[#herutribudi#restorasikeluarga] Siapakah Orang Ketiga dalam pernikahan? Banyak orang ketika berbicara tentang Orang Ketiga dalam pernikahan langsung menunjuk kepada PIL (Pria Idaman Lain) atau WIL (Wanita Idaman Lain). Sebagian kita tidak pernah berpikir, bahwa seseorang yang ada di rumah kita atau bagian dari keluarga kita juga bisa menjadi Orang Ketiga yang merusak keharmonisan pernikahan kita.
      Orang Ketiga yang saya maksudkan tersebut bisa saja Mertua, Adik, Kakak, atau bahkan anak-anak. Bahkan kalau kita perluas teman kerja, teman karib, atau teman se-hobi bisa menjadi orang ketiga yang mengganggu keharmonisan sebuah pernikahan. Seseorang --siapapun dia -- yang merenggangkan hati dan relasi pasangan suami istri bisa menjadi adalah ORANG KETIGA.
      Prinsip pernikahan yang sangat mendasar yang diajarkan kitab suci adalah: "Seorang Laki-laki akan  meninggalkan ayah ibunya untuk bersatu dengan istrinya." Pernikahan adalah sebuah langkah dalam hidup seorang anak untuk meninggalkan orang tua secara fisik, emosi dan keuangan untuk masuk dalam proses menjadi satu dengan istrinya dalam pernikahan. Hal ini tentu saja tidak meniadakan rasa hormat dan ikatan darah antara anak dan orang tua.
      Secara fisik, seorang anak yang menikah akan keluar dari rumah orang tuanya dan membangun rumah tangganya sendiri -- walaupun harus mengontrak di rumah petak yang sempit. Secara emosi, seseorang yang sudah menikah akan berpindah dari peran seorang anak (yang manja, kolokan, dan merasa aman di dalam perlindungan orang tua) menjadi suami atau istri yang siap mengatasi berbagai tekanan emosi bersama pasangannya. Sedangkan secara keuangan, seorang anak yang menikah melepaskan beban yang selama ini menjadi tanggungan orang tuanya dan mengatasi kebutuhan keuangannya bersama pasangannya.
      Dalam kultur orang-orang timur seperti di Indonesia seringkali proses meninggalkan ini menjadi lebih sulit dilakukan. Kita akan temukan banyak keluarga yang tinggal di rumah orang tuanya turun-temurun. Bahkan beberapa suku sengaja membangun rumah besar agar keturunannya bisa tinggal di rumah untuk seterusnya.
      Dua contoh berikut ini mungkin bisa menjadi contoh bagaimana Mertua bisa menjadi ORANG KETIGA dalam sebuah pernikahan dan merusak keharmonisan sebuah keluarga. Yang pertama adalah pasangan John dan Mita. Dua-duanya bekerja. Ketika mereka menikah orang tua Mita mengajukan syarat agar mereka tetap tinggal di rumah mereka. Mereka tidak bisa mengelak karena merasa kasihan dengan orang tua yang sudah lanjut usia itu.
      Mulailah pasangan suami istri ini menjalani pernikahan mereka di 'pondok mertua indah'  Sebagai suami istri mereka memiliki 'kerajaan' dengan luas wilayah 3 x 4 meter, yaitu kamar Mita sejak remaja. Di luar kamar itu berarti wilayah kekuasaan sang mertua. Bulan-bulan pertama si John merasa baik-baik saja, tetapi setelah usia pernikahan mereka memasuki bulan ke enam, mulai muncul berbagai ketegangan dan konflik. John merasa tidak bebas dan mertuanya banyak mencampuri urusan keluarganya -- dan sayangnya istrinya kelihatannya sangat menikmati situasi itu. Bagaimana tidak, karena sejak kecil Mita tinggal di rumah itu dan dimanjakan orang tuanya bukan? Singkat cerita pasangan muda ini kemudian pisah. Pernikahan mereka hancur.
      Yang kedua adalah pasangan Felix dan Susan. Kondisinya agak berbeda dengan pasangan John dan Mita. Felix dan Susan sebenarnya tinggal di rumah yang berbeda dengan orang tuanya. Tetapi Felix sebagai anak tunggal secara emosional sangat dekat dengan ibunya, apalagi setelah  ayahnya meninggal. Ibunya terlalu banyak mencampuri rumah tangga anak semata wayangnya ini, dari urusan dapur, penataan ruangan sampai urusan keuangan anaknya. Susan merasa sangat tertekan karenanya. Akhirnya kemarahannya tidak bisa terbendung lagi ketika beberapa agenda yang sudah dirancang berdua sekian lama juga berantakan karena Felix tidak bisa menolak permintaan Ibunya yang ingin diantar untuk acara yang sebenarnya tidak penting. Hubungan pasangan muda ini penuh ketegangan dan konflik walaupun tidak sampai bercerai.
      ORANG KETIGA -- siapapun dia -- akan merebut perhatian dan waktu yang seharusnya diberikan kepada pasangan. Mula-mula pasangan akan memakluminya dan coba memahaminya, tetapi kemudian dia akan merasa terpinggirkan, dan seterusnya dia akan merasa cemburu. Jika kondisi ini tidak segera diatasi akan memunculkan kemarahan yang terpendam dan kemudian akan meledak menghancurkan hubungan dan kasih sayang yang sudah terbangun.
      Meninggalkan orang tua menjadi langkah yang tepat untuk melepaskan ikatan-ikatan masa lalu yang membuat seseorang tidak bisa menyatu dengan pasangannya. Sebab kenangan masa lalu, kenyamanan yang selama diberikan orang tua, kebergantungan secara emosional dan keuangan yang selama ini memberikan rasa aman, semua harus mulai dilepaskan ketika seseorang menikah. Tanpa langkah meninggalkan semuanya itu proses menjadi satu dengan pasangannya akan mengalami hambatan.
      Bagaimana seharusnya yang dilakukan orang tua ketika anaknya menikah? Orang tua harus merelakan anaknya meninggalkannya. Mungkin saja tidak bisa dilakukan secara drastis, tetapi dari pihak orang tua perlu mendorong dan menolong agar anaknya yang sudah menikah langkah demi langkah mulai meninggalkannya secara fisik, emosional dan keuangan. Perannya sekarang bukan lagi sebagai pengasuh anak tetapi 'mentor' dan konsultan bagi anaknya agar mereka bisa menjadi suami/istri yang baik. Para mertua yang baik hati: Janganlah Anda menjadi Orang Ketiga yang mengganggu keharmonisan keluarga anak-anak Anda.