Jika RUU pilkada disahkan tentunya publik tercengang, rakyat merasa dirampas , suaranya tergilas, Bukan kehilagan harta atau sakit karena kanker ganas melainkan haknya memilih pemimpin yang mereka presentasikan sebagai orang yang layak melayaninya tidak akan terdengar karena gema suara dalam gedung mewah terlalu bising dan lebih senang orgasme sendiri ketimbang melibatkan rakyat yang menjadikannya tuan atas kursi yang disodorkan rakyat.
Memang lebih sakit dari sakit gigi karena ternyata merekalah orang-orang terpilih di DPR yang rakyat utus pada pemilihan langsung beberapa tahun silam yang mengusulkan RUU pilkada tidak secara langsung, " kacang lupa pada kulitnya " mungkin itulah yang terbesik dalam pikiran kami sebagai warga negara.
Harga yang murah menjadi tawarannya kepada rakyat , entah dari mana asal kelompok yang ingin menyembelih hak rakyat dengan tawaran yang belum tentu sedikit baik atau banyak buruknya, karena sebuah sistem pasti punya kebocoran. Jika harga yang kelompok itu tawarkan tentu saja rakyat merasa tergadaikan karna menurutnya pilkada tak langsung hanya butuh kopi dan pisang goreng ujar salah seorang tim sukses capres kemarin. Tapi kog biaya pelantikan anggota DPR mencapai Rp.16,1 M belum lagi pengadaan lencana Rp.5,8jt/orang yg terdiri dari 580 anggota DPR, kira-kira anggaran PILKADA lewat DPR berapa yah ? ,sebaiknya yang DPR pikirkan jangan hanya persoalan uang melulu tapi pikirkan bagaimana memperbaiki sistem pilkadanya.
Mengurangi korupsi kepala daerah juga menjadi bahan jualanya karena menurutnya jika pilkada langsung marak terjadi money politik yang mengharuskan kepala daerah terpilih mengembalikkan kredit yang dikeluarkan ke rakyat dengan cara korupsi, tentu itu bukan solusi karna tak bisa menjamin jika pilkada tak langsung tidak melahirkan korupsi dan biaya mahal, yang ada hanya memindahkan money politik  dan perdagangan daging sapi atau  daging apalah dari luar ke ruangan kamar-kamar mewah dalam gedung mewah.
Menghapus sistem noken yang diterapkan papua juga dijadikan alasan mengapa harus dilakukan pilkada oleh DPR . papua adalah provinsi yang  adat istiadatnya  masih kental dan sistem noken itu dilakukan lewat permusyawarahan perwakilan yang murni dan menganut sistem pemilihan Langsung, Umum, Bebas dan Terbuka (LUBET).
Salah satu potensi yang paling rawan jika pilkada kembali ke DPRD adalah tabrakan hasil revisi UU Pilkada dengan beberapa UU lain. Salah satunya dengan UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD alias UU MD3. Karena dalam UU itu tidak ada pasal yang menyebut bahwa salah satu fungsi dewan adalah memilih kepala daerah/wakil kepala daerah.
Tawaran harga bukan penjamin baiknya sebuah kualitas pilkada, lebih baik harga mahal untuk kualitas buruk dari yang terburuk dari pada harga murah tapi menjadikannya terburuk. Begitupun tawaran penghapusan sistem noken di papua, karena sistem noken merupakan kearifan lokal dalam demokrasi kemasyarakatan dan di sahkan oleh MK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H