Selama tiga setengah abad sejak abad ke-16, bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda yang ketika itu mempunyai tujuan utama untuk mencari wilayah baru yang dapat dijadikan koloni dalam rangka memperluas kekuasaan, menambah kekayaan kerajaan, dan melakukan penyebaran agama.
Apabila perhitungan jarak antar generasi adalah 25 tahun, maka penjajahan telah mengubah sistem sosial, norma dan budaya bangsa Indonesia selama lebih dari 10 generasi, dimana orang pribumi telah dibiarkan miskin dan bodoh sehingga dengan leluasa kaum penjajah dapat mengeruk kekayaan alam dari wilayah jajahannya.
Sejak awal kolonialisasi, kaum penjajah telah memperlakukan orang-orang pribumi hanya sebagai budak yang tidak memiliki status hukum dan boleh diperdagangkan. Hal ini tergambar dalam sistem hukum yang diterapkan di wilayah jajahan dengan menetapkan bahwa "Burgerlijk Wetboek" atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang diberlakukan sejak tahun 1823, termasuk di dalamnya norma dan aturan mengenai perburuhan, tidak berlaku bagi orang pribumi.
Selanjutnya, perlakuan terhadap pribumi sebagai budak belian tersebut disahkan dalam berbagai aturan resmi kolonial yang menurut Dr. Agusmidah, antara lain dituangkan dalam peraturan tentang Pendaftaran Budak (Stb 1819 No. 58), peraturan Pajak atas Pemilikan Budak (Stb. 1820 No. 39a), dan berbagai peraturan (reglemen) lain yang memperkuat kedudukan kaum penjajah di atas orang-orang pribumi dan praktek-praktek perbudakan lainnya di wilayah Hindia Belanda.
Pada saat Inggris menguasai beberapa bagian wilayah nusantara pada tahun 1811-1814, Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles telah melarang dan menghapuskan praktek perbudakan dan praktek kerja paksa (rodi) di wilayah kekuasaannya dengan men-dirikan "the Java Benevolen Institution".
Namun ketika Belanda menguasai kembali wilayah yang dahulu menjadi wilayah jajahannya, maka ketentuan mengenai praktek perbudakan dan kerja rodi kembali berlaku yang kemudian diikuti oleh berbagai perlawanan dari kaum pribumi di hampir seluruh wilayah Hindia Belanda, seperti perlawanan yang dilakukan antara lain oleh Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Pangeran Padri, Sisingamangaraja, Pattimura, Dewi Sartika dan banyak pahlawan yang gugur dalam rangka menentang praktek perbudakan di wilayah nusantara.
Setelah memperoleh banyak perlawanan di wilayah jajahan dan adanya gerakan global yang menentang praktek perbudakan, Belanda mulai mengubah strategi dengan memperlunak praktek perbudakan menjadi sistem "perhambaan" (bediende) dimana seseorang harus menyerahkan jasa dan tenaganya kepada orang lain yang bertindak sebagai tuan atau pemberi pekerjaan (bukan orang yang menggunakan jasa dan tenaga orang lain) tanpa menggunakan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerja dengan upah yang ditentukan secara sepihak oleh si tuan atau pemberi pekerjaan atas dasar pengabdian, kesetiaan (loyal) dan kedekatan emosi secara pribadi dengan pemberi pekerjaan.
Dengan sistem hubungan kerja tersebut, Belanda membedakan orang-orang yang bekerja di wilayah jajahannya menjadi:
1.pekerja atau pegawai di bidang administrasi pemerintahan (ambtenaar);
2.pekerja di perusahaan-perusahaan (perkebunan) milik Belanda; dan
3.pekerja atau buruh lepas.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah 350 tahun dijajah, sistem kerja dan pembedaan pekerja belum sempat direformasi, sehingga masih ada pembedaan struktur warga negara yang melaksanakan pekerjaan di Indonesia yakni warga negara yang bekerja sebagai:
1.pegawai negeri sipil,
2.pegawai negeri militer,
3.pegawai badan usaha milik negara, dan
4.pegawai swasta murni, serta ditambah dengan
5.pekerja lepas, yakni pekerja yang melaksanakan pekerjaan berdasarkan kebutuhan (pekerja informal).
Hingga saat ini, semua pekerja dan pegawai yang melaksanakan pekerjaan relatif tanpa kesepakatan kerja yang dibuat antara pekerja/buruh (employee) sebagai penyedia jasa dan tenaga dengan pengguna jasa dan tenaga (employer) dalam kedudukan yang setara (equal) yang dituangkan dalam perjanjian kerja.
