Mohon tunggu...
Hery Sinaga
Hery Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil

-Penulis konten -saat ini sedang suka-sukanya menggeluti public speaking -Sedang menyelesaikan buku motivasi -karya novel : Keluargaku Rumahku (lagi pengajuan ke penerbit)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bekerja Membosankan, Ketika Gaji Mengikuti Deret Hitung Namun Kebutuhan Hidup Mengikuti Deret Ukur

18 September 2023   09:35 Diperbarui: 18 September 2023   10:04 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : https://m.brilio.net/creator/merasa-jenuh-dan-bosan-ketika-di-kantor-ini-solusinya--101938.html

Ketika ditanya, apakah bekerja itu membosankan? Mungkin sebagian menjawab membosankan, mungkin sebagian menjawab sebaliknya yaitu tidak membosankan.

Rutinitas yang dilakukan setiap hari, hampir menghadirkan suasana yang sama. Bangun di pagi hari, siap-siap berangkat kerja ke kantor, ketemu dengan teman kantor, mengerjakan kerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawab sesuai dengan posisi kita. Atau kalau ada instruksi atasan untuk dikerjakan, ketika hari sudah sore menjelang malam, beres-beres file dan dokumen untuk bisa segera pulang.

Begitu seterusnya, dari hari senin sampai dengan jumat, walau ada sebagian perusahaan yang mewajibkan karyawannya untuk masuk di hari sabtu. Seakan monoton karna menjalani rutinitas yang itu-itu saja. Tanggal awal bulan ada notifikasi masuk tanda gaji sudah masuk ke rekening tabungan, gak sampai akhir bulan, gaji ditabungan sudah habis untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagi sebagian pekerja, gaji hanya numpang lewat, karena tidak terasa sudah habis aja sebelum waktunya.

Gimana tidak cepat habis, gaji yang sesuai UMR, harus dipakai untuk bayar cicilan utang, biaya sekolah anak, beli ini dan itu. Gaji yang ada tidak sebanding dengan pengeluaran rutin yang harus dipenuhi. Akhirnya yang ada membuat jadi jenuh, capek-capek bekerja, hanya bisa menikmati gaji untuk kebutuhan yang terbatas. Sementara untuk hal-hal yang lain, harus di tahan dulu selera karena kondisi uang yang pas-pasan. Mengharap pada kenaikan gaji, belum tentu sesuai dengan ekspektasi. Semua kembali kepada pengambil kebijakan dan pemilik perusahaan.

Situasi dan realitas yang ada saat ini, memunculkan pemikiran dalam labirin imajinasi, kalau bekerja hanya begini-begini saja, membosankan juga. Gaji yang ada, tidak cukup untuk menghilangkan residu dari kelelahan akibat bekerja sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan dan sepanjang tahun.

Sebagai akibat rasa bosan yang mendera dengan rutinitas dan realitas yang ada, mencoba berkhayal, kalau saat ini pengen berada pada fase, menikmati hidup, tapi gaji jalan terus. Pengen travelling kemana saja, tapi tidak takut uang habis, karena ada penghasilan yang setiap bulan mengalir cukup ke rekening.

Sayang kalau semua itu hanya hayalan yang ada dalam pikiran, sebagai cara untuk mengobati kebosanan dan kejenuhan dengan pekerjaan yang ada saat ini yang seakan jalan di tempat, tidak mengalami grafik menaik. Sesuatu yang mustahil memang untuk bisa menikmati hidup tanpa bekerja, namun punya gaji yang mengalir terus menerus ke rekening.

Mungkin sebagian dari pekerja yang merasa ada pada fase menjalani pekerjaan yang membosankan, punya pemikiran yang demikian. Pengen menjalani hidup yang ada pada fase, punya gaji cukup, tapi tidak bekerja, dan bisa travelling kemana-mana.

Bisa menjalani setiap harinya bangun tanpa buru-buru, tidak harus lagi berhadapan dengan pagi yang memaksa untuk bangun pagi, beberes untuk siap-siap berangkat kerja walau mata masih mengantuk, beradu dalam kemacetan di jalan sepanjang perjalanan ke kantor, tidak lagi berhadapan dengan kerjaan yang membosankan, rekan kerja yang munafik, reseh, atasan yang ngebossy, dan semua drama pekerjaan lainnya.

Mungkin salah satu penyebab semua kondisi ini, kenaikan gaji yang ada saat ini seperti mengikuti deret hitung (misal dari 1,2,3,4,5, dst), namun disisi yang lain kebutuhan hidup dan yang lainnya seperti mengikuti deret ukur (misal, 2,4,8,16,dst) sebagaimana dikatakan dalam teori Thomas Robert Malthus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun