Kota Tegal selalu menarik dan membuat setiap orang mengenal karena logatnya yang khas. Rasanya tidak banyak bahasa daerah yang sangat khas yang menjadi icon daerahnya dengan tegas dan jelas. Logat yang khas dan meng-Indonesia, dapat dihitung dengan sebelah jari tangan, sebut saja misalnya: bahasa Madura, Batak & Suroboyo-an. Intonasinya terasa straight forward, tanpa basa-basi dan apa adanya, sehingga lantas cepat menjadi akrab. Begitu juga bahasa Tegal yang spesifik dan langka. Langka dalam bahasa Tegal dilafazkan dengan laka. Oleh sebab itu Tegal memiliki tagline : Tegal laka-laka, artinya Tegal yang sangat khas dan tidak bisa disamai. Simaklah kata-kata Tegal yang diadopsi dan dikenal luas : "Gagal maning, son!".
Jika anda memasuki kota Tegal dari arah Brebes, anda akan menemui pertigaan antara Jalan Diponegoro, Jalan AR. Hakim dan Jalan Sudirman di Kota Tegal. Pertigaan jalan tersebut merupakan jalur Tegal-Jakarta. Orang-orang menyebutnya Gili Tugel. Sepintas kilas pertigaan itu seperti tidak ada istimewanya. Setiap hari pertigaan tersebut sibuk dengan berbagai jenis kendaraan yang lewat. Saya penasaran mengapa jalan tersebut disebut Gili Tugel. Apanya yang tugel (putus jadi dua)? Saya mencoba mencari penjelasan mengenai Gili Tugel ini di internet dari berbagai sumber. Mengapa jalan ini disebut Gili Tugel?
Dari bacaan hasil browsing dan bertanya ke Mbah Google, saya menemukan ada dua versi sejarah terjadinya Gili Tugel yaitu :
1. Versi pertama : terjadi perang tanding dramatis antara Tumenggung Martoloyo, Adipati pertama Tegal dengan adiknya Adipati Martopuro dari Jepara (1670-an) yang masih satu guru dan satu ilmu. Kedua-duanya adalah Adipati yang sakti dan pilih tanding. Akhirnya keduanya sampyuh pada perang tanding yang mempertahankan prinsipnya masing-masing. Peristiwa ini terjadi pada masa Sunan Amangkurat II, putra dari Sunan Amangkurat atau Sunan Tegalwangi.
2. Versi kedua : Kisah Bupati Kaloran atau Raden Panji Cakranegara yang menentang kebijakan kerja paksa pembuatan jalan Daendels. Banyak rakyat yang telah dipaksa bekerja paksa, lalu Belanda menghukum pancung dan lehernya putus rakyat yang berani melawan pada waktu mengerjakan jalan itu.
Latar belakang :
Menelusuri sejarah dan mecoba mencari apa yang pernah terjadi, sehingga dapat sekedar membayangkan peristiwa masa silam. Dengan menelusuri google dan mencari catatan-catatan sejarah yang tersebar, saya mencoba merekonstruksi masa silam. Barangkali mozaic yang terpecah-pecah itu dapat membentuk gambaran masa silam.
Alkisah pada akhir tahun 1670 beberapa saat sebelum Amangkurat I meninggal tahun 1677, situasi Mataram kacau balau dengan merebaknya pemberontakan yang dipimpin Trunojoyo. Terjadi perang saudara yang luar biasa. Ditengah kekacauan itu, Amangkurat I terdesak dan menyingkir ke arah Barat. Kemudian Mataram dikuasai Trunojoyo, yang menjarah keraton Mataram di Plered. Dan kekacauan terus berlanjut tidak terkendali. Dalam kebingungannya, Amangkurat I bersekutu dengan Belanda (VOC) untuk meredam kekacauan yang terus tidak terkendali.
Dengan campur tangan VOC, perang pun berakhir, tetapi setelah perang saudara usai, justru inilah menjadi awal dari penjajahan. Atas jasanya meredakan kekacauan di wilayah Mataram, VOC meminta bayaran yang sangat mahal dan tak mungkin terbayarkan oleh pihak kerajaan. Inilah yang menjadi beban Amangkurat I sampai dengan akhir hayatnya.
Pemerasan VOC terhadap kerajaan Mataram, berlanjut sampai Amangkurat II menggantikan Sunan Tegalarum menjadi raja. Amangkurat II menjadi bingung karena harus melunasi ‘hutang’ yang tertunda kepada VOC. Padahal setelah pemberontakan Trunojoyo, keuangan kerajaan habis dan nyaris bangkrut.
Dalam kebingungan yang memuncak, Amangkurat II terpaksa merelakan wilayah pesisir utara Jawa dikuasai oleh VOC. Kendatipun mereka tetap membayar uang sewa tiap tahunnya, tetapi VOC tidak pernah mengembalikan wilayah pesisir utara kepada kerajaan. Hal ini membuat Mataram kehilangan pendapatan penting, dan Mataram semakin terisolasi dari kerajaan-kerajaan di wikayah Asia Tenggara. Komunikasi dengan pusat-pusat studi di Asia Selatan menjadi sulit, dan kian meningkatnya ketergantungan terhadap Belanda.
VOC kemudian menjalankan taktiknya. Gubernur Jendral Belanda Mr. Maetsuyke lalu mengutus Laksamana Cornelis Speelman dari VOC untuk menemui Amangkurat II. Tujuannya asalah bagaimana melenyapkan Martoloyo. Adipati Tegal selain sakti, juga paling ngotot, pembangkang dan selalu bersitegang dengan rajanya. Politik devide et impera kemudian digunakan Belanda untuk melenyapkan Adipati Martoloyo. Caranya Belanda meminta agar Amangkurat II mengadakan pertemuan agung, para Adipati se-Jawa bertempat di Kadipaten Jepara.