[caption id="attachment_400439" align="aligncenter" width="550" caption="Polisi mengrebek desa sarang hasil tadahan, akar masalah harus dituntaskan. Sumber : viva.co.id"][/caption]
Aksi begal yang merampas paksa sepeda motor sebenarnya sudah banyak terdengar. Aksi begal mencapai masa puncaknya dan menjadi perhatian luas masyarakat ketika aksi itu mengalami kegagalan seperti yang terjadi di Pondok Aren, Tangerang Senin lalu (24/02). Sungguh apes dan tragis nasib sang begal itu, aksinya gagal dan tertangkap massa, dan mengadili sang begal itu dengan membakarnya hidup-hidup. Akhirnya nasib sang begal itu bisa ditebak : tewas sia-sia.
Melihat fenomena ini, sebenarnya banyak Pihak yang menjadi korban karena berada pada situasi yang tidak mengenakkan. Pihak itu adalah yang menjadi korban perampasan tentunya, sang begal bila aksinya gagal, dan masyarakat yang bertindak anarkis (baca: main hakim sendiri). Bisa kira rasakan sendiri bagaimana massa itu bertindak tanpa rasa “berdosa” dalam melanggar hukum bahkan brutal. Dan masyarakat lainnya (yang tidak terlibat langsung) terbelah sikapnya. Ada yang mengecam dan ada juga yang menganggap tindakan itu biasa saja tanpa rasa prihatin. Ya bisa jadi sikap terjadi karena ia juga pernah jadi korban, di samping kegeraman akan begal yang sadis sedangkan aparat penegak hukum tidak dapat bertindak banyak.
Pertanyaan yang dapat kita utarakan adalah bagaimana begal itu nekat melakukan aksinya padahal risikonya juga besar, nyawa adalah taruhannya: di “dor” polisi atau di hakimi massa. Tidak mungkin pula bila begal itu melakukannya bila tidak ada hasilnya, yang bisa jadi besar pula atau menggiurkan. Meminjam bahasa bisnisnya, high risk high return.
Masalah ekonomi dan kondisi sosial dapat membuat orang menjadi nekat. Kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial bisa menjadi kambing hitamnya. Masalah perut kadang membuat seseorang melakukantindakan apa saja tanpa pikir panjang, asal perut dapat terisi dan dapur terus mengepul tidak peduli apakah itu melanggar hukum dan berisiko tinggi.
Sepada motor curian sangat bernilai ?
Ini yang harus menjadi perhatian kita, bahwa sepeda motor hasil curian cukup bernilai. Tidak mungkin pula sang begal mendapat hasil buruannya jika tidak mendapatkan hasil apa-apa, dalam hal ini uang, yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup atau sekedar foya-foya. Sepeda motor hasil kejahatan jelas ada penadahnya, sehingga terus dibutuhkan.
Dalam hal ini hukum ekomomi berlaku persediaan dan permintaan (supply and demand). Permintaan motor curian rupanya cukup menggiurkan sehingga perlu di pasok persediaannya. Mungkin saking tingginya permintaan sepeda motor curian, dan hasil dari aksi keteledoran korban tidak mencukupi sehingga harus didapatkan dengan hasil paksa.
Ketika sepeda motor curian itu didapat tentu ada penadahnya, dan penadahnya memberikan uang kepada si begal itu sebagai hasil usahanya. Tentu saja si penadah itu tidak mau rugi, ia akan “memasarkan” sepeda motor itu agar ia pun dapat keuntungan.
“Perjalanan” sepeda motor hasil kejahatan itu, bila ditanyakan ke masyarakat akan mampu menjawabnya walaupun itu sekedar dugaan namun cukup masuk akal. Setelah mendapatkan kendaraan curian itu, untuk menghilangkan jejak maka akan “dilempar” ke daerah lain yang cukup jauh. Dan untuk lebih aman lagi maka kendaraan itu dipasarkan kepada daerah yang tidak mudah terlacak aparat hukum. Maka di daerah terpencil adalah sasarannya, bukan menuduh –semoga ini salah- kendaraan yang dipakai di daerah terpecil itu apakah ada surat-suratnya ?.
Kalaupun tidak “dibuang” jauh maka kendaraan itu akan dipreteli. Mesin dan rangka yang ada nomornya jelas singkirkan terlebih dahulu agar tidak terlacak. Bisa juga pecah-pecah dan tinggal dikilokan saja. Sedangkan bagian yang lain bisa dijual seperti vleg, rantai, dalaman mesin ataupun aksesorisnya: lampu, plastik penutup, dan lainnya dapat pula dijadikan uang. Pemasarannya pun dapat menyasar, sekedar dugaan –semoga ini salah-, pada bengkel atau di pasar loak.
Ataupun ini adalah kerjaan sindikat canggih. Kendaraan itu dapat beroperasi dan punya surat-surat tapi palsu. Bukankah membuat STNK bodong cukup mudah, dan itu tidak kentara bila tidak dilihat secara seksama. Polisi bisa saja kecolongan dalam pemeriksaan kendaraan bila ada operasi lalu lintas atau tilang. Petugas hanya mengecek SIM dan STNK pengendara saja, dalam pemeriksaan cukup dilihat apakah SIM itu sudah mati, dan STNK dicocokkan dengan nomor platnya. Tidak sampai mencocokkan nomor rangka atau mesinnya.
Pemberantasan pada akarnya
Memberantas aksi begal sebenarnya cukup mudah, yaitu upaya pencegahan (preventif) dan penindakan hukum secara tegas. Mata rantai perjalanan kendaraan bermasalah itu harus diputus. Maka perhatian akan suplay and demand harus diperhatikan. Permintaan akan kendaraan bermasalah harus diberantas, dengan demikian maka persediaan pun akan berkurang.
Dan tugas ini adalah tanggung jawab kita bersama. Pemerintah dalam hal iniperlu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mulai dari pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan pekerjaan, dan mempersempit jurang kesenjangan sosial di masyarakat. Aparat hukum selain menindak tegas begal dijalanan juga berfokus pada penadahnya. Pada penadah itulah yang seharusnya diberantas, yang bisa jadi inilah penyebab para begal itu ada dan semakin nekat. Sealin into pihak terkait lebih ketat lagi dalam pendiplisinan surat kendaran yang dimiliki masyarakat.
Daerah tertentu yang menjadi lahan “pemasaran” hasil curian harus disisir habis. Adalah langkah yang cukup tepat apa yang dilakukan aparat polisi yang melakukan tindakan penyitaan suku cadang kedaran bermotor di desa Sasak Panjang, Bojonggede Kab. Bogor Sabtu lalu (28/02) (Sumber viva.co.id). Bagi yang tidak mempunyai surat lengkap perlu disita kendaraannya dan yang bersangkutan perlu ditindak secara hukum. Sehingga nantinya masyarakat jera dan sadar hukum dengan tidak memakai apalagi memiliki kendaraan yang tidak jelas asal usulnya.
Peran masyarakat secara luas perlu digalakkan. Diharapkan masyarakat lebih teliti dan hati-hati terhadap kendaraan bermotor termasuk onderdil dan aksesorisnya. Tidak mudah terbuai harga murah dengan tergoda barang bagus. Tidak segan-segan melaporkan kepada pihak keamanan bila mendapatkan situasi yang mencurigakan, terutama berkenaan dengan kendaran.
Jika akar masalahnya telah tersentuh dan diatasi maka fenomena begal akan berakhir dengan sendirinya, setidaknya berkurang. Tidaklah mungkin bila orang melakukan sesuatu yang risikonya besar tetapi tidak mendapatkan apa-apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H