Lari, olahraga satu ini punya banyak kenangan terindah buat saya. Waktu SD, pernah lari menyebrang jalan sampai nabrak pengendara sepeda. Untungnya, yang luka cuma dengkul.
Main lari-larian seperti polisi kejar penjahat meniru aksi di film seri True Blue (ngetrend tahun 90-an) sama teman-teman sekelas. Lalu ketika liburan di Minggiran (Bantul) tempat tinggal nenek, main perang-perangan ala koboy sama sepupu dan teman-teman pakai gedhebok pisang dibuat mirip senapan. Waktu baru sedang leyeh-leyeh duduk di teras rumah tetangga, tiba-tiba sepupu lewat di depan sambil berlari kencang. Dikira ada yang mengejar, saya lalu ikut berlari. Tapi apes, baru beberapa meter berlari, saya terjatuh kesandung akar pohon. Lagi-lagi, dengkul saya berdarah.
Lari juga mengingatkan saya pada permainan mobil Tamiya. Ketika jaman SD saya, Tamiya sedang ngetrend. Saya dan sepupu dibelikan mobil Tamiya oleh kakek waktu liburan di desa. Terus dipakai balapan sama teman di jalan desa yang masih sepi. Tapi lagi-lagi apes, pas waktu kendalikan Tamiya pakai tongkat kayu, gak taunya kaki saya malah sedikit injak bodi Tamiya punya teman. Akibatnya, bemper belakangnya retak. Untungnya, teman saya gak marah.
Kenangan lari berlanjut ke masa SMP. Setiap olahraga kelas satu dan kelas dua, hal pertama kali yang dilakukan itu lari. Gak tanggung-tanggung, larinya mengitari lapangan Bumijo (depan SMP saya dulu). Pernah pula disuruh lari mengitari dua kampung sekaligus (Badran dan sebagian Notoyudan) ketika itu. Yang pasti, waktu olah raga lari di SMP, saya selalu tiba yang paling akhir.
Begitu pula ketika saya dan tiga teman ikut her (mengulang) praktek lari di SMP kelas dua. Waktu itu, gak biasanya saya jadi yang terdepan. Maklum saja, satu teman saya tubuhnya gendut dan dua lagi perempuan. Tapi karena saya ada rasa sama salah seorang teman perempuan, saya memperlambat lari, memberinya jalan untuk lari di depan saya. Eh lha kok, teman perempuan saya dan juga temannya malah menambah kecepatan larinya. Jadilah saya tercecer di belakang sama teman yang gendut itu. Ketika di putaran terakhir, saya terus memperlambat lari. Karena sudah merasa lelah. Tapi teman saya yang gendut malah semakin kencang larinya. Rupanya, ia memang sengaja simpan tenaga untuk putaran terakhir. Wah, benar-benar terkecoh saya. Akhirnya, lagi-lagi saya yang tiba paling akhir.
Kenangan lari berlanjut ke SMA. Karena di dekat SMA saya gak ada lapangan yang luas, maka olahraganya dilakukan di Alun-Alun Lor yang jaraknya agak jauh dari sekolah. Kenangan lari kali ini menceritakan teman sekelas saya yang tubuhnya tinggi besar dan punya cita-cita jadi anggota TNI. Makanya ketika lari lima kali mengitari setengah Alun-Alun Lor, ia pasti selalu tampak menampilkan pencitraan yang gagah. Maklum saja karena pada saat bersamaan, ada sejumlah anggota TNI yang sedang berolah raga di sana. Waktu saya tanyakan, teman saya itu cuma jawab, “Siapa tahu ada yang kagum lalu masukin saya jadi anggota TNI.” Saya cuma tersenyum mendengarnya.
http://indonesia.travel/id/event/detail/867/jakarta-marathon-2014-festival-city-marathon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H