PT. Angkasa Pura II merayakan ulang tahunnya yang ke 30. Salah satu acaranya mengundang Abah Iwan Abdurahman (67 tahun) memberikan ceramah dari kisah perjalanan hidupnya yang sarat berinteraksi dengan alam bebas, gunung-gunung tinggi dan pelatihan militer yang disiplin dan keras. Abah Iwan adalah pencipta lagu Melati Dari Jayagiri, Flamboyan, Bulan Merah yang menjadi hit dan icon setelah dinyanyikan Bimbo. Juga lagu Burung Camar yang identik dengan Vina Panduwinata.
Mendengarkan beliau menceritakan bagaimana kisah terciptanya lagu-lagu itu, membuat saya menjadi maklum, pantas lagu itu menjadi terkenal dan menjadi lagu yang tetap memberi inspirasi sepanjang masa.
Sebenarnya terasa aneh bagaimana seorang seniman pencipta lagu, adalah juga anggota Wanadri sejak organisasi itu didirikan pada tahun 1967. Bagaimana seniman yang berkonotasi dengan sesuatu yang halus dan estetis, tetapi juga menjalani kehidupan disiplin keras layaknya militer.
Benar-benar dua gaya hidup yang berbeda jauh. Eksistensi abah Iwan di dunia yang keras bahwa dia adalah satu dari segelintir warga sipil yang menjadi anggota khusus korps baret merah, Kopassus.
Beliau ikut dalam operasi pembebasan peneliti asing Ekspedisi Lorents 95 di Mapenduma Papua, yang mengharumkan nama Kopassus di dunia. Selain itu, abah Iwan juga telah berhasil mendaki puncak-puncak gunung tinggi diantaranya adalah Cartenz dan Kilimanjaro. Beliau juga salah satu tim pendukung Tujuh Puncak Dunia, dan berhasil menyelesaikan misinya memuncaki ke tujuh puncak tertinggi di dunia.
Dan pada Jumat 11 Juli 2014 sore hari lalu di Gedung 600 kantor pusat Angkasa Pura II, abah Iwan mendendangkan lagu bercerita tentang alam dan kehidupan. Semua pengalaman hidup yang keras, renungan dan komtemplasinya bersama alam bebas ditumpahkan menjadi lagu-lagu yang begitu kuat ruh spiritualnya. Pantas saja lagu-lagu itu menjadi abadi, menjadi legenda dan tetap ever green.
Abah Iwan sore itu menyanyi sambil memetik gitar. Gitarnya konon sudah lebih 30 tahun bersama abah. Gitar itu pula yang dibawa ke puncak-puncak gunung dan mengiringi abah menyanyi dipuncaknya. Petikan gitarnya bening dan suara yang terjaga baik. Lagu-lagu itu terdengar apik, menyentuh hati dan sarat energi spitiual. Ditengah-tengah lagu, beliau berhenti dan mengisahkan bagaimana proses terjadinya lirik lagu tadi.
Lagu Melati Dari Jayagiri misalnya diciptakan tahun 1967, salah satu bait syairnya : Mentari kelak kan tenggelam / Gelap kan datang dingin mencekam / Harapanku bintang kan terang / Memberi sinar dalam hatiku.
Abah Iwan Abdurahman menjelaskan bahwa dalam kehidupan, tidak selamanya baik-baik saja, adakalanya gelap akan datang dan membuat hidup menjadi sulit dan susah. Tetapi janganlah putus asa, karena selalu akan ada harapan yang menjadi semangat untuk meneruskan kehidupan.
Harapan itu timbul ketika ada bintang. Nah, masing-masing mesti mencari bintang itu, yang menjadi inspirasi agar dapat keluar dari rada putus asa dan terus melangkah menghadapi masa depan dengan optimis.
Yang lain lagu Burung Camar menjadi icon Vina Panduwinata, lirik lagu itu ternyata ciptaan Iwan Abdurahman. Melodinya diciptakan oleh ahli kelautan waktu itu yang juara electone se Asia Pacific, saya lupa namanya. Abah menjelaskan bahwa itu sebenarnya bukan lagu gembira, tetapi lagu sedih. Kita simak syairnya :
Setelah membuang steak tadi, pada sore harinya abah melihat ada sampan nelayan yang sudah 3 hari disana tidak berpindah lokasi, masih berkutat mencari ikan dan tidak kunjung dapat! Kesadarannya muncul bagaimana mungkin dia membuang steak yang begitu enak, sementara disekitarnya ada orang yang menderita? Jurang si kaya dan si miskin, sungguh sangat jauh jaraknya.
Lagu lain yang menggugah adalah Bunga Putih. Pada setiap pendakian abah selalu menemukan bunga putih dan bunga ungu, yang berada di dekat puncak-puncak gunung. Umur bunga itu hanya 2 minggu-an, sesudah itu mati karena cuaca dingin yang ekstrim. Meskipun demikian bunga itu tetap berbunga dan menunjukkan jati dirinya. Bunga itu mekar, berwarna indah dan muncul sebagai manifestasi keberadaan dan rasa syukurnya kepada Sang Pencipta.
Bagi abah itulah dignity, martabat dan kebanggaan dari si Bunga Putih. Itulah manifestasi rasa syukur dari si Bunga Putih kepada Sang Pencipta.
Analogi dari itu, manusia mestinya juga menunjukkan dignity-nya dan berbuat yang terbaik untuk menunjukkan eksistensinya. Berbuatlah yang terbaik, muncullah dan tunjukkan eksistensi anda sebagai insan yang memiliki dignity, martabat, gengsi dan sekaligus juga sebentuk kebanggaan. Itulah sebenarnya makna syukur sesungguhnya.
Sosok di panggung itu mampu memberikan wacana dan inspirasi. Rasanya kami semua belajar dari perjalanan hidupnya yang penuh warna dan renungan yang begitu dalam menyentuh hati nurani.
Mudah-mudahan apa yang sudah di-sharing oleh Abah menjadi bekal kita. Membuat kita mampu untuk terus berfikir positif, tidak kehilangan motivasi, tetap mampu menemukan bintang yang akan memberi semangat. Juga membuat kita mengerti, di luar sana masih banyak orang yang menderita dan tidak se-beruntung kita. Dan yang lebih penting lagi, kita tidak kehilangan dignity untuk memberikan maksimal dengan peran kita masing-masing bagi perusahaan dan bagi Indonesia tercinta!
Semoga ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H