Mohon tunggu...
Hery The
Hery The Mohon Tunggu... -

Berbagi cerita secara lisan dan dalam bentuk tulisan merupakan kegiatan produktif seorang pembelajaran sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sudahkah Kita Menjadi Manusia?

25 Mei 2012   21:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:47 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apa sebenarnya hakikat manusia? Apakah manusia sama dengan entitas lain di alam semesta ini? Atau, manusia harus memperoleh perlakuan khusus sebagai entitas alam semesta, karena dirinya merasa spesial? Saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan melakukan refleksi pada hubungan diri saya dengan sekitar saya. Saya rasa ini akan lebih baik sebelum saya mampu mengurusi orang lain, mengurusi negara, membahas tentang penangan korupsi, mencela penanganan hak asasi manusia, mempertanyakan keadilan untuk kelompok tertentu. Sudahkah saya atau anda menjadi manusia?

Pertama, ketika saya bangun pagi dan melihat ke luar jendela kamar, saya akan melihat hamparan Gunung Manoa, Honolulu, Hawaii, dan langit yang maha luas. Hamparan gunung itu begitu hijau dan langit itu biru diselingi awan-awan putih. Tangan saya tidak akan mampu meraba dan memegang semua kemegahan itu. Tetapi kemegahan tersebut terpatri sebagai bagian dari alam, dan saya bisa melihat kebesarannya. Di balik celah-celah gunung tersebut, rumah-rumah penduduk nampak begitu kecil. Rumah-rumah itu seperti model mainan rumah dan hotel yang saya gunakan untuk bermain monopoli. Dalam celah-celah gurung tersebut, sangat sulit untuk bisa melihat manusia. Begitu kecilnya manusia, ia bahkan bisa terlupakan. Rindangnya kehijauan dan kadang burung-burung justru dapat terlihat lebih jelas. Dari gambaran ini, saya menjadi sangat jelas, manusia hanyalah bagian dari alam semesta ini. Dirinya tidaklah lebih penting dari entitas lain di alam ini.

Kedua, seringkali saya merasa bahwa orang lain bertindak dan berlaku tidak adil kepada saya. Ketika saya memesan buku dari toko buku online, misalnya, saya membayar mahal untuk biaya kirim dengan harapan buku tersebut bisa tiba tepat waktu. Pengusaha toko buku tersebut mencoba mengirimkan paket tepat pada waktunya. Namun, saya ternyata tidak menyadari, badai salju menghambat perjalanan truk yang memuat buku saya. Buku saya terlambat tiba di alamat saya seminggu. Saya mulai melakukan protes ke penjual dan meminta pengembalian biaya kirim. Kadang kala, penjual tertentu menyanggupi pengembalian biaya tersebut sebagai kompensasi. Tetapi tidak jarang juga, penjual menganggap bahwa kondisi cuaca yang buruk bukan merupakan kesalahan dirinya, sehingga mereka menolak permintaan tersebut. Saya dan pihak penjual dalam kasus kedua ini memiliki tolak pemikiran yang berbeda. Hasilnya, salah satu pihak merasakan ketidakadilan. Kuncinya, ketidakadilan dapat terjadi jika tolak ukur/nilai yang digunakan oleh manusia untuk mengukur keadilan tidak sama. Ketidakadilan adalah sesuatu yang sangat wajar dalam kehidupan manusia, karena manusia memang sulit untuk bisa berlaku adil akibat adanya pilihan nilai/tolak ukur yang beragam.

Ketiga, saya dan mungkin juga anda akan sangat senang mendapatkan pujian dan juga sanjungan. Sebaliknya, saya akan merasa sangat sedih jika mendapatkan celaan atau kritikan. Namun, sanjungan dan kritikan akan selalu datang di dalam kehidupan saya, silih-berganti. Jika saya menyikapi celaan dan kritikan dengan negatif, saya akan mulai bersikap antipati dan bahkan mungkin memusuhi orang-orang yang mencelah atau mengkritik. Akan tetapi, saya sendiri juga kadang suka menyatakan ketidaksenangan kepada orang lain, yang mungkin akan ditafsirkan oleh orang tersebut sebagai kritikan atau celaan. Saya mencoba melepaskan kaca mata diri saya dan mencoba memasang kaca mata orang yang mengkritik saya. Betapa indahnya kritikan tersebut, ketika celah-celah kekurangan saya menjadi jelas. Dengan sedikit melakukan refleksi, kritikan dan celaan tersebut dapat menjadi bahan belajar untuk hidup yang sulit untuk bisa diperoleh melalui pendidikan formal. Singkatnya, sebagai manusia saya menyenangi pujian dan sanjungan, tetapi pujian dan sanjungan tersebut justru tidak memberikan pelajaran untuk hidup lebih baik sebagai manusia dibandingkan dengan celaan dan kritikan.

Sementara ini, saya dapat menyimpulkan:


  1. Manusia adalah elemen alam semesta, dan dirinya tidak lebih penting dari elemen alam semesta lainnya.
  2. Manusia berbuat, menciptakan, dan merasakan ketidakadilan. Oleh sebab itu, ketidakadilan akan tetap ada di dalam kehidupan manusia.
  3. Manusia sejati adalah orang-orang yang mampu menerima celaan dan kritikan sebagai pelajaran hidup, untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun