2.
Kantin Kampus
Siang itu saya makan siang dengan rekan sekampus di kantin.
Saat makanan pesanan sudah terhidang di meja, dan kami siap menyantapnya, teman saya berkata, “Sepertinya, sebelum kita makan, kita perlu merenungkan….”
“Maksudnya?” saya bertanya memotong.
“Merenungkan soal makanan yang akan kita makan ini,” katanya sambil menatapku tajam, “kita harus tahu, bahwa dari ribuan mahasiswa yang ada di kampus ini, ada beberapa mahasiswa yang trauma dengan kantin ini. Ia tidak berani masuk ke kantin ini. Ia tidak tahu harga dan daftar menu kantin ini. Bahkan, jika ada temannya yang membicarakan enaknya makan di kantin ini, ia akan pergi menjauh. Ya, itu sungguh terjadi, dan sebabnya adalah ia tidak punya uang. Uang dari orang tuanya hanya cukup untuk bayar SPP dan makan sehari dua kali, selebihnya ia harus puasa untuk bisa berkuliah.”
Saya terdiam. Memandang makanan yang tadinya terasa lezat, kini rasanya menyedihkan. Saya jadi merasa malu karena selama ini makan terlalu tamak di kantin ini, tanpa merasa tahu adanya penderitaan mahasiswa yang tidak bisa makan di kantin ini.
“Mahasiswa itu sungguh bercerita padaku dengan air mata berurai,” kata temanku haru.
Saya dan temanku kemudian makan dengan penuh empati. Rasanya, air mata mahasiswa yang mengalir karena kemiskinan membayang di pikiran saya selama sedang menyantap makanan kantin. Bahkan, sampai sekarang, setiap kali makan di kantin kampus, saya selalu ingat perkataan teman saya yang bijak itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H