[caption id="attachment_405107" align="aligncenter" width="556" caption="Dok. Pribadi"][/caption]
Kompas Kampus di Surabaya berlangsung 2 hari (20-21 Maret 2015) di Airlangga Convention Center (ACC) Unair. Boleh jadi acara yang ditunggu dan menjadi puncak acara adalah talkshow oleh host sekaligus Pemimpin Redaksi Kompas TV, Rosianna Silalahi yang berlangsung pada hari ke-2. Saya berkesempatan hadir untuk itu setelah acara blogshop Kompasiana, yang sebelumnya registrasi online via Kompasiana.
Acara yang dipandu Rosi itu cukup meriah, penuh canda, dan inspiratif. Rosi cukup mampu membawa suasana segar dan cair pada acara itu, apalagi menghadirkan 2 bintang tamu yang sama-sama hebat dan beda karakter: Waliota Surabaya Tri Rismaharini yang blak-blakan dan apa adanya serta bupati Banyuwangi Azwar Anas yang berpenampilan kalem dan tenang. Sebagai pemanis acara dengan kehadiran -boleh disebut- komedian Panji Pragiwaksono dan Raditya Dika.
Rosi benar-benar total dalam acara itu dan sangat adaptif pada karakter Surabaya: blak-blakan, apa adanya, dan tanpa tabu-tabuan. Rosi sangat lepas dan cukup baik mambawakan karakter Surabaya itu, berkali kali sang walikota Risma "dikerjainya" dan yang bersangkutan "enjoy" saja, penonton pun terhibur.
Acara ini sepertinya akan tampil di layar kaca Kompas TV. Hanya saja sepertinya penonton tidak akan menyaksikan acara dalam rangkaian utuh, akan ada beberapa yang di sensor. Rosi pun turut menyatakan itu, sekedar canda atau betulan, beda-beda tipis. Beberapa “bagian” itu memang cukup “mengganggu” dan tidak bisa dipukulratakan untuk semua kalangan. Andaikan disensor pun adalah suatu hal yang wajar saja. Bawaan karakter Surabaya yang ucapannya "kasar" pada beberapa kesempatan terlontar di situ, tidak terkecuali Rosi yang di Surabaya ini ikut-ikutan “gendeng”.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Sesuatu yang dibilang tabu dan tidak sopan di daerah tertentu, di Surabaya adalah biasa-biasa saja dan tidak menjadi masalah. Ini juga menyangkut gaya berbicara dan kata yang terucap. Kasus Ahok bisa menjadi contoh yang berkata “kasar” dan seenaknya, bisa jadi kalau di Surabaya hal itu menjadi biasa.
Surabaya memang unik. Yang berbeda jauh dari kesan Jawa ala Solo atau Jogja yang kalem dan lembut. Bagi yang tidak terbiasa dengan kultur Suroboyoan itu jelas akan merasa shock dan tidak tahan, walapun itu sama-sama jawanya.
Kompas TV memang sebaiknya menyensor bagian-bagian tersebut. Suasana acara itu memang cocok dibawakan di Surabaya, bukan daerah lain yang bisa membuat orang mengelus dada dan bisa pula kecewa karena -mungkin- dianggap tidak pantas dan keterlaluan. Sekali lagi ini mengenai cara dan gaya seseorang yang bisa berbentuk apa saja, tapi tidak menggangu hal-hal yang subtansi.
Secara umum acara yang dibawakan Rosi ini berlangsung atraktif yan mampu menampilkan kedua sosok ini baik dalam pemikiran dan tindakan. Sungguh keberuntungan bagi yang hadir langsung pada acara tersebut yang tampil apa adanya. Dalam menilai sesuatu –memang- harus melihat dan mengetahui secara langsung dan utuh. Jika itu sepotong-potong maka akan timbul pemahaman yang keliru.
Saya tidak tahu apakah cara ini akan ditanyangkan utuh atau apa adanya. Jika jawabannya ya, maka suatu keberanian sendiri dari Kompas TV, yang menonton bisa saja akan membuat pemahaman yang keliru bagi Surabaya, Tri Rismaharini, atau Rosi sendiri. Bagi warga Surabaya "sesuatu" itu hal yang biasa yang tidak akan menjadi persoalan. Bagi yang tidak bisa memahami kultur Surabaya akan mambuat "kaget" dan akan menilai negatif.
Betapa pun juga setiap daerah mempunyai karakteristik sendiri, dan itu tidak bisa dinilai dengan “kaca mata” kita sendiri. Surabaya mempunyai karakter yang khas itu. Ketika sang walikotanya marah dan berkata “kasar” itu adalah sesuatu yang biasa saja dan apa adanya. Rosi pun berani menggunakan kultur suroboyooan itu tapi tentu saja hanya di ruang lingkup Surabaya, di tempat lain jelas ia tidak akan berperilaku “gendeng” seperti itu.
Memahami kultur Surabaya adalah ke sumber aslinya. Dalam arti tertentu bonek yang punya konotosi negatif di masyarakat umum tidak seburuk yang seperti kita sangka, juga mempunyai sisi lain yang lugu dan lucu. Risma yang berani, galak, dan tanpa kompromi itu juga bisa menangis bila melihat orang tertindas dan menderita, yang oleh Rosi diledek cengeng. Jika akhirnya Kompas TV menyanangkan utuh “talkshow Rosi” Kompas Kampus Surabaya ini, janganlah anda ambil hati dan berprasangka buruk terhadap kultur suroboyoan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H