Mohon tunggu...
Hery Priyadi
Hery Priyadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa / Pengajar / Penulis

Karawang , Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Studi Kasus Proyek Jalan Tol Jatikarya (Analisis Perlindungan Hukum di Indonesia)

25 November 2024   17:57 Diperbarui: 25 November 2024   18:03 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Jalan tol Jatikarya Bekasi 

 Mekanisme Pelaksanaan Eksekusi Ganti Rugi Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah bagi Proyek Pembangunan Jalan Tol Jatikarya Berdasarkan Putusan Nomor 815 PK/Pdt/2018

Eksekusi putusan ganti kerugian terhadap pemegang hak atas tanah yang terkena pembebasan lahan untuk proyek pembangunan demi kepentingan umum memerlukan kepastian hukum serta kesesuaian dengan prosedur hukum yang berlaku. Dalam konteks Putusan Mahkamah Agung Nomor 815 PK/Pdt/2018, terdapat landasan hukum dan mekanisme yang harus dipahami untuk memastikan bahwa proses ini berjalan sesuai aturan. Pelaksanaan eksekusi putusan perdata diatur oleh beberapa regulasi yang relevan, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa negara dapat mengambil hak atas tanah untuk kepentingan umum dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan adil. Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional mengatur kompensasi serta penanganan dampak sosial yang timbul akibat pengadaan tanah. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum juga mengatur pembayaran ganti kerugian yang dilakukan kepada pihak yang berhak setelah penetapan bentuk dan nilai ganti kerugian melalui musyawarah. Sebagai pedoman dalam pelaksanaan putusan, Mahkamah Agung merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009 yang mengatur pengajuan permohonan peninjauan kembali jika terdapat pertentangan antar putusan.

Dalam analisis Putusan Nomor 815 PK/Pdt/2018, Mahkamah Agung memutuskan bahwa Putusan Nomor 218 PK/Pdt/2008 menjadi dasar hukum yang berlaku, karena telah menetapkan status kepemilikan tanah dan besaran ganti kerugian. Keputusan ini mengakhiri ketidakpastian hukum akibat pertentangan dengan dua putusan lainnya, yaitu Putusan Nomor 543 PK/Pdt/2013 dan Putusan Nomor 331 PK/Pdt/2017. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menyatakan bahwa objek sengketa berupa tanah di Desa Jatisampurna/Jatikarya adalah milik para penggugat dan mereka berhak atas ganti rugi sebesar Rp228.713.400.000,00. Keputusan ini mencerminkan prinsip litis finiri oportet yang memastikan adanya penyelesaian akhir dalam perkara hukum. Proses eksekusi dimulai dengan permohonan dari pihak yang memenangkan perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Pengadilan kemudian melakukan identifikasi objek eksekusi dengan meninjau lokasi tanah yang akan dieksekusi, serta memberitahukan para pihak terkait mengenai pelaksanaan eksekusi. Pembayaran ganti rugi, yang jumlahnya telah ditetapkan dalam putusan, dilakukan kepada pihak yang berhak setelah nilai ganti kerugian disahkan oleh Lembaga Pertanahan. Setelah pembayaran selesai, eksekusi fisik tanah dapat dilakukan, termasuk pengosongan lahan dan penyerahan tanah kepada pihak yang berwenang untuk pembangunan. Dalam proses ini, pengadilan dan aparat hukum akan mengawasi pelaksanaan eksekusi.

Penyelesaian dampak sosial akibat pengadaan tanah juga menjadi perhatian, sebagaimana diatur dalam Perpres No. 62 Tahun 2018, yang mencakup pemberian kompensasi atau fasilitas tambahan bagi masyarakat terdampak, seperti tempat tinggal baru atau pelatihan kerja. Namun, pelaksanaan eksekusi sering kali menghadapi hambatan, antara lain ketidakpuasan pihak-pihak yang merasa dirugikan, klaim kepemilikan oleh pihak ketiga, dan resistensi dari masyarakat yang menguasai tanah. Putusan Mahkamah Agung Nomor 815 PK/Pdt/2018 menegaskan pentingnya kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa tanah. Penetapan Putusan Nomor 218 PK/Pdt/2008 sebagai dasar hukum yang berlaku mencerminkan prinsip nebis in idem, yang mencegah perkara yang sama diadili berulang kali. Pelaksanaan eksekusi harus dilakukan dengan transparansi dan sesuai dengan ketentuan hukum untuk menghindari konflik lebih lanjut. Pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) perlu memastikan bahwa ganti rugi yang layak dan adil diberikan kepada pihak yang berhak, serta memperkuat mekanisme mediasi dan pengawasan untuk mencegah sengketa serupa di masa mendatang, demi mendukung proyek pembangunan yang bermanfaat bagi kepentingan umum tanpa mengabaikan hak-hak pemegang tanah. Pelaksanaan eksekusi putusan perdata memang tidak hanya bergantung pada aturan yang ada, namun juga memerlukan ketegasan dari pengadilan untuk memastikan bahwa keputusan yang telah ditetapkan dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini, proses eksekusi yang melibatkan pihak pengadilan, pemerintah, dan lembaga terkait lainnya, harus dilakukan secara adil, transparan, dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Putusan Mahkamah Agung yang menetapkan Putusan Nomor 218 PK/Pdt/2008 sebagai dasar hukum yang sah menunjukkan bahwa keberlanjutan hukum harus dihormati, dan penegakan hukum yang konsisten sangat penting untuk menciptakan kepastian hukum.

