliun. Ini adalah masa puncak, dimana kegiatan korupsi yang dilakukan Kepala Daerah akan menggurita ke berbagai elemen. Dan jika tidak tercium baunya, akan sangat sulit melacaknya karena pada akhirnya ini akan menjadi sebuah lingkaran setan yang melibatkan banyak pihak. Pasca menjabat menjadi Kepala Daerah Ketika masa jabatan Kepala Daerah telah menemui memasuki masa – masa akhir jabatan, adalah blindspot yang sering terlewat oleh media. Padahal tidak jarang Kepala Daerah yang masih menjabat dan berniat ingin mencalonkan diri lagi, mencoba kembali bermain dengan APBD untuk meningkatkan keterpilihannya. Salah satu bagian APBD yang biasa di utak – atik disaat akhir jabatan ialah dana bantuan sosial. Cukup dengan menghentikan penyaluran dana bantuan sosial selama setahun, maka sudah cukup tabungan untuk modal mencalonkan diri kembali di Pemilukada selanjutnya. Jika dibiarkan ini akan menjadi mata rantai yang akan terus menyambung tanpa henti. Harus ada seorang whistle blower yang melaporkan dan memutuskan rantai korupsi tersebut. Sehingga fenomena korupsi di Pemilukada tidak akan pernah menjadi cyclus theory. [1] Kompas, Jumat 8 Oktober 2010 [2] Kompas, ibid

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun