Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Terapkan Strategi Bumi Hangus buat Budi Gunawan dan Abraham Samad

22 Februari 2015   05:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:44 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="596" caption="Sumber : suaramerdeka.com"][/caption]

Perseteruan antara polisi dan KPK untuk sementara berada posisi "gencatan" senjata, setelah presiden Jokowi membuat keputusan dengan tidak dilantiknya Budi Gunawan (BG) dan pemberhentian komisioner KPK yang dinyatakan tersangka: Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (18/2). Dan keputusan presiden Jokowi itu mampu meredakan ketegangan antara kedua belah pihak terutama isyu masalah kriminalisasi dan pelemahan KPK.

Langkah yang diambil Jokowi –boleh dibilang- sudah benar dan bersikap cukup "adil" yang langsung membidik pusat masalah itu sendiri. Jika ditelelusiri lebih mendalam masalah ketegangan kedua institusi adalah permasalahan dua tokoh (sentral) masing-masing, dalam hal ini BG dan AS. Disinyalir kedua tokoh ini terdapat sentimen pribadi yang membawa-bawa institusi masing-masing sebagai pertahanan diri atau kepentingan tertentu. BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK (baca:AS), sedangkan AS sebagai balasannya balik ditetapkan sebagai tersangka oleh polri (baca:orang-orang BG).

Sepertinya Jokowi tahu permainan kedua tokoh itu yang lebih mengedepankan pada rasa sentimen pribadi daripada aspek hukumnya. Maka cukup tepat juga ketika Jokowi "melemahkan" keduanya dengan ditariknya BG menjadi kapolri dan memberhentikan AS sebagai ketua sekaligus komisioner KPK. Cara Jokowi ini cukup ampuh, kedua institusi penegak hukum itu akhirnya dapat akur, apalagi plt ketua KPK yang baru pengganti AS (Taufiequrachman Ruki) berasal dari unsur polri.

Langkah yang dipakai Jokowi adalah pola bumi hangus. Ia "menghanguskan" persoalan yang terpendam yaitu BG dan AS tanpa harus menghanguskan polri dan KPK yang memang harus diselamatkan. Kedua tokoh itu sama-sama "ditumbalkan" untuk menuju kepentingan yang lebih besar, berakhirnya kegaduhan serta melepas kesanderaan Jokowi sendiri dalam kasus ini. BG bisa jadi kecewa karena dijadikan tersangka dan tidak menjadi kapolri. Tapi BG boleh sedikit lega bahwa AS yang selama ini dianggap sebagai biang keladi kegagalannya, juga diberhentikan dari KPK dan jadi tersangka. Istilah bumi hangus juga mencerminkan zero sum game, semua sama-sama kalah dan tidak dapat apa-apa.

Sama-sama bebas atau sama-sama dipenjara

Walaupun BG dan AS sama-sama kehilangan jabatan tertinggi institusi penegak hukum, namun persoalan tidak lah berhenti begitu saja. Jokowi tentu akan dibebankan persoalan berikutnya. BG dan AS sama-sama tersandera kasus hukum yang ditetapkanmasing-masing institusi yang berseberangan. Ini yang akan menjadi persoalan tersendiri, sebab keduannya juga sama-sama menyangkal bersalah dan mangkir untuk pemeriksaan. Ada dua solusi yang dipakai untuk menyelesaikan kedua kasus tokoh itu. Bagaimanapun juga keduanya mempunyai kontribusi yang baik di institusinya masing-masing. Kasus yang diangkat adalah permasalahan lama yang coba diungkit-ungkit lagi.

Pertama, Sama-sama dibebaskan. BG dan AS sama-sama merasa dikorbankan (dikriminalisasi) dan tidak bersalah, keduanya -demi ketertiban- dapat dibebaskan dari kasus yang disangkakan tersebut (transaksional kasus). Kasus dihentikan begitu saja dan tidak perlu dibawa ke pengadilan. Untuk itu perlu peranan Jokowi sebagai presiden sebagai penengahnya. Bisa saja presiden membuat perataturan tententu sehingga keduanya dapat dibebaskan.

