ETNIS ROHINGYA :
KORBAN KEKERASAN STRUKTURAL YANG MENYEJARAH
Heru Susetyo
Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA)
@indo4rohingya/ herususetyo@gmail.com/Â http://indo4rohingya.org
Tidak banyak orang Indonesia yang tahu tentang etntis Rohingya. Jangankan memahami kasusnya, istilah 'Rohingya' pun terasa asing di telinga. Namun beberapa pekan terakhir ini kata 'Rohingya' tiba-tiba menyesaki media-media di Indonesia.
Pemicunya adalah berita duka bertubi-tubi tentang kekerasan dan pembantaian yang terjadi terhadap muslim Rohingya di Arakan/ Rakhine, Myanmar. Tepatnya pada awal bulan Juni 2012 ketika terjadi konflik antara warga Arakan non muslim dengan muslim Arakan (Rohingya). Konflik ini adalah buah dari informasi bahwa ada perkosaan terhadap wanita non muslim oleh pria muslim di Arakan. Berlanjut dengan tindakan pembalasan oleh warga non muslim. Sepuluh pria Rohingya dibantai ketika berada di dalam bus di Thandwe menuju Yangoon.
Kemudian konflik antar dua kelompok tak terhindarkan. Terjadi saling bantai dan saling serang. Muslim Rohingya, karena berjumlah lebih sedikit dan beratus tahun terpinggirkan, lantas terdesak. Ratusan desa muslim dibakar dan dihancurkan dan sekitar 850- 1000-an warga tewas. Sekitar 90.000 Ribuan lainnya terusir atau tetap berdiam dalam penderitaan. Karena hijrah ke bagian lain dari negara Myanmar adalah tidak mungkin. Mengungsi ke Bangladesh, negeri yang berbatasan langsung, adalah juga tidak mungkin. Karena Bangladesh menolak masuknya pengungsi Rohingya. Karena negeri Bangladesh sendiri adalah negeri miskin dengan luas wilayah kecil namun berpenduduk nyaris 150 juta jiwa.
Dan itu adalah salah satu seri kekerasan terhadap warga Rohingya. Â Sebelum dan sesudah merdekanya negara Myanmar (dulu bernama Burma) dari Inggris pada 4 Januari 1948 warga Rohingya kerap mengalami kekerasan dan diskriminasi. Keberadaan mereka tidak diakui sebagai salah satu etnis yang eksis di Myanmar dari 136 etnis yang ada. Ada saat keberadaan mereka diakui oleh Parlemen Myanmar, berpuluh tahun lalu. Namun sejak UU Kewarganegaraan Myanmar dilahirkan tahun 1982, Rohingya sama sekali dikeluarkan sebagai salah satu etnis yang diakui pemerintah Myanmar. Akibatnya, mereka-pun tidak diakui sebagai warganegara Myanmar (stateless).
Nama 'Rohingya' sendiri sebenarnya bukanlah identitas etnis. Lebih tepat sebagai identitas politik dan label yang disematkan oleh Francis Buchanan-Hamilton, dokter Inggris yang mengunjungi daerah Chittakaung pada akhir abad 18 untuk menyebut entitas muslim Arakan. Tidak ada makna yang jelas tentang apa arti kata 'rohingya' selain bahwa ia adalah label dan identitas untuk warga muslim Arakan tersebut.
Pendapat berbeda disampaikan Lukman Hakim. Pemimpin Rohingya di pengungsian di Jepang. Menurutnya, "Rohingya" adalah juga identitas etnis. Warga muslim Arakan tak keberatan disebut sebagai 'Rohingya'. Istilah 'Rohingya' berasal dari 'Rohang", nama daerah di Arakan.[1]