Mohon tunggu...
Heru Priyadi
Heru Priyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beban Menjadi Anak Pertama

31 Oktober 2019   16:16 Diperbarui: 31 Oktober 2019   16:26 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah yang anda pikirkan apabila anda menjadi anak pertama dalam keluarga anda ? Pernahkah terpikir apa saja dampak positif dan negatif tentang menjadi anak pertama?

Saya adalah anak pertama dari dua bersaudara. Banyak sekali hal positif maupun negatif yang dirasakan sebagai anak sulung. Walaupun banyak pengalaman yang menyenangkan, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa menjadi anak pertama adalah beban yang sangat besar.

Sebagai anak pertama apalagi anak laki-laki tentu saja menggenggam beban yang sangat banyak dan berat. Harus menjadi contoh teladan bagi para adik-adiknya merupakan salah satu beban yang sangat sering dirasakan oleh kebanyakan anak pertama di dunia. 

Dengan beban ini, tentu saja kita harus menjadi yang terbaik di mata adik-adik kita. Apabila kita tidak berusaha menjadi contoh yang baik, tentu saja adik-adik kita akan mencontoh keburukan yang telah kita perbuat. Tentunya kita mengharapkan yang terbaik dari adik-adik kita dan tidak menirukan perbuatan buruk yang telah kita perbuat.

Beban yang selanjutnya pasti sangat relevan bagi anak pertama khususnya remaja, yaitu menjadi "pembantu" dalam keluarga. Pernahkah kalian diperintah untuk membeli sesuatu di warung? 

Pernahkah anda diperintah untuk membersihkan rumah? Pasti diantara kalian pernah mengalami seperti itu hanya karena kalian anak pertama. Apabila kalian membangkang untuk menolak perintah dari orang tua pasti orang tua kalian akan beralasan seperti "mau siapa lagi yang disuruh? Adikmu kan masih kecil!". Hal kecil seperti inilah yang dapat menjadi beban yang sangat besar bagi para anak sulung.

Beban yang selanjutnya yaitu kita tidak akan merasakan yang namanya "kebebasan". Kebebasan yang dimaksud adalah kita tidak bisa melakukan apapun demi kesenangan sendiri contohnya kita terhambat untuk keluar rumah untuk main. 

Kita dihambat untuk keluar dengan alasan untuk menjaga adik kita di dalam rumah. Kita selalu dibebankan untuk menjaga adik kita yang masih kecil, padahal orangtua kita bersedia untuk menjaga adik kita, tapi mengapa harus kita yang dibebani ?

Beban selanjutnya terkhususkan untuk anak sulung yang sudah memiliki pekerjaan yang tetap, kita sebagai anak pertama sudah pasti dibebani untuk membiayai adik-adik kita yang masih kecil entah itu masalah biaya untuk Pendidikan maupun segala biaya yang menanggung hidup seorang adik. Alaupun banyak anak sulung di dunia ini yang bisa dibilang ikhlas untuk membiayai adik-adiknya tapi tetap saja ini adalah satu hal yang menjadi beban anak sulung.

Beban yang selanjutnya adalah Anak Pertama adalah Trial and Error. Ayah dan Ibu tidak pernah jadi orang tua sebelum kami lahir. Semua hal dipersiapkan dengan baik, termasuk membaca berbagai buku untuk memperkaya pengetahuan. 

Namun, meski sudah mengumpulkan berbagai informasi, tapi mereka tidak pernah mempraktikkan cara mendidik anak dari lahir hingga dewasa. Singkat kata, selalu ada pernyataan "coba saja" di kehidupan anak pertama. 

Minimnya pengalaman sebagai orang tua membuat mereka akan memberikan semua yang terbaik untuk anak pertama. Apalagi, saat adik belum lahir dan kami masih jadi satu-satunya objek perhatian. Keinginan untuk memberikan yang terbaik terkadang membuat orang tua overprotective terhadap kami.

Terpaksa Selalu Mengalah dan Paham Keadaan merupakan suatu beban selanjutnya yang dirasakan oleh anak pertama. Perhatian penuh orang tua pada anak pertama mulai berubah saat adik datang. 

Kami perlahan dituntut untuk selalu mengalah dan paham keadaan. Kalimat seperti "Adikmu belum paham apa-apa, tolong mengalah ya, Kak." adalah makanan sehari-hari. 

Seringkali orang tua tidak paham bahwa kalimat tersebut terucap tanpa memikirkan perasaan kami. Contohnya, ketika kami dijanjikan akan dibelikan sebuah barang berbulan-bulan, namun tidak kunjung dibelikan. 

Orang tua malah menuruti permintaan adik dan membelikan apa yang diminta adik terlebih dahulu. Kami diminta mengalah karena adik belum tahu makna mengalah. Ibu dan Ayah tidak bertanya apakah kami suka dengan permintaan untuk mengalah.

Terpaksa Selalu Dewasa. Ketika orang tua tidak ada di rumah, seringkali anak pertama berubah peran menjadi "kepala keluarga" sementara. Tiba-tiba kami dianggap seperti orang dewasa yang bisa mengatasi semua masalah. Kami harus bisa menjaga keadaan rumah dalam aturan yang sudah ditetapkan orang tua. 

Menjaga adik, membersihkan rumah, dan kegiatan rumah tangga lainnya seringkali menjadi tanggung jawab kami. Ketika tanggung jawab tersebut dianggap tak berjalan baik, tak jarang kami yang disalahkan. Padahal kami tidak paham bagaimana cara mengurus anak kecil. Kami belum pernah jadi orang tua, bukan?

Inilah beberapa alasan mengapa menjadi anak pertama adalah beban hidup yang sangat berat. Kita harus senantiasa patuh kepada kedua orangtua kita. Tak bisa dipungkiri bahwa mempunyai adik adalah suatu anugerah yang tidak kalah hebatnya, tetapi dimana ada kelebihan pasti ada kekurangan. Jadi, walaupun berat bebannya kita tidak boleh mengeluh apalagi memberontak kepada orangtua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun