[caption id="attachment_390676" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber : www.muvila.com"][/caption]
Suatu rencana yang telah tersusun matang tiba-tiba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ikrar pernikahan sebagai tanda ikatan suci dua insan yang seharusnya berjalan lancar bubar begitu saja, satu hari sebelum acara berlangsung. Alasan yang dikemukakan sangat masuk akal, salah satu pasangan telah berbuat sesuatu yang fatal, dengan melakukan perselingkuhan (baca: pengkhianatan). Suatu perbuatan yang tidak termaafkan memang.
Kata orang cinta itu buta dan tuli. Tapi atas nama cinta setiap persoalan tidaklah diselesaikan dengan gampangnya. Asmara (Revalina S Temat) memutuskan membatalkan rencana pernikahan itu kepada calon suaminya Dewa (Ibnu Jamil) yang berselingkuh dengan Anita (Cynthia Ramlan) teman sekerjanya yang membuatnya hamil. Dengan perasaan "sakit" Asma justru menuntut agar Dewa bertanggungjawab atas perbuatannya itu. Asma memilih melupakan Dewa dan menghapus jejaknya yang sudah terjalin cukup lama.
Luka karena cinta memang susah mengobatinya. Mencoba menghapus segala kenangan yang ada dengan menjauhkan diri dari sumber objek masalah itu sendiri yaitu Dewa. Kesempatan itu datang ketika Asma ditugaskan kantornya untuk ditempatkan di Beijing. Di negeri yang baru itu, segala kesulitan cukup terbantu dengan keberadaan sahabatnya Sekar (Laudya Cynthia Bella) dan Ridwan (Deddy Mahendra Desta) suaminya yang sudah terlebih dahulu mukim di Beijing.
Cerita pun mengalir dan cukup bisa ditebak. Asma secara tidak sengaja bertemu dengan pemuda yang bernama Zhong Wen (Morgan Oey). Pertemuan itu berlanjut karena zongzwen ternyata adalah seorang pemandu wisata bagi Asma yang disewa kantornya. Pertemuan itu membekas pada keduanya, namun sayang ada perbedaan pada keduanya terutama soal keyakinan. Zhong Wen termasuk katagori yang tidak beragama walaupun percaya adanya Tuhan.
Mengapa Beijing?
Film Assamualikum Beijing ini sebagian besar berada di negeri Tiongkok, Beijing khususnya. Memilih Beijing jelas ada maksudnya, bukan kebetulan belaka. Sekedar mereka-reka ada beberapa alasan untuk itu, istilah Jawanya pakai ilmu gotak gatik gatuk (menghubungkan satu sama lain).
Ada yang perlu diapresasi dalam film ini yaitu –sepertinya- melalui riset yang mendalam. Hal itu terlihat dengan penuturan tentang Tiongkok dan Beijing sendiri serta topik turunannya (dibalik keberadaan monumen, mitos, serta Islam itu sendiri).
Film ini seakan menunjukan bahwa negeri Tiongkok yang dikenal sebagi negeri komunisternyata memberi tempat yang namanya agama. Agama Islam cukup diberi tempat di negeri ini. Adanya perempuan berhijab, masjid cukup menjelaskan pengertian yang salah tentang Tiongkok.
Keberadaan tembok besar Tiongkok cukup memberi warna tersendiri dalam “meramaikan” film ini. Tembok besar yang terlihat kokoh, besar dan panjang (tidak salah sebagai salah satu keajaiban dunia) juga menyisakan betapa getir pengerjaannya yang mengorbankan ribuan nyawa. Dapat pula diartikan dalam urusan cinta tidak sekedar urusan keagungan tetapi terselip pula kesedihan, pengorbanan, bahkan ketragisan.
Kaya akan dongeng, legenda, mitos yang ada di Tiongkok cukup memperkaya jalinan cerita sehingga tidak terasa hambar apalagi ada monumennya (sebagai sebuah simbol atau pertanda). Legenda cinta Ashima putri cantik dari Yunan yang dipilih di film ini cukup menggambarkan cerita antara Asma, Dewa, dan Zhong Wen itu sendiri sehingga pada suatu titik menemukan relevansinya.
Bertemu cinta sejati
Film ini juga menggambarkan bagaimana seseorang yang “terluka” akan cinta dapat menemukan kepercayaan kembali bahwa cinta itu tetaplah agung dan suci. Perjalanan kisah kasih cinta memang tidak selalu berjalan dengan mulus. Asma juga mengalami proses itu, ada saja halangan yang ada.
Asma mengidap penyakit APS (penggumpalan darah) yang sangat berbahaya yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawanya. Karena ia termasuk perempuan yang tangguh maka ia dapat mengatasi hambatan itu. Ada saat yang paling berat pada saat itu, Zhong Wen menyatakan akan menikahi Asma. Padahal saat itu Asma masih bergulat dengan penyakitnya, ia tidak tega (tepatnya tidak percaya diri) bahwa Zhong Wen akan kesusahan bila bersama dengannya, dan itu suatu yang realistis. Zhong Wen mampu menyakinkannya dengan ketulusan cintanya, dengan menyatakan bahwa tak perlu fisik yang sempurna untuk memiliki cinta yang sempurna, cinta sejati itu ada.
Film ini dapat dikatogerikan dalam banyak wajah (romantis, religius, drama, atau komedi). Banyak hikmah yang dapat dipetik dalam beberapa dimensi. Menonton film ini setiap orang dapat menarik kesimpulan tersendiri, tidak perlu sama atau seragam. Dalam beberapa reviewada yang mengatakan bahwa inilah pelajaran bagaimana seseorang harus move on.
Saya sendiri punya pendapat lain. Saya melihat pada sisi Dewa, yang banyak orang melihat pada sisi Asma (maklum sebagai figur sentral). Sekedar berpendapat, seperti yang dikatakan orang bahwa cinta itu pada dasarnya ringkih dan rapuh. Maka dari itu kita harus menjaganya dengan baik, salah sedikit apalagi sampai fatal dapat merusak cinta itu sendiri. Dewa kehilangan segalanya: cinta yang –seharusnya- suci, terlebih lagi orang yang dicintai itu sendiri. Boleh jadi Asma meninggalkan atau mencampakkan Dewa. Pada kurun waktu tertentu ia akhirnya mendapatkan Zhong Wen. Cinta sejati itu netral dan objektif, yang akan memilih objeknya sendiri pada insan yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H