Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang 39 Tahun Ahmad Wahib (Tetap Idealis dalam Kerasnya Realitas)

31 Maret 2012   05:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:13 2001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="240" caption="Ahmad Wahib      (9 November 1942 - 31 Maret 1973)"][/caption]

Malam itu pada tanggal 31 Maret 1973, seusai menyelesaikan laporannya sebagai calon reporter dari kantor Majalah Tempo, Ahmad Wahib bergegas keluar dari tempatnya bekerja itu. Tidak disangka dipersimpangan Jalan Senen Raya-Kalilio meluncur sepeda motor berkecepatan tinggi menabrak Ahmad Wahib dari belakang. Ahmad Wahib sempat dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto namun karena keadaannya begitu parah ia kemudian dirujuk menuju RSUP dengan ambulans, dalam perjalanan itu Ahmad Wahib menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Kematiannya tidak berakhir sia-sia, rupanya semasa hidupnya Ahmad Wahib rajin menuliskan apa yang menjadi pemikiran, pendapat serta apa yang menjadi pergolakan batinnya. Tema yang dibahas pun bemacam-macam, mulai masalah agama (theologis), politik, filsafat, sosial budaya, dan menyangkut sesuatu sensitif yang sering ditabukan orang: Tuhan. Catatan-catatan itu melalui bantuan sahabatnya Djohan Effendi, diterbikan dengan Judul Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, pada tahun 1981. Kalangan umat Islam sempat gempar, buku itu menjadi polemik, ada pro dan kontra. Sempat pula diwacanakan buku itu dicekal karena dianggap menyesatkan. Dan buku itu sampai sekarang merupakan bacaan wajib bagi para mahasiswa, aktivis, dan pemikir.

Terlepas dari itu semua sosok Ahmad Wahib dapat dijadikan panutan akan kebebasan berfikir serta teguhnya mempertahankan idealisme bahkan dalam situasi yang tidak mengenakkan sekalipun. Ahmad Wahib lahir di Sampang, Madura pada tanggal 9 November 1942, ia dibesarkan di lingkungan agama Islam yang kuat. Tahun 1961 setelah tamat SMA Pamekasan jurusan ilmu pasti, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) UGM Yogyakarta yang dikemudian hari tidak sempat diselesaikannya. Di sana ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), peranannya pun menonjol maka ia pun cukup banyak bersinggungan dengan tokoh HMI yang lain seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahadjo, Johan Efendi, Amidhan. Semasa masih hidup, pergulatan akan pikiran-pikirannya itu juga menimbulkan kontroversi di internal HMI. Begitu kerasnya pergolakan di dalamnya sampai pada akhirnya demi kebaikan dirinya dan organisasi, Ahmad wahib menyatakan keluar dari HMI. Di luar HMI ia sering berinterkasi dengan beberapa tokoh seperti Dr. Mukti Ali yang memimpin “Lingkaran Diskusi Limited Group”, A. R. Baswedan, Samanhudi. Selain itu juga akrab dengan para pastur, romo, dan suster.

Ahmad Wahib tetap memilih seorang yang idealis, dan hal itu merupakan sosok yang langka. Bertahan sebagai idealis adalah suatu yang berat, di mana harus bertahan menghadapi kerasnya realitas. Sama seperti Soe Hok Gie -yang rela diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan- menjadi seorang idealis itu tidak saja dimusuhi lawan tetapi juga dijauhi teman seperjuangan dahulu. Hal itu sangat terasa ketika Ahmad Wahib pindah ke Jakarta selain untuk belajar juga mencari “penghidupan”. Seperti yang ditulis dalam catatan hariannya yang diterbitkan itu, “Betapa banyak kawan-kawan baikku sendiri enggan dan menjauh dariku setelah mereka tahu tidak ada lagi keuntungan bisa diperoleh dari orang yang tidak punya kekuatan apa-apa seperti aku. Jadi apa kekuatan itu? Sebut saja: uang, pengaruh dan status sosial! Coba perhatikan betapa banyak idealis-idealis yang telah runtuh dan kini telah berkompromi. Apa yang mereka dulu serang, sekarang mereka sendiri mengerjakannya”. Ia kemudian melanjutkan, ”Sepanjang pengamatankutidak ada idealis-idealis dari Yogya yang bisa bertahan dengan idealismenya di Jakarta, suatu kota yang ganas. Di Jakarta, mereka “terpaksa” tidak konsisten”, (hal 343).

Menurutnya sikap mandiri dan tidak tergantung –apalagi mengharap belas kasihan- kepada orang lain itu yang membuat diri menjadi terhormat. Begitu gigih ia bertahan dalam idealismenya itu, konsekwensi diantaranya adalah minimnya finansial. Akibatnya ia sering sakit karena menahan lapar, dan yang paling menyedihkan adalah beberapa buku yang susah payah dibeli serta beberapa dokumen rusak dimakan rayap, karena tiadanya tempat menyimpan buku. “Kelangkaan uang menyebabkan banyak sekali kerugian baik benda ataupun waktu. Semuanya serba tidak effisien, sedang aku sangat takut berhutang”, (hal 351). Ternyata menjadi seorang idealis itu tidak mudah, banyak cobaan dan rintangan yang dihadapi termasuk siap untuk menderita.

Dan di kota metropolitan Jakarta idealisme seseorang diuji dalam kerasnya realitas. Jika masih kuat akan tetap bertahan, ada yang menyingkir, dan tidak jarang ada menyerah. Tidak heran pula banyak yang pada masa mahasiswa begitu vokal dan idealis ternyata di kemudian hari berubah 180 derajat, apalagi jika sudah memasuki ranah politik dan kekuasaan. Novelis Milan Kuldera menyatakan “perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah melawan lupa”. Rupanya ungkapan itu tidak saja cocok bagi para politikus atau pejabat tetapi cukup relevan bagi para aktivis yang sering berkoar akan idealisme.

Berjuang mempertahankan idealisme diri memang berat terutama di Jakarta yang penuh godaan, ini merupakan ibarat menghadapi badai seperti yang diungkapkan Kyai Rais dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi , “Badai paling dahsyat dalam sejarah manusia adalah badai jiwa, badai rohani, badai hati. Inilah badai yang bisa membongkar dan menghempaskan iman, logika, kepercayaan diri, dan tujuan hidup”. Dan rupanya Ahmad Wahib berhasil mengatasi “badai jiwa” yang berat itu dalam perjalanan menemukan dirinya yang sejati.

Patut disyukuri bahwa bangsa ini mempunyai tokoh seperti Ahmad Wahib yang begitu teguh mempertahankan idealismenya itu, cukup dapat menjadi contoh pada kondisi bangsa kita saat ini yang minim figur keteladanan. Betapapun berat, harus dijalani sebagai konsekwensi atas pilihan sadarnya itu. Tetap setia pada pemikiran dan pendapatnya, dan tidak melakukan sesuatu yang telah dikritiknya dahulu adalah ujian yang terberat. Seperti Soe Hok Gie, Ahmad Wahid adalah sekian dari aktivis yang mampu konsisten dan bertahan. Dan itu harus dapat menjadi teladan bagi kita semua terutama bagi para aktivis yang menyebut dirinya idealis sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun