Selain itu, Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999, khususnya Pasal 36, menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kepemilikan harta yang diperoleh secara sah, dan hak tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang. Dalam kasus pengadaan tanah, pengambilalihan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum harus memperhatikan prinsip-prinsip ini. Apabila pemerintah tidak segera melaksanakan putusan pengadilan atau memberikan ganti rugi yang layak, hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak dasar pemilik tanah. Dalam analisis perlindungan hukum kasus Jalan Tol Jatikarya, terlihat bahwa sistem pengadaan tanah yang diterapkan belum sepenuhnya menjamin keadilan bagi pemilik tanah. Asas keadilan dan kesejahteraan yang menjadi landasan dalam Undang-Undang Pengadaan Tanah tidak selalu tercapai dalam praktiknya. Pemilik tanah yang terdampak proyek infrastruktur besar terjebak dalam ketidakpuasan akibat ketidakpastian penyelesaian ganti rugi. Meskipun mekanisme seperti konsinyasi dan musyawarah telah diatur, kenyataannya banyak pemilik tanah yang merasa dirugikan oleh prosedur yang lambat dan tidak transparan serta berujung tidak terselesaikannya permasalahan yang ada. Untuk mencapai keadilan yang lebih baik dalam pengadaan tanah, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya mematuhi undang-undang yang berlaku, tetapi juga untuk memastikan bahwa hak-hak pemilik tanah terlindungi secara maksimal. Proses musyawarah harus dilakukan dengan lebih transparan dan inklusif, sehingga pemilik tanah merasa dilibatkan dalam setiap tahap pengambilan keputusan. serta memberikan kepastian dan keadilan bagi semua pihak.
PENUTUP
Kesimpulan
Pembangunan Jalan Tol Jatikarya merupakan proyek strategis yang memiliki manfaat besar dalam memperlancar arus lalu lintas dan memangkas waktu perjalanan, pada kenyataannya proses pengadaan tanah untuk proyek ini menghadapi kendala serius yang berdampak pada masyarakat sekitar. Konflik terkait nilai kompensasi yang dianggap terlalu rendah dan keterlambatan pembayaran ganti rugi menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pemilik lahan yang terdampak. Eksekusi putusan ganti kerugian atas tanah yang terdampak pembebasan lahan untuk kepentingan umum memerlukan kepastian hukum dan kesesuaian dengan prosedur yang berlaku. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 815 PK/Pdt/2018, pelaksanaan eksekusi berlandaskan hukum agraria nasional, seperti UUPA dan UU Nomor 2 Tahun 2012, serta memastikan ganti rugi yang layak diberikan kepada pihak yang berhak. Proses ini melibatkan pengadilan, pemerintah, dan lembaga terkait untuk menjamin keadilan dan transparansi. Meskipun warga telah memenangkan gugatan hingga tingkat Mahkamah Agung, eksekusi putusan tersebut tertunda, memperpanjang ketidakpastian dan memperburuk rasa ketidakadilan. Salah satu masalah mendasar dalam konflik ini adalah keterbatasan kepemilikan legal yang diakui. Banyak warga hanya memiliki girik atau PBB sebagai bukti kepemilikan tanah, bukan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Girik dan PBB dianggap hanya sebagai bukti administrasi pajak, bukan bukti sah kepemilikan tanah menurut hukum agraria yang berlaku. Ketiadaan bukti kepemilikan yang resmi ini menjadikan banyak pemilik tanah tidak dapat menerima kompensasi yang layak, menambah kompleksitas masalah. Selain itu, prosedur pengadaan tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, yang seharusnya melindungi hak-hak warga, tampaknya belum sepenuhnya diterapkan dengan adil dan transparan di lapangan. Prosedur seperti musyawarah untuk menetapkan nilai ganti rugi sering kali gagal mencapai kesepakatan yang memuaskan semua pihak. Nilai kompensasi yang ditawarkan oleh pemerintah sering kali dianggap terlalu rendah oleh warga, terutama bagi lahan-lahan yang berlokasi strategis seperti di Jatikarya. Selain itu, ketika musyawarah tidak mencapai mufakat, pemerintah menerapkan mekanisme konsinyasi, di mana ganti rugi dititipkan di pengadilan. Namun, mekanisme ini justru kerap menimbulkan rasa ketidakpuasan yang mendalam bagi pemilik tanah, karena mereka tidak menerima ganti rugi secara langsung dan kehilangan hak atas tanah tanpa merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang memadai.
Situasi ini menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan bagi warga terdampak. Ketidakpastian waktu pembayaran ganti rugi membuat warga sulit merencanakan masa depan, dan keterlambatan ini memengaruhi kehidupan ekonomi mereka secara langsung. Selain itu, ketidakmampuan pemerintah dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintah. Dalam hal ini, kasus Tol Jatikarya mencerminkan ketidakseimbangan antara kebutuhan pembangunan infrastruktur nasional dan perlindungan hak-hak masyarakat lokal yang terkena dampaknya. Secara keseluruhan, meskipun terdapat regulasi yang mengatur proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, implementasinya di lapangan masih jauh dari prinsip keadilan yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak pemilik tanah dalam proyek Tol Jatikarya tidak sepenuhnya terlindungi, sementara pemerintah tetap melanjutkan proyek tanpa mengakomodasi kepentingan warga secara proporsional.
Daftar Pustaka
Buku
Arba, H. 2019.Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Jakarta Timur: Sinar Grafika
Diantha, I 2016 Metodelogi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta
Efendi, J & Johny I 2018 Metode Penelitian Hukum:Normatif dan Empiris, Prenada Media Group, Jakarta
Johny Ibrahim 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, hal. 295