Selain itu, dalam pelaksanaan eksekusi, penting juga untuk memperhatikan hak-hak masyarakat yang terdampak. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sering kali menyisakan dampak sosial, seperti relokasi atau kehilangan mata pencaharian bagi warga yang terdampak. Oleh karena itu, pihak terkait perlu memastikan bahwa dampak sosial ini ditangani dengan bijaksana dan sesuai ketentuan hukum, agar tidak menambah ketegangan atau konflik baru. Pemerintah dan lembaga seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus berperan aktif dalam mengelola pengadaan tanah dan memberikan ganti rugi yang layak, serta memfasilitasi warga yang terdampak dengan berbagai bentuk kompensasi, seperti perumahan atau bantuan ekonomi. Proses eksekusi yang lancar dan adil akan memberikan contoh bagi masyarakat tentang pentingnya ketegasan hukum dan keadilan dalam penyelesaian sengketa tanah. Selain itu, hal ini juga akan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia dalam mendukung proyek-proyek strategis yang penting bagi pembangunan nasional, sambil tetap menjaga hak-hak individu. Dengan demikian, eksekusi putusan yang dilakukan dengan baik akan memperkokoh prinsip negara hukum yang menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Namun, dalam praktiknya, pembangunan jalan tol Jatikarya di Kota Bekasi menghadapi masalah ganti rugi sejak tahun 2011, meskipun tol tersebut telah selesai dibangun pada tahun 2023 dan resmi dibuka untuk operasi tanpa tarif. Berdasarkan hasil penelitian, implementasi ganti rugi dalam proyek tol Jatikarya terkendala oleh masalah pembayaran ganti rugi, yang disebabkan oleh ketiadaan sertifikat kepemilikan tanah. Sekitar 78 orang tidak menerima ganti rugi karena menggunakan girik C dan 38 lembar pajak bumi dan bangunan (PBB), yang menghambat pembayaran kepada beberapa warga. Dalam penyelesaian ganti rugi proyek tol Jatikarya, masyarakat berhak menerima ganti rugi karena ahli waris telah memenangkan putusan Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali (PK) II dengan No 815/PDT/2018, pada Desember 2019 dan menyatakan tanah tersebut milik warga Jatikarya. Maka dari itu selanjutnya penelitian ini menganalisis perlindungan hukum terhadap Putusan Mahkamah Agung oleh Pemerintah Kota Bekasi dalam pembayaran ganti rugi tanah masyarakat terkait proyek jalan tol Jatikarya.

Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum Pembangunan Jalan Tol Jatikarya  

Proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, seperti pembangunan Jalan Tol Jatikarya, melibatkan berbagai tahapan hukum yang dirancang untuk melindungi hak-hak pemilik tanah sekaligus memastikan kelancaran pembangunan infrastruktur strategis. Dalam kasus ini, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 menjadi dasar hukum utama yang mengatur tentang prosedur pengadaan tanah dan kompensasi kepada pemilik tanah. Namun, dalam pelaksanaannya, banyak masalah muncul terutama terkait ketidaksepakatan mengenai nilai ganti rugi yang dianggap terlalu rendah oleh pemilik lahan. Menurut Pasal 1 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012, pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan memberikan kompensasi yang layak dan adil. Dalam konteks Jalan Tol Jatikarya, proses musyawarah yang diatur dalam Pasal 37 adalah langkah pertama untuk menetapkan besaran ganti rugi. Namun, dalam banyak kasus, seperti di Jatikarya, musyawarah tidak mencapai kesepakatan karena perbedaan antara nilai yang ditawarkan pemerintah dan harapan masyarakat. Jika musyawarah gagal, Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2012 memberikan hak kepada pemilik tanah untuk mengajukan keberatan ke pengadilan. Warga Jatikarya telah menggunakan hak ini, dan Mahkamah Agung memutuskan untuk memenangkan gugatan mereka. Namun, meskipun putusan pengadilan tersebut bersifat final, pelaksanaannya mengalami keterlambatan. Ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas sistem hukum dalam memberikan kepastian dan keadilan bagi pemilik tanah.

