Zaman sudah semakin cepat berubah. Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sudah menjadi gaya hidup (life style) tersendiri yang menjadi bagian dari hidup keseharian di masyarakat. Internet yang semakin cepat dengan paket data yang semakin terjangkau bahkan bisa gratis –di lokasi tertentu- dengan fasilitas wifi. Demikian dengan perangkat kerasnya: smartphone dan tablet semakin canggih dan dengan harga yang terjangkau.
Seiring dengan kemajuan TIK itu pula maka aplikasi turunannya juga berkembang pesat, salah satunya adalah media sosial. Melalui media secara digital ini, interaksi sosial semakin mudah dengan tidak terbentur jarak dan waktu. Posisi Indonesia sebagai negara “bebas” juga semakin menguntungkan tanpa perlu takut intervensi negara terlalu jauh (bila dibandingkan dengan negara lain). Tidak heran pula bila media sosial seperti Facebook, twitter, youtube, ataupun blog hampir pasti semua memiliki akunnya.
Media sosial bagai pisau bermata dua
Berkenaan dengan pesatnya penggunaan media sosial membuat kebiasaan kita berubah. Benar kiranya apa yang dinyatakan oleh Filsuf Karlina Supelli dalam Pidato Kebudayaan yang bertajuk “Kebudayaan Dan Kegagapan Kita” di Taman Ismail Marjuki (TIM) Jakarta, 11 November 2013 bahwa sebuah budaya baru telah lahir bersama teknologi digital, itulah budaya selalu terhubung (always online), budaya berkomentar (comment culture), dan kecenderungan untuk selalu berbagi (sharing).
Disadari atau tidak kita pun sering melakukan apa yang dikatakan Karlina Supelli itu. Apa yang menjadi aktifitas kita sendiri selalu diunggah di media sosial berupa status komentar yang kadang disertai foto (gambar), bahkan video. Kadang tidak hanya sekedar berbagi, ada kalanya –yang kita inginkan- akan menadapat perhatian ataupun umpan balik (feedback) bagi yang membacanya. Maka timbullah interaksi diantara keduanya dan kadang beberapa yang lain ikut nimbrung didalamnya.
Adanya interaksi sosial dalam dunia maya tersebut dengan berbagai informasi yang disuguhkan mempunyai efek ganda seperti layaknya sebuah pisau. Jika dipakai dengan tepat media sosial dapat memberikan manfaat yang besar bahkan mencerahkan bagi yang membacanya. Tidak jarang media sosial cukup membantu dalam kegiatan yang sifatnya sosial dan mendidik.
Di sisi lain kadang tanpa disadari –bahkan ada yang disengaja- membuat informasi yang sekedar membuat gaduh, memputarbalikkan fakta, sehingga membuat efek yang merugikan.
Celakanya lagi bila informasi yang tersebar itu dipercaya begitu saja tanpa ada cek dan ricek maka bisa berakibat fatal di dunia nyata, apalagi hal itu yang menyangkut persoalan yang sangat peka yaitu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Banyak kejadian akibat dari media sosial yang digunakan untuk tujuan yang salah dan menyimpang. Yang terakhir dapat kita simak kejadian di Tanjung Balai yang sampai terjadi amuk masa yang membakar tempat ibadah 29 Juli lalu. (Sumber berita)
Kita hidup beragam, demikian di dunia maya
Sudah menjadi takdir bahwa kita diciptakan Tuhan dengan beragam suku, bangsa, budaya, agama, dan kepercayaan. Dalam konteks negara kita saja ada ribuan suku bangsa, bahasa, budaya yang tersebar di pelosok nusantara. Demikian pula dengan keyakinan dan agama. Dan itulah yang harus kita sadari bahwa kita selayaknya dengan manusia yang lain memang berbeda. Diantara saudara kembar saja tidak semua sama. Mesti ada yang berbeda bisa dari pemikiran, selera, dan lainnya.
Maka cukup benar bila negara kita mengambil slogan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Sikap toleransi dalam kehidupan nyata sudah terjalin sejak dahulu kala, bahkan ketika negara Indonesia belum lahir. Merawat kerukunan sudah dijaga yang memang tidak dapat dipungkiri ada beberapa riak kecil yang kadang menyulut kegelisahan. Namun secara garis besar semua dapat diatasi tanpa merembet ke arah yang lebih luas lagi.