Tahun 2014 adalah tahun pemilihan umum (pemilu) nasional baik memilih anggota dewan (DPRD, DPR, DPD) serta presiden dan wakilnya. Disanalah diharapkan rakyat tidak salah pilih sebab masa depan bangsa ini ditentukan. Situasi yang kian memanas ini adalah untuk memilih siapa yang akan memimpin pucuk pimpinan negeri ini, tak lain adalah presiden. Banyak figur yang dijagokan untuk maju, namun tidak sedikit yang menjagokan diri untuk maju menjadi presiden. Banyak figur yang memenuhi syarat, namun banyak jalan terjal menuju presiden bahkan untuk bakal calon sekalipun.
Rintangan itu ada banyak hal. Penilaian standar dilihat dari kapabilitas, kredibelitas, populatitas, sampai eletabilitas sang tokoh. Namun semua itu tidaklah cukup bila tidak ada tiket masuk, yang dimaksud dalam hal ini adalah peran partai politik. Bahwa menurut peraturan yang berlaku adalah parpol yang berhak mengajukan bakal calon presiden. Persoalan muncul untuk penentuan calon presiden tidaklah sesederhana seperti yang ada dalam pikiran. Kuatnya dominasi sang ketua umum dan dewan pembina partai cukup mengganjal para figur yang layak untuk maju. Dari nama yang beredar saat ini belum ada yang menjadi calon definitif. Semua sekecar wacana belaka atau memaksakan diri mendongkrak popularitas . Tidak peduli memperhatikan hasil survey yang tidak menunjukkan hasil signifikan.
Beberapa yang sudah dini mengajukan diri untuk maju calon presiden adalah Aburizal Bakrie dari Partai Golkar, Wiranto bahkan dengan calon wapres sekalian (Hari Tanoe) dari Partai Hanura, serta Probowo dari partai Gerinda. Yang lain masih menunggu dan melihat segala peluang yang ada (wait and see). Hasil pemilu legislatif sangat berpengaruh besar bagi parpoldalam menentukan calon presidennya, di usung dari partainya sendiri atau dengan berkoalisi. Calon presiden tidak menutup kemungkinan diambil dari tokoh luar yang bukan kader, atau bahkan dari kader partai lain.
Inilah susahnya bila lewat jalur independen sudah tertutup, sudah diputuskan melanggar konstitusi. Tidak ada tokoh alternatif yang dapat diajukan walaupun itu kapabel dan kredibel, dan tidak menutup kemungkinan mempunyai elektabilitas lumayan. Maka merekan agak sulit untuk diusung jika tidak dekat dengan kalangan elit partai. Selama ini kedekatan yang terbentuk adalah karena hubungan yang terjalin erat dengan elit partai (baca: ketum/pembina partai) atau karenamempunyai nilai tawar yang susah ditolak: bergelimang harta.
“Menceburkan” sang tokoh
Ada yang menarik dari pernyataan Ahok ketika menjadi tamu dalam acara Mata Najwa off air di UMM (17/11/13). Ia ditanya alasannya begitu berani, jawaban Ahok dengan mengilustrasikan sebuah cerita. Ada suatu kisah sebuah kapal di lautan ada nenek yang tercebur, semua awak tidak mau menolongnya. Dan akhirnya ada ada anak muda yang terjun dan menyelamatkannya.Begitu sampai di atas, semua bertepuk tangan dan memujinya.Anak muda malah balik bertanya bahwa siapa tadi yang mendorongnyahingga jatuh tercebur. Kata Ahok meneruskan ceritanya, anak muda sudah terlanjur tercebur selain menyelamatkan diri juga menyelamatkan nenek itu. Ia mengilustrasikan bahwa anak muda itu dirinya, karena ada yang “menceburkan” dirinya, yang mau tidak mau harus berani.
Dalam konteks “menceburkan” seseorang menjadi pemimpin bukanlah hanya rekaan saja, beberapa kasus menunjukkan hal itu. Diantaranya seperti walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Ia bukan orang politik (politikus) hanyalah biroktrat tulen (PNS) yang mempunyai kinerja luar biasa. Pada awalnya tidak ada yang meliriknya sama sekali, yang pada akhirnya PDI-P berani mengusungnya walaupun ada konflik internal.
