Di kampung saya ada beberapa toko barang-barang kebutuhan pokok dan peralatan rumah tangga. Salah satunya menjadi langganan keluarga saya sejak pertama kali dibuka. Hampir setiap membutuhkan barang-barang kebutuhan pokok, keluarga saya pasti membeli di toko itu.
Biasanya saya yang disuruh pergi membeli di toko itu. Pemilik toko itu, Bah Mena sudah akrab dengan keluarga saya. Jadi saya tidak canggung untuk bercanda dengannya. Terlebih lagi, Bah Mena orangnya juga ramah dan suka bercanda.
Pada suatu hari, saya berniat membeli lima bungkus mie instant rebus dan lima bungkus mie instant goreng di tokonya Bah Mena.
“Bawa uang sepuluh ribu Rupiah saja, ah”, pikir saya. Karena saya mempunyai pemikiran mie-mie instant yang hendak mau dibeli tidak akan lebih dari sepuluh ribu. Dengan percaya diri tinggi, saya menuju ke tokonya Bah Mena.
Sampai di toko itu, saya segera membeli mie instant. Bah Mena pun melayani dengan baik.
“Berapa semuanya?”, tanya saya.
“Tiga belas ribu lima ratus Rupiah”, jawab Bah Mena. Saya kaget ternyata uangnya kurang.
"Utang dulu, boleh tidak?" tanya saya lagi. Bah Mena menggeleng. Saya terpaksa pulang mengambil uang lagi. Beruntung, Bah Mena berbaik hati mengijinkan.
Tak lama kemudian, saya kembali lagi ke tokonya Bah Mena dengan membawa uang lambahan limapuluh ribu Rupiah. Dan langsung membayar harga mie instantnya yang kurang tadi.
“Lain kali kalau mau belanja, bawa uang yang banyak jadi tidak bolak-balik”, celethuk Bah Mena sambil tersenyum. saya menanggapinya juga dengan senyuman. Lalu berjalan pulang menuju ke rumahnya.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H