guru badut" sebagai sebuah respon dari kurikulum merdeka yang lebih mengedepankan pembelajaran yang menyenangkan. Istilah ini menjadi sorotan di dunia pendidikan dimana hal itu dimaksudkan untuk menggambarkan guru yang lebih mementingkan aspek hiburan atau penampilan ceria dalam pembelajaran. Selain itu "guru badut" ini lebih berfokus kepada memenuhi tuntutan administrasi daripada memberikan pendidikan yang esensial.
Menjelang aktifnya pembelajaran semester dua ini muncul istilah "Penulis memberanikan diri untuk membuat tulisan untuk menjawab kesalahpahaman tentang istilah "guru badut" tersebut. Guru merasa terdorong untuk tampil kreatif atau inovatif demi memenuhi tuntutan administrasi atau penilaian tertentu lebih-lebih seorang konten kreator. Guru badut ini juga sering menghadirkan keceriaan dalam pembelajaran yang hanya sebagai sebuah adegan tanpa dampak nyata terhadap proses belajar mengajar. Bahkan terkadang praktik ini sering mengabaikan tujuan pendidikan yaitu mentransfer pengetahuan dan pengembangan karakter siswa.
Bahkan banyak pihak yang mengingatkan guru untuk tidak terjebak pada formalitas dan penampilan luar apalagi hanya untuk kebutuhan konten tertentu. Pengajaran harus tetap fokus pada kualitas dan esensi pendidikan bukan hanya sekedar menarik secara visual atau emosional. Ini tentunya mengajak kita sebagai guru untuk dapat melihat fenomena ini sebagai evaluasi dalam proses pembelajaran yang kita lakukan selama ini.
Sebagai seorang guru penulis tidak setuju dengan istilah "guru badut" karena dinilai melecehkan guru sebagai sebuah profesi yang sangat mulia. Kita semua tahu bahwa dalam setiap pembelajaran guru diharapkan menghadirkan pembelajaran yang menyenangkan dengan gaya yang kreatif sehingga dapat menghibur audiensnya. Menggunakan pendekatan pembelajaran menyenangkan ini memiliki banyak manfaat.
Sebagai seorang guru kita juga diminta untuk kreatif dalam setiap proses pembelajaran yang dilakukan dengan mengkombinasikan pembelajaran dan permainan di dalam kelas merupakan cara yang efektif agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Kita juga tidak bisa memaksa siswa untuk tetap fokus diam dan mendengarkan materi yang kita ajarkan karena gaya belajar masing-masing siswa berbeda.
Penulis ingat nasehat yang berharga dari bapak pendidikan Indonesia Bapak Ki Hajar Dewantara didiklah siswa kita sesuai kodrat zaman dan kodrat alam. Makna nya guru tidak bisa menerapkan pembelajaran yang sama terhadap setiap siswa yang diajarkannya. Dan untuk menyiasati itu guru menggunakan berbagai permainan, ice breaking di setiap pembelajaran yang dilakukan.
Fenomena guru badut dapat mencerminkan transformasi dunia pendidikan yang berusaha mengikuti perkembangan zaman, terutama di era digital. Tetapi diperlukan keseimbangan agar kreativitas tidak mengorbankan substansi pembelajaran. Diperlukan juga sinergi antara guru, institusi pendidikan, dan masyarakat perlu untuk menjaga esensi pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter dan kompetensi siswa. Penggunaan pendekatan yang menyenangkan diperbolehkan tanpa terjebak dalam tuntutan hiburan semata dan yang terpenting tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Hery Setyawan Guru SMPN 42 Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H