Warga Surabaya ternyata masih mempunyai hati nurani, akhirnya Risma pun menang. Warga berhasil “menceburkan” Risma menjadi orang nomor satu di Surabaya tanpa ada pencitraan yang berlebih apalagi money politik. Seperti cerita Ahok, Risma yang kadung tercebur mampu menyelamatkan para “nenek” yang selama ini banyak orang yang enggan untuk turun.
Untuk tataran presiden, sejarah telah mencatat bahwa Gus Dur juga diceburkan oleh anggota MPR (kelompok poros tengah yang dipimpin Amien Rais) untuk menjadi presiden. Kala itu pertimbangannya adalah sebagai jalan tengah pertentangan antara kelompok Megawati dan Habibie, Gus Dur mampu menyelamatkan kondisi yang lebih buruk lagi. Gur Dur adalah tokoh terbaik kala itu walaupun dengan beberapa kekurangan fisiknya.Sama seperti Risma, Gus Dur diceburkan begitu saja. Dealpolitik memang ada namunbau money politic tidak tercium sama sekali.
“Menceburkan” sang tokoh yang pantas menjadi pemimpinmemangada kesan memaksadanmenjadikecelakaan sejarah. Hal itu dilakukankan karena tidak ada pilihan lain. Orang baik kadang perlu dipaksa untuk ditampilkan, didorong, bahkan “diceburkan” sekalian. Seperti ilustrasi Ahoktentang anak muda yang tercebur itu yang selain menyelamatkan diri juga menolong nenek itu. Demikian pula tokoh yang baik itu bila diceburkan, mau tidak mau akan berbuat yang terbaik buat dirinya sekaligus mengatasi masalah di luar dirinyayang dinilai tidak beres. Dan itu hanya dimiliki oleh orang yang berintegritas tinggi dan teguh memegang amanat.
Perlu mekanisme baku
Melahirkan tokoh haruslah melalui sebuah proses. Dalam tataran memilih pimpinan untuk lembaga publik, yang paling ideal adalah produk dari partai politik (parpol). Dengan menjadi kader parpol akan digemleng untuk tujuan politik pula. Jika stok kader tidak ada yang dapat ditonjolkan maka dengan mekanisme partai dapat mencari dan mengajukan orang lain. Cara yang dilakukan adalah parpol membuka pendaftaran atau melakukan mekanisme konvensi, dan itu terbuka bagi semua warga negara.
Parpol idealnyaberfungsi sebagai wadah mencari, mengembleng dan mengajukan figur untuk ditempatkan pada wadah politik kekuasaan negara. Figur-figur terpilih itu disodorkan untuk dipilih rakyat melalui pemilu yang akan menduduki kursi di legislatif (anggota dewan) dan eksekutif (kepala daerah dan presiden). Dalam kondisi Indonesia yang menganut sistem presidensial, rujukannya dapat melihat Amerika yang menganut sistem serupa. Jadi peran ketua umum bukanlah jalan untuk menuju kekuasaan pemerintahan seperti layaknya pada sistem parlementer.
Mekanisme ini memang harus diperjelas konsep ketatanegaraannya mana yang yang mau dipakai, kondiri selama ini adalah memakai sistem presidensial namum rasa parlementer. Maka yang terjadi adalah figur yang tidak dekat dengan elit partai akan sulit diusung oleh partai. Yang banyak terjadi adalah malah dirinya sendiri yang diusung, dipaksakan pula. Pengusungan mengabaikan survey yang banyak dirilis, dengan tidak melibatkan arus bawah (bottom up) tetapi setting-an dari atas (top down). Mekanisme itu seharusnya dibalik sehingga figur yangdiusung benar-benar berkualitas yang memiliki jejak rekam (track record) yang baik dan mengakar di masyarakat.
Jika tidak maka mekanisme “menceburkan” sang tokoh untuk menjadi presiden perlu diterapkan. Mau tidak mau desakan arus bawah untuk mengusung tokoh yang baik perlu di dengar dan direspon parpol untuk dijadikan calon presiden yang akan dipertandingkan di pemilu presiden nanti. Fenomena keterpilihan Gus Dur menjadi presiden dapat terulang lagi, yang penting bangsa ini mendapatkan figur yang berkualitas untuk memimpin negeri ini. Untuk membereskan segala persoalan di dalam negeridan sekaligus mengangkat kewibawaan bangsa di pentas dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H