Budiman ialah anak emas sejarah yang berkawan dengan nestapa perjuangan. Segala dimensi hidupnya untuk penghidupan dan nafas mayoritas orang yang membutuhkan oksigen kebebasan. Budiman ibarat tungku yang apinya tak pernah padam. Selalu menghangatkan tubuh dikala salju turun secara berkepanjangan. Ia, anak zaman yang dilahirkan di saat yang tepat. Saat-saat dimana bangsanya membutuhkan peluh dan perasan fikir-intelektualnya.
Masa kecilnya penuh dengan imaji dan pemberontakan. Jiwanya peka untuk menangkap realitas di sekitarnya yang tak sesuai dengan logika idealnya. Rasanya begitu halus ketika menyaksikan fakta-fakta getir yang menggoyahkan jiwa; kemiskinan, penindasan, kisah pembunuhan brutal dengan alasan tuduhan sebagai antek PKI, dan ketimpangan fakta lainnya yang berkontradiksi dengan logiknya.
Saya kagum dengan masa kecilnya yang enerjik dan penuh gelora. Kelas V SD-disaat teman-teman sebayanya sibuk main atau sekadar merengek minta tambah jatah jajan-ia sudah bersentuhan dengan "Dibawah Bendera Revolusi"nya Bung Karno. Meskipun belum begitu memahami substansi buku "berat" untuk anak seusianya itu namun spirit intelektual dan heroismenya sudah kentara jelas.
Tahap demi tahap dalam hidupnya ialah akumulasi pergolakan didalam batinnya sekaligus protes terhadap situasi sekitarnya yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Masa-masa sekolahnya dihabiskan untuk mengumpulkan energi dan "peluru" yang kelak siap dimuntahkan untuk menuntaskan perlawanan heroiknya terhadap rezim. Obsesinya untuk revolusi tak tertahankan, laiknya Fidel Castro di Kuba, Che Guevara di Amerika Selatan, Corazon Aquino di Fhilipina atau Mao-Tse Tung di RRC.
Budiman sadar bahwa untuk melawan kekuatan tirani yang dilindungi militer dirinya harus berkomplot. Harus mencari kawan seperjuangan yang berhaluan sama. Maka ketika SMP di Bogor, ia lebih disibukkan dengan mengamati teman-temannya untuk dijadikan kawan seperjuangan. Ia temukan seseorang bernama Andri Visaterdy yang kebetulan memiliki hobi sama: melumat segala isu politik. Andri juga kerap memasoknya selebaran-selebaran penting terkait segala tingkah Orde Baru yang tak disebarluaskan.
Budiman dan Andri berkawan akrab. Mereka bak para militan kecil yang melakukan perjuangan bawah tanah untuk melawan kediktatoran rezim. Bocah seusia mereka memang tak mungkin melakukan tindakan-tindakan subversif khas para revolusioner. Meski begitu, di alam bawah sadarnya sudah tergumpal kuat perlawanan revolusi untuk menumbangkan bangunan kekuasaan-dan terbukti, seiring berjalannya waktu, Budiman bertumbuh menjadi sosok muda yang fikirannya dipenuhi oleh seruan-seruan revolusi sebagaimana yang digambarkan didalam buku-buku bacaannya yang dilumat habis.
***
Bagi kebanyakan orang, masa remaja ialah momentum untuk mulai merasakan getar-getar asmara dengan lawan jenis. Namun berbeda dengan Budiman. Sekali lagi, ia adalah manusia pengecualian dari keumumannya. Karena bukan getar-getar asmara yang dirasakannya melainkan glorifikasi perjuangan yang kian membahana di seluruh rongga dadanya.
Kepindahannya ke Yogyakarta yang merupakan basisnya perjuangan mahasiswa, gelora perlawanan dan intelektualitasnya menemukan momentum dan bersimbiosis mutualisme dengan lingkungannya. Bayangkan, semasa SMA ia sudah akrab dengan aktifis-aktifis mahasiswa di UGM atau UII Yogyakarta. Ia juga semakin mengakrabi buku-buku revolusi yang disodorkan oleh senior-seniornya. Misal, Herman, salah seorang seniornya memberikan buku karya Friederich Nietzsche berjudul Thus Spoke Zarathustra. Di saat yang bersamaan, Hermanpun memutarkannya musik klasik hasil olahan maestro Beethoven yang judulnya sama "Demikianlah Sabda Zarathustra" (Hal 230). Menurut kawan yang aktifis itu, untuk menjadi manusia lengkap Budiman harus menguasai empat segi keilmuan: filsafat, sains, teater dan musik (Hal 228).
Pergumulannya dengan senior-senior yang sudah berstatus mahasiswa, plus dengan buku-buku berat yang dilahapnya penuh antusias semakin mematangkan daya fikir dan kekritisannya. Pun ketika ia masuk ke Fakultas Ekonomi UGM, jiwanya lebih condong ke pergerakan ketimbang harus duduk nyaman di kelas sampai kelar dosen memberikan kuliahnya.
Maka gerakan-gerakan mendukung para petani di Cilacap, bahkan sampai di Jawa Timur tak pernah kendur ia lakukan. Beberapa kali tertangkap-menurut hitungannya, total 6 kali tertangkap-tak membuatnya jera. Ancaman pembunuhan oleh antek-antek rezim baik ketika diinterogasi di Bakotranasda (Kodam) Jawa Barat maupun Jawa Timur tak menyurutkan langkahnya. Justru, ancaman terhadap keselamatan fisiknya seakan menjadi pemicu untuk melawan.