Pelaksanaan pembayaran ganti rugi yang tak kunjung selesai ini bermula dari 78 pemilik hak atas tanah maupun ahli waris nya tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah yaitu Serifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh negara yang diakui sebagai bukti sah kepemilikan tanah dan yang bersangkutan hanya dapat membuktikan Girik yang sejak zaman dahulu dimiliki mereka sebagai bukti kepemilikan, sedangkan Girik tidak bisa dijadikan bukti kepemilikan hak atas tanah karena girik hanya merupakan bukti pembayaran pajak tanah, bukan sertifikat hak milik yang sah. Girik tidak memberikan kepastian hukum mengenai siapa pemilik sah tanah tersebut, karena tidak terdaftar dalam sistem pertanahan yang dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Girik tidak menunjukkan hak kepemilikan atas tanah, melainkan hanya kewajiban administrasi atas tanah tersebut. Tanah dengan girik sering kali rentan terhadap sengketa kepemilikan, karena tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan sertifikat tanah yang kini girik menjadi sebuah istilah yang merujuk pada tanah adat dengan status kepemilikan yang belum terdaftar secara resmi. Keterlambatan ini menimbulkan dampak hukum bagi para pemilik tanah, termasuk ketidakpastian tentang kapan kompensasi tersebut akan mereka terima. Dalam situasi ini, Pasal 40 menyatakan bahwa setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, pemerintah wajib melaksanakan pembayaran ganti rugi. Namun dalam kasus ini pelaksanaan terhambat oleh masalah administrasi dan birokrasi serta dianggap terdapat sengketa tanah, yang dalam hal ini justru berdampak langsung pada kehidupan ekonomi dan sosial warga yang bersangkutan. Salah satu solusi yang digunakan pemerintah ketika terjadi permasalahan sengketa tanah dalam penetapan nilai ganti rugi adalah konsinyasi. Berdasarkan Pasal 42 dan Pasal 43 UU No. 2 Tahun 2012, jika pemilik tanah menolak kompensasi yang ditawarkan, keberadaannya tidak diketahui, atau tanah tersebut sedang dalam sengketa, pemerintah dapat menitipkan ganti rugi di pengadilan. Namun meskipun konsinyasi memungkinkan proyek berjalan, mekanisme ini sering kali menimbulkan rasa ketidakpuasan karena pemilik tanah kehilangan haknya tanpa menerima ganti rugi secara langsung. Penggunaan konsinyasi dapat menimbulkan akibat hukum yang serius bagi pemilik tanah, terutama jika mereka tidak secara aktif mengajukan keberatan dalam waktu yang ditentukan. Pasal 39 menyatakan bahwa jika pemilik tanah tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu yang ditentukan, mereka dianggap telah menerima ganti rugi yang ditetapkan. Ini berarti bahwa meskipun pemilik tanah merasa dirugikan, hak mereka atas tanah akan hilang tanpa mendapatkan ganti rugi yang diharapkan jika mereka tidak mengambil tindakan hukum tepat waktu.

Pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur strategis seperti Jalan Tol Jatikarya menimbulkan berbagai implikasi hukum dan sosial. Dalam konteks ini, pembangunan Jalan Tol Jatikarya menimbulkan konflik antara pemerintah dan warga yang dikarenakan ganti rugi yang ditetapkan tidak kunjung dibayarkan tepat waktu dan hasil musyawarah justru semakin memberatkan masyarakat yang dianggap terdapat "mafia tanah" di dalamnya serta kuasa hukum para pemilik hak atas tanah pun di dakwa atas pemalsuan dokumen. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum seharusnya dilakukan dengan memperhatikan asas keadilan dan kesejahteraan. Asas keseimbangan dalam pengadaan tanah menekankan bahwa hak pemilik tanah harus diakomodasi secara layak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat secara tidak proporsional. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme seperti musyawarah sering kali tidak berjalan dengan optimal. Banyak warga yang tidak memiliki akses ke informasi atau pengetahuan hukum yang memadai, sehingga mereka cenderung tidak mengetahui hak-hak mereka. Hal ini terlihat dari lambatnya respons pemerintah dalam memberikan kompensasi yang layak bagi warga terdampak proyek Tol Jatikarya.

Kasus pengadaan tanah juga berkaitan erat dengan konsep keadilan sosial yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam lainnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, dalam beberapa kasus pengadaan tanah, termasuk proyek Jalan Tol Jatikarya, konsep ini sering kali tidak diterapkan secara maksimal. Warga yang kehilangan tanah mereka sering kali merasa bahwa kepentingan mereka dikorbankan demi pembangunan infrastruktur, tanpa memperhitungkan dampak sosial dan ekonomi jangka panjang. Ketika tanah diambil, mereka kehilangan sumber mekanisme konsinyasi yang seharusnya mencerminkan konsep keadilan sosial, justru sering kali gagal menyelesaikan masalah secara efektif. Bukannya menjadi solusi yang adil, pendekatan ini terkadang memperburuk ketidakadilan dan memperpanjang konflik, sehingga tidak mampu memenuhi tujuan utamanya yaitu menciptakan keseimbangan dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat karena pemilik tanah tetap tidak menerima hak yang harusnya menjadi milik mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun