[caption id="attachment_322690" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption]
Menyaksikan wawancara walikota Surabaya Tri Rismaharini di Mata NajwaMetro TV (12/2) terlihat betapa besar dan berat beban yang dipikulnya dalam menghadapi segala persoalan. Risma memang fenomenal, ia mampu membereskan berbagai persoalan besar yang dihadapi Surabaya selama ini sebagai kota besar. Tidak dipungkiri taman kota banyak berdiri, kota tampak bersih dan sejuk. Seabrek penghargaan baik dalam dan luar negeri di sandangnya, dijadikan salah satu walikota terbaik di dunia bukanlah hal yang berlebihan.
Dalam wawancara itu tergambar pesoalan kota Surabaya memang kompleks, termasuk ketika harus membereskan masalah lokalisasi. Pada mulanya ia enggan karena masih belum sanggup menemukan solusi yang pas kalau memang lokalisasi itu benar-benar ditutup. Akhirnya melalui kuasa Tuhan ia ditunjukkan jalan. Ia teluluri sendiri para PSK itu untuk menemukan akar persoalan sesungguhnya. Betapa terkejutnya, ia menemukan bahwa yang berprofesi seperti itu adalah anak-anak usia sekolah. Dan ditambah lagi beberapa yang sudah tua masih menjalani profesi itu.
Risma melihat bahwa ini adalah persoalan besar yang harus dituntaskan, apalagi menyangkut aspek sosial dan ekonomi serta masa depan generasi mendatang. Tidak mudah memangmengatasi persoalan sosial kemasyarakatan dibandingkan dengan membangun taman kota. Ia tetap pada komitmen untuk menutup lokalisasi dengan caranya sendiri, yang saat ini terus dalam proses dan tentu saja tantangan dari yang pro maupun kontra.
Persoalan pun bertambah tidak saja mengurusi manusia, binatang pun tidak luput dari perhatiannya. Kebun Binatang Surabaya (KBS) menjadi polemik tersendiri akibat konfliks internal dan disamping itu ada wacana untuk mengalihfungsikan menjadi hotel dan mal di tempat itu yang lahannya adalah milik pemkot. Peliknya persoalan itu berakibat banyak satwa yang mati tidak wajar. Persoalan semakin rumit karena disinyalir ada mafia besar yang bermain di situ.
Belum sampai di situ persoalan bertambah lagi dengan dilantiknyanya wakil walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana yang menggatikan Bambang DH yang mengundurkan diri karena maju menjadi calon gubernur Jatim 2013. Dalam proses pemilihan ini, Risma sendiri sebagai walikota –sepertinya- tidak diajak rembuk untuk pemilihan wakilnya itu. Menurut Risma ada yang tidak prosedural dalam proses pemilihan sampai pelantikannya, dan itu yang membuat dirinya dilema untuk pertanggungjawabannya. Terutama di akherat nanti tuturnya.
Beban yang sudah berat semakin tambah berat karena PDI-P sebagai partai pengusung seakan tidak berpihak padanya, sedangkan wakil walikota yang sudah dilantik Wisnu Sakti Buana yang sebelumnya saat menjadi wakil ketua DPRD Surabaya pada tahun 2011 turut mengajukan pemakzulan walikota. Upaya itu tidak berhasil karena ditolak pemerintah pusat. Dan begitu beratnya beban sehingga dalam wawancara tersebut –sebagai perempuan- ia tidak kuasa membendung air mata.
Beban Risma dibanding Jokowi
Risma dan Jokowi adalah figur yang hebat dalam mengatasi peliknya permasalahan ibu kota.Pada beberapa sisi ada perbedaan keduanya dalam memikul beban. Beban yang dipikul Risma memang sungguh berat, dan semakin berat karena Risma harus memikulnya seorang diri. Ini sangat jauh berbeda dengan Jokowi yang bisa jadi bebannya juga sama atau malah lebih berat. Namun beban berat yang dipikul Jokowimenjadi lebih ringan karena ia tidak memikul sendirian. Banyak pihak yang membantu Jokowi namun kondisi jauh berbeda dengan Risma.
Pertama, Risma tidak didukung penuh PDI-P. Risma memang di dukung oleh DPP PDI-P termasuk Megawati namun tidak didukung pada tingkat daerah (Surabaya) bahkan terkesan menolaknya. Gesekan internal PDI-P ini yang kadang membuat Risma jengah, karena pada tataran tertentu posisi partai didaerahlah yang mempunyai kebijakan. Di tingkat pusat tidak bisa mengintervensi terlalu jauh karena aturan organisasinya memang demikian. Pengaruhnya jelas pada jalannya roda pemerintahan terutama berhubungan dengan DPRD Surabaya.
Kondisi ini ini berbeda dengan Jokowi yang malah didukung langsung oleh sang ketum Megawati. Semua kompak mendukung Jokowi mulai dari DPP sampai pada tingkat anak cabang (kecamatatan) di DKI. Para anggota dewan di DPRD dari PDI-P dan koalisanya Gerindra juga kompak mendukung Jokowo-Ahok . Energi Jokowi juga terbagi dengan Ahok yang juga klop sebagai wakilnya untuk berbagi tugas. Sangat berbeda dengan Risma sebagai walikota, ia pikul sendiri permasalahan. Wakil walikota yang seharusnya membantu tugasnya malah terpilih figur yang pernah bermasalah dengan dirinya ditambah lagi proses pemilihanya yang dianggap tidak prosesural dan sepihak. Dan itu menjadi problem tersendiri.
Kedua, Risma kurang mendapat dukungan media.Kota Surabaya yang banyak berubah tidak terlepas dengan sikap Risma yang sering blusukan juga, malah terjun langsung menanganinya. Namanya menyapu atau membersihkan selokan adalah hal yang biasa. Namun aksi luar biasa Risma ini banyak luput dari sorotan media massa baik cetak ataupun televisi (main stream) dan media sosial (maya). Dengan minimnya sorotan ini membuat fungsi kontrol sosial media menjadi kurang efektif, terutama membantu atau mendorong program Risma dalam memberesi peliknya permasalahan.
Dukungan media massa sangat diperlukan setidaknya dapat membentuk opini yang baik kepada masyarakat. Seperti langkah Risma yang akan menghapus lokalisasi, atau pun membereskan kebun binatang, media kurang memberikan dukungan penuh paling tidak memberikan informasi yang berimbang. Langkah Risma memang belum berhasil 100%, namun kekurangan Risma ini perlu diberi informasi yang pas mengenai kendala dan tantangan yang harus dihadapinya, terutama dengan “tangan-tangan” besar itu. Sehingga publik bisa mengetahui dan paham akan masalah sesungguhnya.
Ini berbeda dengan Jokowi. Walaupun banjir dan macet masih ada. Dengan pemberitaan Jokowi yang massifdi berbagai hal di media massa maka membuat publik akan paham apa yang dilakukan Jokowi itu. Bahwa bebereskan sesuatu yang besar tidaklah mudah banyak hal yang harus dihadapi. Publik akan tahu masalah yang sebenarnya, dan akan memaklumi terhadap segala langkah yang dilakukan Jokowi. Dengan pemberitaan yang objektif itu sangat meringankan beban Jokowi terutama untuk mengurangi kritik dari lawan politiknya. Memberikan kritik tanpa dasar tentu akan merugikan pengkritiknya karena akan menjadi bulan-bulanan masyarakat.
Ketiga, Risma kurang dukungan warga. Jika dibandingkan dengan Jokowi yang cukup mendapat dukungan penuh dari warga DKI baik secara langsung maupun di media sosial. Ketika Jokowi blusukan warga akan menyambut dengan antusias. Apalagi warga sudah melek informasi dan familiar dengan perangkatnya, mereka akan memberikan tanggapan yang positif baik status, komentar, atau foto di akun pribadinya. Menjadi media darling membuat Jokowi terangkat motivasinya karena mendapat dukungan publik.
Selain itu Jokowi juga mendapat dukungan dari warga bila ada yang mengkritik dirinya. Warga akan marah kepada pengrikritiknya, yang itu ditumpahkan di media sosial. Kecintaan warga yang begitu tinggi ini tentu mengangkat moral Jokowi, bahkan dapat mendongkrak citranya dalam pentas nasional untuk diusung menjadi calon presiden.
Berbeda dengan Risma, tidak dukungan warga Surabaya tidak begitu heboh seperti warga DKI terhadap Jokowi. Ketika Risma yang kerap mengatur lalu-lintas ataupun menyapu jalan, bagi warga Surabaya seperti dianggap biasa saja, bukan sesuatu yang wah. Berbeda dengan Jokowi segala aktifitasnya akan mendapat perhatian warga, dan tidak lupa untuk mengunggahnya.Dukungan warga di media sosial sebenarnya cukup efektif juga untuk menggalang opini, terutama untuk menghadang lawan dari Risma. Minimnya dukungan moral semacam ini membuat pengritik dan “lawan” Risma dapat berbuat agak leluasa karena tidak mendapat sanggahan keras dari warga.
Akibatnya dalam menjalankan kebijakan Risma kerap kali “diganggu” hal-hal demikian yang kadang kala bukan hal yang subtansial. “Gangguan” dapat dari internal PDI-P, anggota DPRD, serta pada pemodal besar yang mempunyai agenda tersendiri. Risma seperti berjuang seorang diri (single fighter) dalam menghadapi semua tantangan. Dan wajar pula bila –ada rumor- bahwa Risma akan mengundurkan diri.
Kita berharap bahwa Risma dapat menghadapi beban berat itu dengan baik. Dan semoga pula Risma tidak menyerah apalagi sampai mengundurkan diri. Warga Surabaya masih membutuhkannya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikannya. Mudah-mudahan pasca curhat sang walikota di Mata Najwa ini, Risma akan mendapat dukungan seperti Jokowi, terutama dari masyarakat luas. Keberadaan Risma masih diperlukan untuk menjadi teladan bagi semua. Terutama bagi para pemegang amanah, untuk mencontoh bagaimana seharusnya pemimpin itu bekerja. Sepi ing pamrih rame ing gawe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H