Pengalaman terdahulu pimpinan KPK Bibit Samat Riyanto dan Chandra M Hamzah dapat dibebaskan melalui deponering (menghentikan perkara demi kepentingan umum) yang dikeluarkan kejaksaan agung. Potentensi AS lebih terbuka dibebaskan. Presiden bisa saja memerintahkan kepada kepolisian untuk menghentikan perkara itu. Namun tidak demikian dengan BG, Jokowi pun akan kesulitan mengintervensi KPK yang memang merupakan lembaga independen. Sebagai lembaga khusus pun KPK ketika menyatakan status tersangka tidak ada istilah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Setiap orang yang dinyatakan tersangka harus dinyatakan bersalah bagaimanapun caranya.

Kedua, sama-sama di penjara. Jika KPK konsisten dengan kinerjanya selama ini, maka dapat dipastikan bahwa BG akan bersalah. Mengingat selama ini kasus yang ditangani KPK sampai di pengadilan hampir seratus persen berakhir dinyatakan bersalah, di penjara pastilah tempatnya. Melihat preseden kasus KPK selama ini BG kemungkinan berakhir pula di penjara, sebab KPK tidak sembarangan dalam menyatakan status tersangka yang barang tentu disertai bukti yang cukup kuat. Jika BG dinyatakan bersalah, bagaimana dengan AS yang juga dijadikan tersangka oleh polri. Jika Jokowi merasa "adil" tentu saja akan membiarkan segala proses hukum berjalan sebagaimana mestinya. Biarlah dalam proses sidang pengadilan yang memutuskannya, bersalah atau tidaknya. Dan kemungkinan dinyatakan bersalah cukup besar, dan AS akhirnya masuk penjara juga.

Jika keduanya sama-sama di penjara, bolehlah menjadi prestasi kepolisian dalam mempidanakan Ketua KPK walaupun kasusnya "ecek-ecek". Dan ini dapat dikatakan pada kondisi impas sebab kedua kubu dapat menyeret ketua dan calon kepala ke penjara.

Sikap jalan tengah

Bagaimana sebaiknya Jokowi bersikap, membiarkan kedunya bebas atau justru berada di penjara ?. Betapun juga harus kita harus bersikap bijak dalam masalah hukum ini. Menurut hemat saya, Jokowi sebaiknya "membiarkan" secara natural proses hukum itu berjalan. Tidak perlu intervensi secara jauh. Dengan demikian proses polisi ataupun KPK dapat percaya diri dalam menangani kasus yang ditanganinya.

Ada beberapa keuntungan bila kedunya dinyatakan bersalah dan Jokowi membiarkan apa adanya. Pertama, untuk menegakkan asas persamaan di depan hukum (equality before the law) bahwa hukum sama bagi semua warga negara tanpa terkecuali akan menguat di masyarakat. Tidak ada yang kebal dalam hukum, walaupun orang terdekat pada kekuasaan sekalipun. Kedua, citra penegakan hukum akan meningkat, yang diharapkan berimbas ke masyarakat akan sadar hukum. Dan kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum akan tumbuh, yang selama ini citranya masih cukup buruk.

Jokowi sebagai kepala negara dapat berperan disini. Baik BG dan AS boleh dinyatakan bersalah ataupun di penjara. Namun kita harus ingat pula bahwa tentu kedua tokoh itu juga punya kontribusi yag besar pada bangsa dan negara. Jika telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan, Jokowi dengan wewenangnya dapat memberikan peengampunan apapun prosesnya: amnesti. grasi, abolisi, atau rehabilitasi. Terserah pada presiden Jokowi memakai mekanisme yang ada, ini dimaksudkan agar tidak ada prosedur hukum yang dilanggar. Cara membumihanguskan ala Jokowi ini cukup efektif dalam meredam "sentimen" antar institusi peneak hukum. Selain itu sebagai cara 'membersihkan" atau menyingkirkan para pimpinan penegak yang bermasalah baik itu masalah hukum (korupsi) ataupun etika (politis). Penegak hukum ya penegak hukum jangan berpikiran yang urusan yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun