Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta adalah Cermin dan Saringan Model Tipe Manusia

17 Juni 2012   11:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:52 2293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebutan bahwa kota Jakarta adalah kota yang keras dan kejam ada benarnya juga. Saya sepakat dengan pernyataan itu dengan pertimbangan karena saya pernah merasakan tinggal di Jakarta untuk mengadu nasib selepas kuliah pada tahun 2004. Dengan modal nekat dan tekat saya berangkat ke Jakarta untuk berusaha “menaklukkannya”. Pertama-tama ikut bareng kakak yang sudah lama di Jakarta yang punya usaha pengetikan dan jual computer. Saya bantu seperlunya dan hasilnya cukup lumayan paling tidak untuk bisa makan dan membayar tempat kost yang cukup sederhana.

Melihat Jakarta adalah sebuah kota dengan berbagai pusat kegiatan aktifitas manusia terdapat di situ. Dan tidak heran banyak orang yang berbondong-bondong ke sana untuk mencoba merubah nasib –yang dipikir- lebih baik. Memang benar Jakarta adalah pusat perekonomian Indonesia, uang yang beredar secara nasional berada di ibu kota negara ini. Dengan kondisi demikian maka untuk mendapatkan uang cukup mudah sekaligus mudah pula melepaskannya. Segala daya upaya dikerahkan untuk sekedar dapat bertahan hidup, bagi yang mampu akan terus bertahan yang tidak sedikit yang meraih sukses.

Jakarta adalah berkumpulnya kompleksitas segala masalah, baik menyangkut urusan politik, ekonomi, social, dan budaya. Di sana berkumpul segala macam karakter manusia bahkan dalam dua kutup yang saling bertentangan sekalipun dan hebatnya semua itu dapat berjalan beriringan. Di sana banyak terdapatmanusia bertipe “syetan” tetapi tidak sedikit pula manusia yang bertipe “malaikat”. Maka akan dijumpai manusia yang buruk perilakunya bahkan sampai dalam kriminalitas, tetapi di lain sisi kebaikan dan kebajikan manusia masih ada di sana. Ada juga yang menolong dengan tanpa pamrih, memberi tanpa meminta imbalan. Pendek kata masih ada sisi-sisi kebaikan di sana diantara kerasnya kehidupan.

Saking keras dan kejamnyanya kehidupan di Jakarta tidak semua orang dapat bertahan, bahkan bagi orang idealis sekalipun. Menolong diri saja cukup sulit apalagi harus sampai memikirkan persoalan orang lain. Melihat fenomena semacam ini teringat apa yang ditulis Ahmad Wahib dalam catatan hariannya yang sudah diterbitkan dalam buku yang diberi judul, Pergolakan Pemikiran Islam, “Betapa banyak kawan-kawan baikku sendiri enggan dan menjauh dariku setelah mereka tahu tidak ada lagi keuntungan bisa diperoleh dari orang yang tidak punya kekuatan apa-apa seperti aku. Jadi apa kekuatan itu? Sebut saja: uang, pengaruh dan status sosial! Coba perhatikan betapa banyak idealis-idealis yang telah runtuh dan kini telah berkompromi. Apa yang mereka dulu serang, sekarang mereka sendiri mengerjakannya”. Ia kemudian melanjutkan, ”Sepanjang pengamatanku tidak ada idealis-idealis dari Yogya yang bisa bertahan dengan idealismenya di Jakarta, suatu kota yang ganas. Di Jakarta, mereka “terpaksa” tidak konsisten”, (hal 343).

Bertarung hidup di Jakarta yang begitu banyak kepentingan membuat orang dapat berubah, antara teman dan lawan kadang beda tipis jaraknya. Justru dari keras dan kejamnya ibu kota inilah dapat menjadi cermin dan saringan tipe model manusia sebenarnya, di Jakarta akan diketahui watak aslinya. Banyak contoh tokoh yang kita pandang cukup idealis dan baik ketika sudah sampai di Jakarta ternyata justru melaksanakan apa yang dulu ditentangnya dahulu, tetapi banyak juga yang mampu bertahan walau dengan pengorbanan. Maka jangan terlalu mengkaim diri terlalu “bersih” atau baik jika belum memasuki Jakarta yang penuh dengan tantangan dan godaan.

Kota yang keras dan kejam ini mampu membentuk watak yang tahan banting bagi siapa saja yang mau bekerja keras dan memegang prinsip. Jakarta adalah tempat yang bagus untuk belajar dan menguji diri bagi ingin bertahan dan maju. Di kota metropolitan ini juga berkumpulnya suku bangsa dari pelosok negri dengan berbagai karakter dan sifat maka kita harus pandai-pandai menjaga sikap. Jakarta juga menjadi ajang dan tempat kompetisi yang begitu keras, siapa yang akan menjadi kuat dan terbaik nantinya. Bagi pendatang yang mampu bertahan akan sukses, bagi yang tidak ada dua pilihan: tetap bertahan dengan konsekwensi menjadi “tertindas” atau pergi menyingkir.

Tinggal di Jakarta harus bermental single fighter, karena kebanyakan masyarakatnya bersifat individualistik, loe-loe gue-gue, dan jangan terlalu menggantungkan kepada orang lain. Memang Godaan di Jakarta juga besar, jika tidak sabar dan tidak tahan banting akan mudah untuk menggadaikan diri dan melanggar prinsip-prinsip yang dinilai baik. Jika tidak hati-hati akan terjerumus ke “lembah hitam” baik itu karena sindikasi ataupun karena keterpaksaan diri. Cukup banyak pilihan di kota ini untuk menjadi orang baik atau buruk dengan segala konsekwensi tentunya.

Kurang lebih satu tahun saya di Jakarta kemudian tiga tahun “menyingkir” ke Tangerang karena dapat pekerjaan di sana, dan kemudian saya putuskan untuk pulang kampung. Bagi saya cukup bersyukur dapat merasakan pernah tinggal di Jakarta yang terkenal kejam dan keras, cukup banyak pelajaran yang dapat di petik di sana. Ada kenangan manis dan getir di sana dan saya dapat melaluinya tanpa harus tersandung lebih dalam. Bagi saya dan kebanyakan orang juga mengiinginkan Jakarta yang lebih baik, kota yang nyaman,humanis dan berkarakter. Biarlah Jakarta menjadi tempat ajang untuk berkompetisi walaupun harus disebut tempat yang keras dan kejam, untuk menjadikan manusia yang kuat dan tangguh. Di sanalah tempat terbaik untuk menjadi cermin diri dan saringan seperti tipe manusia model apa sebenarnya. Terporasi jadi orang baik atau buruk, pemenang atau pecundang, tangga atau lemah, konsisten atau oportunis, seleksi alam dan kompetisi ketat yang akan menentukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun