Arsip dan dokumentasi merupakan suatu hal yang vital untuk selayaknya disimpan dan dipertahankan. Hal itu bisa menjadi penanda, yang suatu saat menjadi rujukan sejarah. Peninggalan masa lalu seperti prasasti, candi, aksara di daun lontar bisa menjelaskan keadaan di masa itu.
Di zaman modern, keberadaan perpustakaan merupakan hal yang penting. Segala informasi tertuliskan pada buku atau pun arsip yang suatu ketika akan berguna di masa datang. Sesuatu yang sifatnya lokal pun tidak boleh diremehkan. Mendokumentasikan dalam bentuk apapun merupakan yang hal terbaik.
Suatu langkah yang tepat, bila dalam hal ini Dinas Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Kota Malang (selanjutnya disebut Perpustaan Kota Malang) mengadakan acara diskusi dalam rangka pengembangan koleksi perpustakaan. Acara ini mengambil tema "Mengembangkan Koleksi Perpustakaan Berdasarkan Kekhasan Daerah", yang berlangsung pada Rabu (20/03) yang bertempat di Pinus Room, Hotel Savana Malang.
Acara ini menghadirkan dua panelis, Dwi Cahyono yang dikenal sebagai arkeolog, sejarawan dan akademisi Univ. Negeri Malang. Serta Fathul H. Panatapraja, yang aktivis sosial budaya dan keagamaan yang berasal dari kalangan milenial. Kedua panelis mewakili dua generasi (senior-junior) dengan semangat kemudaan, yang membedakan hanya rentang tahun lahirnya saja.
Dalam sambutan Plt Kepala Perpustaan Kota Malang yang saat itu berhalangan hadir. Sebagai gantinya diwakilkan oleh Sri Umiasih selaku Plt Sekretaris, yang menyatakan bahwa acara ini diselenggarakan untuk mengangkat konten lokal yang mengacu pada hal-hal yang menjadi ciri khas ada di Kota Malang.
Maka dari itu peran Perpustakaan Kota Malang sangat perlu dioptimalkan sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi. Menurutnya koleksi buku tentang Kota Malang masih sangat minim hanya berjumlah 263 judul. Padahal di Kota Malang sendiri mempunyai beragam etnik dan budaya yang tentunya memiliki catatan tersendiri mengenai kehidupan masyarakatnya.
Belum lagi Malang juga dikenal sebagai kulinernya serta beberapa tempat peninggalan sejarah, serta berbagai kekayaan budaya yang unik. Dari segi tutur komunikasi bahasa Malangan, yang sering disebut Jawa walikan menjadi kekhasan tersendiri bagi Kota Malang. Dari berbagai keunikan Malang tersebut ia menyatakan bahwa sangat mengharapkan kepada para penulis untuk menggangkatnya dalam bentuk tulisan untuk dijadikan beberapa buku.
Malang menuju kota pustaka
Menguatkan apa yang dikatakan Sri Umiasih, Dwi Cahyono memaparkan bahwa di Malang Raya ini terdapat perjalanan panjang sejarahnya yang menjadi pusat peradaban lintas masa. Oleh karena itu tidaklah heran Malang kaya akan budaya, yang bila dituangkan ke dalam tulisan dan grafis akan menghasilkan buku atau pustaka yang jumlahnya tidaklah sedikit.
Dan begitu kayanya Malang perihal sejarahnya akan menjadi sumber pengetahuan. Ibarat sumur, airnya tak akan pernah kering walaupun terus ditimba. Sumber yang begitu melimpah itu jika dituangkan dalam sebuah tulisan yang kemudian dirangkum menjadi buku, tentunya akan menghasilkan jumlah yang begitu banyak.
Dwi Cahyono di forum tersebut menyatakan kehadirannya hanya sekadar menggelitik kepada peserta yang ada supaya bisa berbuat banyak dalam rangka memperkuat koleksi perpustakaan tersebut. Memang banyak tantangan untuk itu, yang kiranya menyangkut banyak aspek. Beberapa cara bisa dilakukan untuk ke arah stimulus dalam menyikapinya, untuk dapat menuju proses penulisannya.