Saat ini saya masih menikmati masa-masa akhir libur dalam rangka memperingati Hari National Tiongkok (国庆节) yang dalam pin-ying “guo qing jie”. Hari National Tiongkok ditetapkan untuk memperingati terbentuknya People’s Republic of China. Sekolah-sekolah terutama memiliki libur yang cukup panjang, namun tentu saja bisnis dan pariwisata tidak akan turut libur pada saat-saat ini. Saat-saat ini merupakan masa paling menguntungkan bagi bisnis dan pariwisata karena turis-turis lokal dan internasional mengunjungi berbagai tempa-tempat hiburan dan menghabiskan waktu untuk jalan-jalan. Tiket-tiket kereta api dan pesawat agak sulit untuk dapat diperoleh secara langsung pada hari keberangkatan. Libur di sekolah-sekolah berlangsung dari tanggal 1 – 7 Oktober.
Pada hari pertama libur, tidak direncanakan sebelumnya, saya akhirnya untuk pertama kali berjalan-jalan bersama bersama beberapa guru-guru yang berasal dari Amerika. Dua dari mereka menawarkan untuk bergabung makan siang di Rainbow Mall dan kemudian lanjut jalan-jalan di Wanda Mall. Tujuan mengunjungi Rainbow Mall adalah untuk makan di American-Mexican Restaurant yang tentu saja ada di Tiongkok. Dasar lidah Asia, masakan Mexico yang menurut teman-teman enak bagi saya hanya biasa-biasa saja dan harganya tentu saja relatif lebih mahal. Untuk paket Beef and Beans Burrito, dipatok harga 55 Yuan, yang kalau makan masakan ala Tiongkok sudah bisa makan 3 – 5 kali.
Selesai makan kami jalan-jalan sebentar melihat Rainbow Mall dan kemudian menuju ke Wanda untuk menunggu dua guru lain yang tinggal di kampus lama datang untuk bergabung. Perjalanan dari kampus lama, Jishan ke Jinghu bisa makan waktu 1 – 1.5 jam jika kondisi lalu lintas sedang padat ditambah dengan daerah yang dilewati bus tersebut merupakan pusat kemacetan. Teman-teman dari Amerika tersebut tentu saja memiliki latar belakang etnis yang berbeda. Dua diantaranya adalah African American, satu berwajah Eropa alias kulit putih, dan yang satunya lagi Korean-American. Banyak pengalaman menarik yang saya amati ketika berjalan bersama-sama rombongan yang sangat beragam etnik dan ras ini.
Jujur boleh dikata meskipun pernah les Bahasa Mandarin secara sembunyi-sembunyi di masa pemerintahan presiden Soeharto, saya sendiri merasa mumet dan sakit kepala melihat karakter dan membandingkan bunyi bahasanya. Jadi karena kemalasan itu, Bahasa Mandarin saya kalau dikasih nilai dari 1 – 10 yah cocoknya berada di antara 3 – 5, alias bisa aja nyerocos tapi kadang berantakan dan masalah tulisan jelas minta ampun karena dulunya belajar karakter tradisional, malah jadi terkesan buta huruf ketika melihat karakter yang disederhanakan. Namun yang jelas bahasa tubuh gambar, dan kamus membantu untuk komunikasi. Meskipun beberapa kali saya sempat juga dimarah-marahi karena tidak bisa berbahasa mandarin. Terkesan lucu memang, tetapi saya sendiri justru tidak bisa marah kalau mereka tidak bisa ngomong Inggris.
Saya memang harus minta maaf kepada almarhuma lao-lao (ama) yang sudah berusaha keras agar saya punya kesempatan belajar namun tidak saya manfaatkan. Mana pernah terikirkan bakalan datang ke Tiongkok waktu saya kecil karena ayah saja kerja serabutan dan untuk bayar uang sekolah saja susah. Ditambah lagi ayah meninggal dalam kecelakaan saat saya baru akan mulai kuliah dan bersama ibu saya harus mencukupi kehidupan keluarga sambil mencoba mengobati almarhuma adik yang waktu itu terkena kanker. Tetapi begitulah hidup, berjalan terus dan tentu saja ada banyak cerita yang bisa ditulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H