[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Kementerian Komunikasi dan Informatika baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 14/2009 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Hadirnya peraturan menteri seperti sudah diduga akan menimbulkan pro dan kontra, hal itu karena persoalan mengatur konten internet memang dilematis. Disebut dilematis itu karena di satu sisi, pengaturan memberikan rasa aman bagi pengguna internet akan muatan negatif yang mungkin ada, namun di sisi lain dikhawatirkan pengaturan akan mengekang kebebasan pengguna untuk berekspresi dan mendapatkan informasi apa pun. Perdebatan ini sama dengan perdebatan mengenai apakah diperlukannya hukum karena manusia bisa mengatur dirinya sendiri, yang kemudian dikritisi bahwa manusia dengan egonya akan dapat berbuat sekehendak hati sendiri dan mungkin akan melanggar hak-hak orang lain sehingga dinilai hukum diperlukan. Ini sama dengan pertanyaan apakah kita bisa mengembangkan dan memberitahukan semua orang untuk mengunduh, mengunggah, ataupun mengakses internet hanya untuk yang positif saja. Yang muaranya, ternyata memang kita tetap butuh yang namanya aturan ataupun koridor. Menurut UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 40 menegaskan, pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, dan juga pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan. Ini artinya, kepentingan umum harus terlindungi dari upaya-upaya yang ingin menjadikan internet sebagai media baru untuk menjalankan atau menyebarkan konten negatif sesuai aturan yang ada seperti pornografi, perjudian, kekerasan/sadisme, SARA, perdagangan ilegal, penipuan, peredaran narkoba, termasuk terorisme. Jika bertujuan baik mengapa ada kalangan menolak pengaturan konten? Jangan terlalu negatif dulu. Seperti disampaikan di awal, banyak yang menganggap bahwa filter negatif maupun positif ada di diri masing-masing pengakses internet. Selain itu, jumlah situs yang demikian banyak bagaimana mengaturnya untuk mana yang diblokir dan mana yang tidak. Satu diblokir, yang lain muncul seara bersamaan. Dapat disepakati bahwa mengatasi konten negatif perlu kerja keras semua pihak, dan menjalankan beberapa metode bersamaan. Filter pada diri sendiri memang sangat utama, sehingga pembinaan, sosialisasi terhadap pengguna agar menggunakan internet secara baik perlu terus-menerus dan secara luas dilakukan, termasuk bagaimana menggunakan internet secara CETAR—cerdas, tahu waktu dan rasa bertanggung jawab. Jika merasa mampu melakukan penapisan—filtering atau blokir, silakan saja. Tapi perlu diingat, seberapa cepat blokir dapat dilakukan dan seberapa banyak personil yang mampu memelototi satu per satu situs atau konten negatif. Saat ini memang dikembangkan adanya filter di DNS Nawala, yang tentunya transparansi situs yang diblok, kemampuan Nawala sendiri menghalau situs, perlu disampaikan terbuka pada publik. Tantang terkini adalah konten negatif masuk ke jejaring sosial, lewat akun-akun Twitter, Facebook dan sebagainya, yang bahkan direct message ke instant messenger. Obat-obatan ilegal, pornografi pun sudah masuk ke situs-situs lewat banner-banner iklan, baik iklan lokal maupun internasional. Yang tak kalah menjadi tantangan ke depan adalah bullying melalui media sosial, termasuk pencemaran nama baik, penyebaran berita palsu, yang kian ramai dengan menggunakan akun anonym. Transparansi mengenai mana konten layak ditutup dan mana yang layak diakses, tidak bisa ditentukan oleh satu orang atau satu lembaga saja, termasuk laporan yang masuk dari satu orang. Sehingga, mau tidak mau harus ada tim yang dibentuk untuk mengawasi dan mempertimbangan sebuah konten layak ditutup. Seperti yang dilakukan Lembaga Sensor Film, yang terdiri dari beberapa orang dengan berbagai latar belakang, agar sudut pandang terhadap satu konten bisa lebih luas menilainya. Apalagi jika hanya masukan dari satu orang kemudian ditutup, bisa saja ada kepentingan lain dibelakangnya. Dengan mendekati masalah konten dari dua lini, pengaturan dan pemberdayaan pengguna, dapat saling mengisi agar konten yang diakses adalah konten yang bermanfaat, mencerdaskan dan dapat membangun karakter bangsa. Namun tentu tantangan ke depan juga menjadi tidak mudah, apalagi konten sudah menjadi beraneka ragam penyebarannya, situs internet pornografi ditutup penjualan DVD porno masih bertebaran, musik ilegal lewat internet minta diblok di kaki lima CD bajakan begitu mudah didapat, bet online diblokir judi togel masih masih ditemui. Memang dilema.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H