Mudik lebaran tidak akan lepas dari kampung halaman. Kata kuncinya: kampung, yaitu suatu tempat -bisa jadi- seseorang dilahirkan, dibesarkan, atau dimana orangtua kita tinggal. Bagi yang sudah lama meninggalkan kampung halaman entah karena faktor sekolah, pekerjaan, keluarga (baca: menikah) ataupun alasan lainnya, mudik adalah sesuatu yang dirindukannya. Apalagi bila mudik yang dilakukan secara massal seperti di lebaran ini tentulah ada kesan tersendiri, dengan berbagai pernak-pernik proses didalamnya.
Ketika mudik sampai di kampung halaman, suasana semakin ramai. Sesama pemudik dari berbagai kota tumpah ruah di kampung tempat asalnya itu. Silaturrahmi antarkeluarga, teman sepermainan sebisa mungkin dilaksanakan. Bagi yang tidak mudik saling mengunjungi rumah antartetangga adalah sesuatu yang sudah menjadi keharusan. Itulah "ritual" yang dilakukan seusai lebaran tiba, momen yang didapatkan sekali dalam setahun ini dalam suatu kampung.
Namun bagaimana bila suatu kampung tersebut adalah juga sebagai tempat wisata. Tidak semua kampung dapat seperti itu, inilah salah satu yang unik dari suatu kampung yang berada di kota Malang. Kampung yang dimaksud adalah Kampung Warna-warni Jodipan (KWJ) yang beberapa waktu lalu dan sampai saat ini menjadi viral di media sosial.
Suatu kampung yang pada mulanya kumuh yang berada di bantaran sungai Brantas. Yang kemudian dengan inisiasi mahasiswa UMM yang bekerjasama dengan perusahaan cat (dengan program CSR) mengecat kampung tersebut dengan aneka warna. Mulai dari genting, tembok, dinding pagar, serta jalan. Tidak itu saja, beberapa dinding dilukis dengan gambar yang bagus sehingga menarik untuk dibuat latar berfoto.
Tidak dinyana kampung yang dulunya kumuh menjadi "berwarna" yang pada akhirnya menjadi destinasi wisata baru di kota Malang. Nah, momentum lebaran ini, membuat KWJ semakin ramai. Rabu (28/06) lalu ketika saya mengunjungi KWJ ini, tampak ramai pada sisi gang yang berlalulalang beberapa pengunjung. Ramai yang pertama oleh para kerabat yang berkunjung ke rumah warga yang kebetulan bermukim di kampung tersebut. Yang kedua, oleh para wisatawan baik dari dan luar Malang, yang bisa jadi oleh para pemudik yang sedang mudik ke Malang.
Pertama, lokasinya berada di dalam kota sehingga mudah dijangkau baik kendaraan umum ataupun pribadi. Lokasinya pun tidak jauh dari Alun-alun Tugu dan Stasiun Kota Malang. Kedua, merupakan wisata murah meriah. Cukup membayar dana partisipasi 2 ribu rupiah, kita dapat berkeliling kampung yang didalamnya di cat berwarna-warni. Beberapa bagian diberi aksesoris seperti payung ataupun dekorasi yang menarik.
Dengan mengunjungi kampung yang unik ini selain untuk berwisata juga banyak pelajaran yang dapat dipetik. Bahwa kampung ini menarik karena di cat berwarna-warni adalah nilai lebihnya, dan bisa dihubungkan dengan aspek lainnya. Demikian dengan hidup ini akan terasa lebih indah bila tidak saja berpandangan hitam-putih, ada beragam warna yang perlu diperhatikan. Segala sisi kehidupan diciptakan tidaklah seragam. Dengan segala kekurangan dan kelebihan diharapkan satu sama lain dapat saling mengisi, sehingga menjadi harmoni.
Pelajaran lain yang bisa dipetik adalah kemauan untuk berubah dari yang “buruk” ke arah yang lebih baik. Dahulunya kampung ini termasuk kumuh, dan saat ini tampak bersih plus “bonus” di cat warna-warni. Perilaku warganya juga turut berubah dengan lebih tertip menjaga kebersihan, keindahan, dan kenyamanan kampungnya. Jika kondisi KWJ diaplikasikan dengan kehidupan kita untuk menuju ke arah yang lebih baik, tentu akan ada berubahan yang berarti.
Segala dinamisasi di kampung ini berjalan secara natural, semua berjalan apa adanya. Tidak ada eksploitasi berlebihan seperti “promosi” yang gencar. Tujuan awalnya KWJ ini adalah untuk memperindah suatu kampung yang kumuh, yang kemudian menjadi “berkah” menjadi kawasan wisata. Walaupun pada suasana lebaran, tidak tampak ornamen yang mendukungnya. Seperti keberadaan gambar ataupun replika ketupat, beduk, ataupun arsitektur masjid seperti layaknya yang ada di pusat pembelanjaan.