Mohon tunggu...
Heru Sudrajat
Heru Sudrajat Mohon Tunggu... Wiraswasta - pernah menjadi PNS di Disnaker Propinsi Jambi dan pernah bekerja di Harian Sriwijaya Pos Palembang

Pernah bekerja diharian Sriwijaya Pos Palembang sebagai wartawan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anggrek

22 November 2017   22:19 Diperbarui: 22 November 2017   22:27 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari bangun tidur sampai sore hari, Mbok Tumiyem masih saja bicara soal bunga anggrek yang patah tangkainya ditiup angin kencang, hujan semalam. Begitu kecewa beratnya, karena anggrek itu disiapkan untuk lomba merangkai  bunga antara desa. Padahal segala bentuk desain sudah digambar dengan cermat dan lima tempat bunga (pot) sudah disiapkan. Berulang kali dipandangi patahan anggrek dan matanya berkaca-kaca.

"Nasib kalau lagi apes, ya tetap apes. Kenapa hujan turun bersama angin. Coba tidak patah pasti juara bisa salaman dengan bupati,"gumam Mbok Tumiyem.

Diwarung-warung serta ditempat kerumuman ibu-ibu desa, selalu diceritakan anggreknya patah. Tak banyak ibu-ibu menanggapi hal tersebut. Dan ibu-ibu hanya menahan tawa, mendengar ocehannya yang terlalu didrama tisir. Sebab para ibu didesa tahu, bahwa yang dilombakan itu, bunga asli yang tumbuh di lingkungan desa. Sementara di desa tak ada tumbuh bunga anggrek. Yang ada tumbuh didesa bunga sepatu serta bunga tai ayam. Dalam lomba pun ada ketentuan, bunga yang dilombakan bunga yang tidak beli tapi memang ada didesa itu. Kalau bunga anggrek terlalu elit dan harganya pun mahal.

Mbok Tumiyem sepertinya tau para tetangga mengejeknya. Tanpa pikir panjang langsung meninggalkan kerumuman ibu-ibu. Pikirannya goyang dan sambil berjalan ngoceh dalam hati, tidak karu-karuan."Dasar ibu-ibu desa ini tidak tahu seni serta buta warna. Masak bunga sepatu, bunga tai ayam dilombakakan. Apa seninya? Tidak usah dilombakan pun sudah banyak tumbuh dihalaman dan pagar rumah. Katanya sekolah tinggi kok tidak tau seni,"gumamnya.

Hati Mbok Tumiyem terus bergejolak tidak terima diejek tetangga dan terus berkata dalam hati. Lomba merangkai bunga itu diadakan, agar ibu-ibu didesa tau seni. Bukan hanya tau soal harga sembako naik atau harga sandang turun. Mereka belum pernah ke Jakarta, belum pernah masuk Istana Negara rumah dinas pak presiden Jokowi. Disana tidak ada bunga sepatu atau bunga tai ayam dan adanya bunga anggrek. "Jelas tidak mutu panitia lomba dari pemerintah. Aturannya mengikuti aturan pusat, kalau merangkai bunga dimeja bupati itu, ya harus anggrek. Masak mau diganti bunga tai ayam dan bunga sepatu. Bupatinya juga tidak tau seni,"gerutunya dalam hati.

Mbok Tumiyem pun sudah punya tekad untuk menanyakan ke panitia, kenapa tidak nyontoh pusat, kalau merangkai bunga itu yang bagusnya bunga anggrek."Lucu desa kita, berani menentang contoh di pusat. Ini kan sudah mengganggu stabilitas keamanan negara. Aduh gawat nih. Dunia sudah terbalik,"ocehnya pelan.

Sesampai rumah Mbok Tumiyem langsung mengambil parang dan semua tanaman bunga tai ayam dan bunga sepatu di tebang. Bunga ini yang membuat orang-orang menentang contoh dari pusat. Sambil ketawa mengacung-acungkan parangnya.

Para tetangga pun berdatangan menganggap Mbok Tumiyem kumat penyakit gilanya. Ketawa Mbok Tumiyem semakin tinggi,"Semua sudah gila tidak ada yang waras berani menentang pusat!"Serunya dan tawa Mbok Tumiyem memecah kegilaan petinggi daerah ini. (heru sudrajat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun