Makanan yang tersaji dihadapan kita kadang tidak melulu berkenaan dengan rasa dan tampilan. Cara menghidangkannya sendiri ada tata caranya begitu pula untuk menikmatinya. Hampir semua bangsa punya cara tersendiri. Pakai sendok, garpu, dan terkadang pisau bila ditinjau ala barat merupakan hal yang biasa. Pakai sumpit bagi masyarakat Jepang atau Tiongkok juga hal yang biasa walaupun hidangannya itu nasi, kita pun kadang turut menggunakannya jika menyantap makanan serupa.
Bagaimana dengan cara makan budaya negara kita? Kebanyakan yang kita lakukan adalah dengan menggunakan tangan secara langsung tanpa perantara (sendok, garpu, sumpit). Lebih afdol kata sebagian orang dibandingkan dengan menggunakan sendok. Namun budaya makan pakai tangan secara langsung saat ini sudah jarang yang melakukannya apalagi berada di warung atau restoran.
Di warung tegal (warteg) pun yang nota bene –biasanya- dari kalangan bawah pun kebanyakan pakai sendok dan garpu untuk menyantap makanannya. Namun ada juga bersifat opsional seperti ketika berada di warung lalapan atau di restoran Padang. Memang ada sedikit ribet bila menggunakan tangan, pengelola warung harus menyediakan kobokan untuk cuci tangan terutama paska “acara” makan tersebut.
Ada cara “ritual” yang sudah banyak kita lupakan dan jarang dilakukan yaitu memakan hidangan dengan tangan dan dilakukan secara bersama dalam satu wadah, istilah yang sering kita dengar adalah kembulan. Biasanya hal tersebut dilakukan pada acara khusus, beberapa komunitas (berdasar agama, suku) sudah jamak melakukannya. Sekarang bagaimana bila hal tersebut dilakukan di warung atau restoran? Hal tersebut jarang dilakukan. Namun di kota Malang ada restoran baru yang bahkan –sengaja- menyediakan menu kembulan tersebut, yaitu di Kendi Indonesian Bristo yang berada di Jl. Ciliwung No 48 Malang ini.
Saya dan bersama komunitas Malang Citizen (MC) diberi kesempatan menikmati hidangan cara kembulan ini pada hari kamis (16/03) lalu. Nama menunya adalah Sego Mulhuk, arti mulhuk sendiri berarti makan memakai tangan. Cukup menarik cara penyajiannya bahkan sangat tradisional. Menu nasi dan lauknya disuguhkan dalam lembaran daun pisang di atas meja. Lauknya sendiri cukup sederhana dan “akrab” di seharian kita. Yaitu berupa nasi uduk, ayam bakar, tahu bacem, ikan asin jamrong, dadar jagung, mie goreng, oseng daun papaya, sambal pencit, sambal terasi, lalapan komplit, serta krupuk. Menu yang tersaji tersebut “disetel” untuk lima orang.
Takaran antara nasi dan lauknya pada sego mulhuk ini benar-benar pas. Tanpa terasa dengan menikmati secara riang pada akhirnya habis juga. Entah karena citra rasa yang menggoda atau rasa kebersamaan yang membuat menyantapnya lebih lahap. Dan memang merasakan suasana kembulan ini tidak lah sering bahkan boleh dikatakan tidak pernah. Maka ketika ada pengalaman baru (terutama yang belum pernah merasakan) akan begitu antusias mencobanya.
Untuk menikmati sego mulhuk ini memang tidaklah murah. Harganya bisa di atas rata-rata menu yang sama di resto biasa (bisa 2-3 kali lipatnya) serta masih ditambah pajak (10%) dan pelayanan (5%). Namun harga tersebut cukup sebanding dengan rasa dan pelayanannya. Kendi Indonesian Bistro sendiri memang memposisikan sebagai resto bintang tinggi baik untuk makanan dan minumannya. Selain tersedia menu tradisional (baca: lokal) juga yang modern (baca: kebarat-baratan). Menu makanan tradisional yang lain juga ada (di makan sendirian dan pakai sendok) seperti nasi bakar dan nasi goreng kendi. Untuk menu terakhir ini penyajianya juga cukup unik yaitu setelah nasi digoreng kemudian dibungkus dengan daun pusang dan dilapisi dengan daun jati, dan setelah itu dibakar untuk beberapa saat. Sensasinya juga ada sebab ada aroma daun jati yang meresap pada nasi.
Keterangan Irwansyah ini cukup menggambarkan bagi kita bahwa masyarakat (terutama kalangan atas) saat ini tidaklah melupakan warisan kebiasaan nenek moyangnya. Keberadaan sego mulhuk yang dikemas lebih modern dan bergaya, sehingga yang dipresepsikan sebagai suatu tradisional (baca: deso) dapat naik kelas. Nah, dalam kesimpulan sementara ini bahwa masyarakat masyarakat bisa diedukasi tentang kebiasaan yang baik warisan nenek moyang ini dengan kehadiran sego mulhuk tersebut. Dengan demikian masyarakat tidak tercabut akarnya di mana mereka berasal, dan cepat kembali bila sesekali merasakan kebiasaan orang luar.