Mohon tunggu...
Heru Tri Budi
Heru Tri Budi Mohon Tunggu... Pemuka Agama - pemerhati kesehatan jiwa dan keluarga

Teman sharing keluarga dalam obrolan seputar kesehatan emosional, spiritual, relasional dalam keluarga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kelembutan Hati Maria, Refleksi Natal

25 Desember 2018   06:09 Diperbarui: 26 Desember 2018   09:42 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[htb/25/12/18] - Selain pribadi Yesus, ada pribadi lain yang tidak bisa dipisahkan dengan kisah Natal, yaitu Yusuf dan Maria. Dalam Perjanjian Lama kita mengenal nama Miryam sebagai kakak Musa. Miryam adalah kata Ibrani, dalam bahasa Yunani nama Miryam berubah menjadi Mariam. Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Yunani mencatat beberapa orang yang bernama Maria, yaitu: Maria ibu Yesus, Maria adik Marta, Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus (Matius 27:56), Maria ibu Yohanes Markus (Kisah 12:12) dan Maria yang disalam oleh Paulus di Roma 16:6.

Saat ini kita akan cermati tokoh Maria ibu Yesus. Tidak banyak informasi yang dicacat di Alkitab tentang Maria ini. Tapi ini memang menggambarkan pribadinya yang rendah hati, penuh ketaatan dan penyerahan terhadap kehendak Allah. Kita harus puas dengan minimnya informasi ini, tidak perlu mencari-cari atau menambahkan dengan berbagai cerita yang bersifat mitos dan kultus terhadap dirinya.

Ketika Malaikat menemui Maria dan memberitahukan pilihan Allah untuk memakai rahimnya dan hidupnya sebagai ibu Yesus, Maria tinggal di Nazaret dan statusnya saat itu sedang bertunangan dengan Yusuf dan masih dalam keadaan perawan.  Bukan hal yang mudah bagi Maria untuk mengemban tugas Kerajaan Allah ini. Dia seorang gadis desa yang sederhana dan berada dalam lingkungan masyarakat yang konservatif dalam tatanan etika, moral dan keagamaan. Akan menjadi berita yang buruk jika seorang gadis seperti Maria ternyata ketahuan hamil. Masyarakat akan menghakimi dan menorehkan aib kepada dirinya dan keluarganya. Bahkan secara hukum agama Yahudi, Maria pantas untuk dihukum rajam (dilempari) batu sampai mati.

Mendengar berita tentang kasih karunia ini Maria dengan polos berkata, "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?" Dia tidak mencari alasan berbelit-belit dan menghindar panggilan berat ini. Setelah Malaikat menjelaskan, bahwa ia akan mengandung oleh Roh Kudus, maka dengan lembut hati Maria berkata: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Lalu malaikat itu meninggalkan dia. 

Masih adakah saat ini seorang wanita yang memiliki hati selembut Maria yang rela menyerahkan hidupnya untuk dipakai Allah menyatakan kasih karunia-Nya dan berani mempercayai Allah -- walaupun kelihatannya mustahil bisa terjadi? Adakah kelembutan hati menjadi sesuatu yang mulia bagi hidup kita di hari Natal ini? 

Selamat hari Natal, dan memberikan diri untuk menjadi pewarta kabar baik bagi sesama.

Hari Natal, 25 Desember 2018

hatebe/25/12/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun