Mohon tunggu...
Heru Legowo
Heru Legowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang yang suka sesuatu hal yang baru, yang menantang fisik, kecerdasan dan yang penting segala sesuatu yang membuatnya merenung! Oleh karenanya, dia kerap melakukan pekerjaan atau perjalanan yang tidak biasa. Hal-hal baru dan tempat-tempat baru selalu mengusik keinginan-tahuannya. Dia akan melakukan apa saja untuk dapat mengerti dan memahaminya, kemudian berusaha menuliskan pengalamannya; untuk sekedar berbagi. Semoga bermanfaat …

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Air Traffic Congestion

26 September 2014   21:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:22 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua sibuk membahas yang satu ini, kepadatan lalu lintas udara. Terutama di bandar udara tersibuk nomor 9 di dunia : Soekarno-Hatta International Aiport (SHIA) yang melayani lebih dari 60 juta penumpang se tahun atau rata-2 165 ribu penumpang per hari. Kesibukan itu tercermin dari Tower SHIA yang rata-rata melayani 1.030 pergerakan pesawat/hari. Jika dibagi 24 jam, rata-rata petugas ATC (Air Traffic Controller) di Tower, diatas menara pengawas sana; melayani rata-rata 43 gerakan pesawat/jam, atau setiap 1,5 menit melayani satu pesawat. Bukan main!

Untuk mengatur kesibukan lalu lintas udara itu mereka menggunakan sarana Air Traffic Flow Management (ATFM). Rasanya itu juga tidak cukup, maka petugas ATC mengatur pesawat yang berdatangan masuk ke SHIA menuju ke suatu point dengan waktu yang sudah ditentukan. Waktu yang berdekatan dengan ETA (Estimated Time of Arrival), dari masing-masing pesawat itu. Dengan begitu maka terjadi antrian pesawat yang teratur.

Pesawat-pesawat itu diatur bertumpuk diatas wilayah udara Jakarta, dengan ketinggian yang berbeda masing-masing 1.000 kaki. Jadi anda yang berada di darat, tidak pernah membayangkan bahwa diatas sana, pada sore dan pada waktu jam sibuk, ada puluhan pesawat yang mengantri akan turun ke SHIA. Yang kasat mata adalah pesawat yang sedang antri menuju runway mau berangkat! Wajarlah jika petugas ATC pusing tujuh keliling. Ini benar-benar terjadi.

Di darat unit IDSC (Indonesian Slot Time) mengatur jadwal penerbangan dengan pemberian slot time dengan ketat. Jadwal penerbangan masing-masing airline diatur ketat, berdasarkan analisis NAC (Notice Airport Capacity). Intinya airline tidak dapat sembarangan menentukan jam keberangkatan atau kedatangannya sendiri, tetapi mesti dikoordinasikan dengan IDSC. Jam-jam keberangkatan dan kedatangannya akan disesuaikan dengan NAC yang meliputi kapasitas runway, kapasitas apron dan kapasitas Terminal Penumpang.

Semua itu dimaksudkan untuk mengurangi delay lalu lintas udara yang begitu padat. Salah satu hasil kolaborasi dari semua unit terkait antara lain : Airnav, PT. Angkasa Pura II, IDSC, Airline untuk menekan kepadatan lalu lintas udara, adalah mengalihkan beberapa penerbangan (Citilink) ke Halim Perdanakusumah. Keberhasilan lain adalah SHIA mampu meningkatkan runway occupancy rate (kemampuan runway untuk mengakomodasi pesawat take off dan landing dalam satu jam), dari 56 menjadi 72 dan direncanakan akan menjadi 82 flight/jam.

[caption id="attachment_361888" align="aligncenter" width="514" caption="Kepadatan Lalu Lintas Udara di atas Pulau Jawa"]

14117179101532866164
14117179101532866164
[/caption]

Lalu lintas udara di atas SHIA semakin hari semakin padat. Ini menyebabkan penggunaan bahan bakar yang semakin banyak dan membuat boros dan tidak efisien. Kalkulasi sederhana adalah sebagai berikut : jumlah pemakaian bahan bakar pesawat pada waktu taxy adalah sebanyak 15 kg/menit, pada waktu terbang di ketinggian jelajah (enroute) = 46 kg/menit dan pada waktu pesawat berputar diatas menunggu sebelum mendarat (holding) = 41 kg/menit. Jika harga bahan bakar per kg = USD 0.98, maka biaya untuk taxy per menit = USD 14,7 (Rp. 176 ribu), enroute = USD 45,2 (Rp. 540 ribu) dan pada waktu holding = USD 40,3 (Rp.480 ribu).

Sekedar untuk gambaran saja, jika pesawat taxy rata-rata 15 menit menuju ke runway untuk take off, maka biaya bahan bakarnya adalah Rp. 2,6 juta rupiah. Itu kalau normal. Padahal bagi yang sering naik pesawat tahu, bahwa di SHIA pesawat selalu antri dan butuh waktu lama sebelum untuk tinggal landas.

Garuda Indonesia rata-rata sekarang terbang ke Bali butuh hampir 2 jam, padahal sebelumnya hanya butuh waktu 1 jam 50 menit. Ada waktu 10 menit yang terbuang karena kepadatan lalu lintas udara. Anda dapat memperkirakan sendiri biayanya. Konon Garuda Indonesia harus menyiapkan USD 55 juta hanya untuk mengantisipasi kepadatan dan delay ini. Luar biasa!

Hal inilah yang mesti difikirkan bersama dan dicarikan jalan keluarnya. Seorang pakar DR. Hisar M. Pasaribu dari FTMD-ITB mengatakan jika dapat mengurangi delay di 10 bandara, maka akan berdampak kepada 50-100 bandara lain yang terhubung kepada 10 bandara tadi. Tentu saja 10 bandara tadi, adalah bandara besar yang menjadi Hub dari wilayah sekelilingnya.

Sebagai gambaran sementara ini IDSC baru menangani slot time dari 8 bandara antara lain: Kualanamu-Medan, Sultan Mahmud Badaruddin II-Palembang, Soekarno Hatta-Cengkareng, Juanda-Sidoarjo, I Gusti Ngurah Rai-Bali, Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan-Balikpapan, Sultan Hasanuddin-Maros dan Sentani-Jayapura.

Masih banyak hal yang harus diselesaikan. Hanya saja masalah ini memang harus dikerjakan secara terpadu! Tidak bisa hanya dikerjakan sektoral mesti multi disiplin dan melibatkan banyak unit kerja. Mestinya system CDM (Collaborative Decision Management) dapat mengurai masalah ini, Hanya saja mesti dikerjakan dibawah satu komando, yang melintasi beberapa kepentingan. Itu yang membuat ini menjadi tidak mudah! Tetapi bukan tidak mungkin, kan?

Pada akhir pembahasan rekan saya Hendarto Soehendro - salah seorang pakar ATC Indonesia - menyarankan agar jika tidak ada satu komando yang powerful yang mampu mengendalikan semua unit kerja, sebaiknya dibentuk sebuah Koalisi Permanen. Tugasnya memastikan dan mengusahakan agar semua kepentingan dari masing-masing instansi dapat diakomodasikan dan disinergikan, sehingga menghasilkan output  yang optimal. Koalisi Permanen ini mesti dipimpin oleh pejabat yang powerful - bila perlu setingkat Menteri - agar semua saran dan masukan benar-benar dikaji dan dapat diterapkan, bukan hanya menjadi wacana saja.

Semoga ...

herulegowo@gmail.com

Jumat, 26 Sept 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun