Acara nangking Kompasiana hadir kembali di Jawa Timur. Kali ini bertempat di Kabupaten Gresik, tepatnya di Hall Kampus B Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI). Acara yang berlangsung Kamis (11/04/19) ini berlangsung meriah dengan 150 hadirin yang terdiri para Kompasianer, komunitas, dan mahasiswa. Dan saya termasuk satu di antara peserta, setelah registrasi terlebih dahulu.
Tema nangkring kali ini adalah membangun kebaikan. Fitrahnya semua manusia cenderung kepada kebaikan. Tetapi realitas di lapangan tidak semudah itu, sampai-sampai harus terus disampaikan perihal kebaikan itu.
Sambutan rektor yang mencerahkan
Sesuai yang di woro-woro di media sosial, acara nangking ini menghadirkan tiga pemateri. Di antaranya Trinity, Travel Blogger dan Penulis Buku, Sigit Wahono, Kepala Unit Komunikasi Eksternal Semen Indonesia, dan Irwan, Admin dari @infogresik. Seperti biasa, acara perlu ada sesi pembukaan. Yang kali ini UISI selaku tuan rumah disampaikan oleh rektornya, Prof. Dr. Ing. Herman Sasongko.
Sambutan sang rektor perihal membangun kebaikan -menurut saya- sangat bagus. Dengan gaya bertutur, ia menyampaikan pengalaman yang pernah dialami. Ia adalah lulusan dari perguruan tinggi dari Jerman, dari sebuah negara maju dan modern. Dalam paparannya ia begitu tersentuh dengan warga negara tersebut perihal membangun kebaikan.
Ia bercerita suatu saat berkunjung di taman kota, yang merupakan ruang publik tempat berkumpulnya warga. Karena menyukai karya sastra, ia habiskan waktu sambil duduk di taman dengan membaca novel. Tanpa ia sadari bahwa ternyata disebelahnya ada seseorang yang memperhatikannya. Orang itu berpakaian apa adanya, dengan bahasa sederhana berpenampilan "gembel".
Karena kebiasaan di Indonesia, penampilan seseorang kadang mempengaruhi pandangan terhadap orang tersebut. Ia tak menghiraukan orang tersebut. Dan betapa terkejutnya ia, ketika orang tersebut mengajaknya berbicara. Orang yang dianggap " gembel" itu menyatakan bahwa novel yang dibacanya itu bagus. Dan orang itu secara antusias memberitahu ada kalimat yang bagus di halaman 80-90, yang menyatakan perihal perbedaan antara pemerintah, negara, dan bangsa.
Ia merasa tertegun, dan salah sangka terhadap orang itu. Ternyata dibalik penampilan yang "gembel" itu, ia telah menyerukan kebaikan. Suatu hal yang kiranya kecil, namun sangatlah besar maknanya.
Masih pengalaman di Jerman ia utarakan. Pada suatu ketika ia dipanggil kepala sekolah dasar, tempat putrinya belajar. Sebelumnya ia bertanya-tanya ada apa dengan putrinya itu. Perasaan tidak enak menyertainya. Dan ternyata semua dugaan keliru, sang kepala sekolah memanggilnya karena bentuk apresiasi.
Kepala sekolah memberitahukan bahwa putrinya telah berbuat baik terhadap teman sekelasnya yang invalid karena perang Yogoslavia. Putrinya itu dengan sigap menuntun temannya itu saat di sekolah. Peristiwa itu juga membuatnya tertegun. Ternyata pendidikan di Jerman itu lebih mengedepankan karakter dibandingkan kepandaian terhadap suatu mata pelajaran.
Maka dari situlah ia berkesimpulan bahwa kebaikan itu perlu disebarkan dan disampaikan. Tidak muluk-muluk, bisa mulai dari hal yang kecil yang bisa jadi hal yang sepele. Dan bisa di perhatikan di lingkungan sekitar, yang terdekat terlebih dahulu.