Di era internet ini mencari film yang tergolong porno akan mudah didapat. Tinggal streaming atau diunduh pun bisa. Tak hanya bisa dinikmati di komputer bahkan di smartphone sudah menjadi hal yang jamak. Bebasnya rekaman video yang tidak hanya menyuguhkan pornografi, kekerasan, ataupun hal yang dirasa kurang pastas akibat regulasi yang tidak begitu ketat. Mantra kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi menjadi tameng tersendiri agar konten tidak mudah diberangus.
Karena tidak ada yang mengawasi dengan ketat, berbagai konten tentang pornografi, kekerasan, sadisme menjadi bola liar yang sulit diatur. Dengan kebebasan itulah terutama mudahnya akses dan tanpa pengawasan dan pengaturan yang ketat terkadang imbasnya kepada remaja yang belum cukup umur. Akibatnya sudah bisa ditebak remaja saat ini menjadi dewasa sebelum waktunya. Pergaulan bebas dan seks pranikah kadang menjadi sesuatu yang biasa di kalangan muda. Itu kadang yang membuat kita miris.
Peran LSF di Ruang Publik
Untuk urusan film bahkan sinetron yang diputar di bioskop dan televisi memang memerlukan penyensoran dan negara berperan di situ. Adalah Lembaga Sensor Film (LSF) yang merupakan “campur tangan” negara untuk menyeleksi film atau sinetron yang akan ditayangkan. Peran LSF sangat berarti dalam menjaga ataupun menyelamatkan warganya terutama generasi muda untuk dapat menikmati tayangan yang “layak” dan tidak.
Tugas LSF tidak saja menyensor film, tetapi juga memberikan klasifikasi film disesuaikan dengan usia penonton. Layak ditonton pada usia 21 tahun karena sudah dianggap dewasa, tetapi tidak layak untuk usia 16 tahun. bukannya dilarang tetapi setidaknya menunda sampai pada usia yang cukup. Hal ini dilakukan karena jelas sesuai peraturan yang ada bertujuan untuk menyelamatkan generasi muda untuk mendapatkan tayangan yang sesuai dengan usianya.
Serbapermisif di Lapangan
Namun, pada kenyataannya harapan tidak sesuai kenyataan. Bisa jadi LSF sudah bekerja dengan benar tetapi kondisi di lapangan banyak hal yang dilanggar oleh penonton sendiri. Kondisi itu juga diperparah oleh pengelola gedung bioskop yang tidak begitu ketat menyeleksi penontonnya. Acap kali kita melihat bahwa anak kecil dibawa nonton oleh orangtuanya, padahal film tersebut tidak sesuai dengan usianya. Tidak melulu urusan pornografi tetapi juga mempertimbangkan unsur kekerasan ataupun sadisme.
Di pertelevisian juga menyalami hal yang sama. Pengelola TV terkadang “khilaf” dalam menayangkan suatu program jam tidak tepat jam tayangnya. Jika diputar tengah malam mungkin tidak menjadi persoalan kadang tayangan tersebut berada pada jam belajar. Kejadian ini tentu sangat miris karena televisi berada pada frekuensi terbuka, berbeda kiranya dengan bioskop yang lebih tertutup dan tidak semua dapat mengaksesnya.
Dilihat dari kondisi lapangan tersebut tugas LSF dirasa cukup berat. Peranan LSF hanya sebatas menyensor dan paling “kejam” adalah tidak mengizinkan untuk ditanyangkan. Batasan LSF tidak dapat memberikan sanksi yang lebih lanjut lagi bila terjadi pelanggaran. Ada institusi lainnya yang lebih berwenang.
Dan kiranya tetap bila LSF melakukan sosialisasi kepada publik agar membudayakan sensor secara mandiri. Berbagai acara dilaksanakan seperti seminar dan workshop. Beberapa waktu lalu LSF bersama excite berpartisipasi dalam acara roadblog di beberapa kota dalam rangka sosialisasi tersebut. Saya berkesempatan hadir yang dilaksanakan di Surabaya 9 April lalu.