Tahun 2010 merupakan awal baru dari era perdagangan bebas di kawasan ASEAN. Negara-negara ASEAN telah berkomitmen untuk mengimplementasikan perdagangan bebas dengan China. Perdagangan bebas China-ASEAN atau CAFTAini tentu ditanggapi beragam pendapat. Tentu ada pro, dan tidak sedikit yang kontra. Tulisan ini mencoba melihat secara singkat bagaimana dampak dari perkembangan CAFTA terhadap sektor teknologi informasi dan komunikasi Indonesia, dan bagaimana kita harus menyikapinya.
* * *
Satu hal yang perlu dikedepankan dalam pembahasan CAFTA adalah tidak ada sektor yang tidak terpengaruh oleh pasar yang menjadi lebih terbuka lagi dari sebelumnya, kecuali sektor yang memang belum dibuka, namun itupun hanya soal waktu saja. Sehingga, sektor telekomunikasi pun akan sedikit banyak terpengaruh dengan pasar yang kian bebas, fokusnya terutama adalah serbuan produk-produk China yang bisa dinilai merugikan, namun dapat dianggap juga “menguntungkan”.
Dikatakan menguntungkan karena memang, diakui atau tidak, produk-produk China sangat kompetitif, kalau tak mau dibilang murah. Misalnya saja telepon seluler (ponsel). Bila dibandingkan dengan produk-produk ber-merk global, maka produk China dengan tampilan yang nyaris sama lebih bisa terjangkau harganya bagi masyarakat. Dengan perluasan pengguna telekomunikasi dari kelas atas, kemudian menengah, dan kini ke kalangan bawah, serta dari orang-orang kota menuju desa-desa, maka yang dibutuhkan masyarakat adalah harga produk yang terjangkau. Tentu saja produk-produk China yang sudah menjadi “home industry” menjadi pilihan dibanding produk ber-merk buatan non-China.
Dengan dibukanya pasar bebas China-ASEAN, maka diperkirakan produk-produk seperti ponsel akan makin membanjiri pasar Indonesia. Ini dapat dilihat dengan sertifikasi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, yang mana terlihat akan kecenderungan naiknya produk-produk yang berasal dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Sebenanrya bukan Cuma ponsel. Perangkat telekomunikasi seperti perangkat BTS, switching, antena, jaringan serat optik sampai data card (dongle) kecenderungan penggunaan produk China meningkat, bahkan menggusur vendor-vendor Eropa. Selain harga murah, China juga berani berinvestasi dan memberikan kemudahan pembayaran bagi operator.
Jika vendor-vendor Eropa saja tergusur, apalagi dengan produk telekomunikasi lokal. Stigma harga yang tidak bersaing dan kualitas yang dipertanyakan, kesulitan mendapatkan pendanaan membuat para operator telekomunikasi berpikir seribu kali menggunakan produk dalam negeri. Inilah yang bisa dikatakan merugikan. Upaya mencoba membangkitkan industri perangkat telekomunikasi dari “kuburnya”, bisa jadi terhambat bahkan menjadi sia-sia karena rintisan yang baru dimulai langsung dihadapkan dengan raksasa yang skala ekonomisnya sudah tinggi.
* * *
Dua kunci utama menghadapi CAFTA adalah soal daya tahan dan daya saing. Daya tahan di sini maksudnya adalah agar kita tidak sekadar menjadi pasar saja. Sebab, adopsi masyarakat yang cepat akan hadirnya teknologi baru dan demam pemanfaatan layanan teknologi informasi dan komunikasi, menjadi peluang sendiri dan daya tarik investor maupun produsen perangkat dari luar untuk masuk ke Indonesia. Jika memang tidak bisa “melawan”, perlu adanya saringan jaminan kualitas misalnya, agar tidak sembarang produk masuk. Apalagi harga yang murah tidak seiring dengan kualitasnya yang bagus.
Selain sertifikasi yang ketat, karena ekonomi dunia bergerak jika ada kerja sama yang saling menguntungkan, perlu dibuat kebijakan nasional mengenai kewajiban pemasok perangkat telekomunikasi bekerjasama dengan vendor dalam negeri ‘asli’ dan adanya Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tertentu sebelum produk itu bisa dipasarkan di sini. Tenaga kerja asing yang turut dibawa ke sini ketika perangkat telekomunikasi dipasarkan juga perlu dibatasi mengingat tenaga kerja Indonesia cukup melimpah dan punya kemampuan yang tidak kalah dengan tenaga kerja asing.
Dalam hal daya saing, produsen perangkat telekomunikasi dalam negeri harus pandai berinovasi, melihat ceruk pasar serta menjaga kualitas produk sesuai standar internasional. Pemerintah harus membuka sumbatan-sumbatan yang terkait dengan upaya pengembangan produk lokal telekomunikasi. Biaya riset dan pengembangan yang mahal perlu dibantu, kesulitan perizinan perlu dipangkas, dan tentunya perlu keberpihakan dan komitmen bahwa industri telekomunikasi dalam negeri memang perlu dikembangkan, dan Indonesia bukan sekadar menjadi pasar saja.
Soal visi, misi dan strategi ke depan dalam hal teknologi informasi dan komunikasi ini jangan dianggap remeh. Ketika akhir November lalu berkunjung ke China dan menjadi pembicara dalam Seminar “Convergence of Industrialization and ICT: Challenges and Opportunities” yang diselenggarakan oleh ITU dengan pemerintah RRC, nampak jelas visi, misi dan strategi China dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk menghadapi konvergensi. Yaitu, dengan menggabungkan Kementerian Industri dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Ini artinya, ke depan, China akan memfokuskan industrinya ke arah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Industri yang akan menjadi sentral dari segala industri ke depan.