Dalam era industri saat ini, perjanjian kerja sebagai wujud dari kesepakatan kerja merupakan hal yang sangat esensial dalam hubungan kerja karena upah/imbalan diberikan dalam bentuk uang. Ketika masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan hubungan kerja tanpa perjanjian kerja, maka masyarakat tidak memiliki jaminan kepastian terhadap upah sebagai imbalan atas jasa dan tenaga yang telah diberikan.
Dengan demikian, hingga saat ini belum ada tolok ukur yang pasti untuk jasa dan tenaga sumber daya manusia di Indonesia, sehingga pemberian upah masih tetap didasarkan pada sistem hubungan kerja warisan jaman penjajahan yakni hubungan kerja antara pemberi kerja yang bertindak sebagai TUAN dengan KULI, KACUNG/PESURUH atau BURUH (KKB).
Upah yang diberikan oleh seorang tuan kepada kuli biasanya dilakukan secara borongan berdasarkan kesepakatan tidak tertulis terhadap volume pekerjaan tertentu tanpa ada kejelasan tolok ukur harga untuk jasa dan tenaga manusia yang telah diberikan.
Upah yang diberikan kepada seorang kacung atau pesuruh biasanya dilakukan berdasarkan kehadiran atau absensi dalam rangka menunggu untuk diperintah tanpa ada kejelasan tolok ukur bobot pekerjaan.
Upah yang diberikan kepada seorang buruh atau pekerja lepas biasanya dilakukan berdasarkan sistem upah harian, dimana satu hari dihitung 24 jam, atau sistem upah bulanan dimana satu bulan dihitung antara 25 hingga 30 hari kerja. Pekerjaan diberikan setiap saat, tanpa mengenal waktu, kemampuan dan keahlian dari penyedia jasa dan tenaga.
Tidak adanya perjanjian kerja dalam hubungan kerja mengakibatkan masyarakat cenderung terbiasa dengan sistem bekerja untuk kepentingan diri sendiri, tanpa standar upah, tanpa jaminan keselamatan, tanpa jaminan kesehatan, tanpa jaminan pensiun, tanpa tolok ukur keahlian dan keterampilan, dan tidak ada kenaikan upah secara berkala yang seharusnya disesuaikan dengan bertambahnya pengalaman kerja, yang dalam jangka panjang akan menjadi beban bagi lingkungan sosial.
Di lain pihak, pengguna jasa dan tenaga pun akan merasa kesulitan dalam menentukan upah sehingga mereka membuat pehitungan upah sendiri yang disesuaikan dengan modal dan kelangsungan usaha, serta tidak menghargai jasa dan tenaga yang telah digunakannya.
Tidak adanya kesetaraan kedudukan hukum antara penyedia jasa dan tenaga dan pengguna jasa dan tenaga akan mengakibatkan ketidak-adilan, ketidak-percayaan satu sama lain, dan bahkan akan menjurus pada sering terjadinya sengketa perburuhan.
Menghadapi era perdagangan bebas tanpa tolok ukur upah yang jelas yang tertuang dalam perjanjian kerja, justru akan membuat masyarakat semakin miskin dan tertindas, karena sudah menjadi sifat dasar para pemodal (investor), pengusaha dan orang yang bertindak sebagai tuan untuk membayar jasa dan tenaga pekerja/buruh dengan upah yang serendah mungkin demi keuntungan yang sebesar-besarnya.
Mereka tidak akan segan untuk melakukan kolusi dengan otoritas ketenagakerjaan untuk menghasilkan aturan yang menguntungkan dengan menggunakan sedikit tekanan dan iming-iming dukungan untuk memperoleh jabatan dan kekayaan.
Pembedaan warga negara yang bekerja (work force) menjadi pegawai negeri sipil, pegawai negeri militer, pegawai badan usaha milik negara, pegawai perusahaan swasta, dan pekerja lepas (pekerja informal) dengan standar upah yang berbeda-beda yang ditentukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing institusi akan menciptakan tatanan masyarakat yang terkotak-kotak, sehingga akan mudah memicu kecemburuan sosial karena warga masyarakat menganggap bahwa pekerjaan yang satu lebih mulia daripada pekerjaan yang lain, dan upah atau gaji institusi kerja yang satu akan lebih terjamin daripada institusi kerja yang lain. Dalam lingkungan masyarakat seperti ini, akan sering terjadi perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme dalam pelaksanaan pekerjaan.
Pembedaan upah atau gaji sebagai imbalan atas jasa dan tenaga yang tidak dituangkan dalam perjanjian kerja, tapi hanya didasarkan pada lingkup jabatan (autonomy) yang diuraikan dalam jenjang kepangkatan, dan pada kewenangan (authority) yang diuraikan dalam tingkat eselon, akan membuahkan kinerja yang tidak efektif dan tidak efisien karena tanggungjawab terhadap pelaksanaan pekerjaan akan mengerucut pada pucuk pimpinan sebagai pejabat yang berwenang.
Masyarakat pekerja atau pegawai akan terbiasa dengan pembebanan segala urusan dan tanggungjawab pekerjaan kepada atasan, sedangkan anak buah akan cenderung lepas tanggungjawab. Selanjutnya, masyarakat akan mengukur kesuksesan bukan atas dasar prestasi, namun hanya pada didasarkan atas pencapaian jabatan yang tinggi dengan gaji, tunjangan dan fasilitas yang besar, dengan kewenangan yang seluas-luasnya.
Tidak adanya perjanjian kerja dalam hubungan kerja akan membuat Pemerintah mengalami kesulitan dalam menghitung statistik angkatan kerja (work force) secara nasional karena banyaknya angka pengangguran tidak kentara (disguished unemployment) yang akan berdampak pada terjadinya kesenjangan sosial antara kelompok yang secara nyata telah memberikan jasa dan tenaga tetapi mendapat upah yang tidak sesuai, dengan kelompok yang tidak memberikan jasa dan tenaga namun tetap mendapat upah sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan perjanjian kerja yang tertulis dalam rangka melaksanakan pekerjaan, maka tidak terhindarkan terjadinya eksploitasi terhadap pekerja anak, sulitnya kesempatan kerja, tidak ada standar kometensi dan profisiensi, dan tidak ada jaminan untuk hari tua.
Tidak adanya standar upah yang ditetapkan secara nasional justru akan memicu persaingan yang tidak sehat karena akan terjadi kolusi, korupsi dan nepotisme dalam melaksanakan pekerjaan ditambah dengan tidak adanya hubungan kerja yang harmonis yang didasarkan pada rasa saling menghargai dan saling menghormati antara pekerja yunior dan senior.
Perjanjian kerja tertulis yang didasarkan pada pesan Rasulullah yakni kepastian pemberian upah, kejelasan tolok ukur kerjadan kesepakatan kerja yang didasarkan pada kesetaraanakan melindungi pekerja antar negara dari eksploitasi jasa dan tenaga oleh pengguna jasa dan tenaga pekerja di negara lain, dengan syarat bahwa perjanjian kerja wajib ditandatangani sendiri oleh pekerja dan pengguna jasa dan tenaga di negara lain tanpa perantara.
Dokumen perjanjian dibuat dalam sekurang-kurangnya 4 (empat) rangkap, yang selanjutnya 1 (satu) salinan perjanjian kerja disimpan oleh pekerja, 1 (satu) salinan disimpan oleh pengguna jasa dan tenaga, 1 (satu) salinan dikirimkan kepada kantor perwakilan negara di luar negeri dimana pekerja melaksanakan perjanjian kerja, dan 1 (satu) salinan disampaikan kepada otoritas ketenagakerjaan negara setempat.
Dalam upaya melindungi tenaga kerja nasional di luar negeri, maka otoritas ketenagakerjaan nasional wajib membuat nota kesepahaman (memorandum of understanding) dengan otoritas ketenagakerjaan di negara lain yang pada prinsipnya berisi substansi dari pesan Rasulullah SAW, yakni jaminan kepastian pemberian upah, jaminan tolok ukur kerja, dan jaminan kesetaraan kedudukan antara pekerja dengan pengguna jasa dan tenaga sesuai peraturan perundang-undangan di negara tempat perjanjian kerja dilaksanakan.
Sebaliknya, untuk melindungi tenaga kerja di dalam negeri, maka otoritas ketenagakerjaan nasional wajib meminta kepada pengguna jasa dan tenaga kerja asing untuk menyerahkan salinan perjanjian kerja yang telah disepakati.
Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi dalam memahami masalah ketenagakerjaan di Indonesia.
(Tulisan selanjutnya mengenai "Ketenagekerjaan dalam peraturan perundangan")
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H