Mohon tunggu...
Heru Kurniawan
Heru Kurniawan Mohon Tunggu... lainnya -

Mengakrabi Dunia dengan Aksara

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel : Lelaki Separuh Buaya

23 Januari 2012   05:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:33 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Lelaki Separuh Buaya

Ironi, Tragedi, dan Parodi Orang-orang Desa

Novel ini diadaptasi dari kisah-kisahnya nyata di desaku,

Maka Kupersembahakan pada yang telah menjadi bagian dari cerita ini:Bapak-Ibu dan Adik-adikku,

Saudara-saudaraku, Teman-teman masa kecilku, Tetanggaku; dan Seluruh Masyarakat Desa Pamengger

Aku kisahkan kehidupan kalian sebagai caraku

untuk mengabadikan hidup, Semoga bisa menginspirasi dan memberikan manfaat pada pembaca.

Amin.

Terima Kasih

Pada Tuhan Yang Maha Esa:

sekalipun dalam serba keterbatasan, keluargaku selalu mengkondisikanku untuku selalu ingat, tunduk, dan patuh pada keberadaan-Mu.

Terima kasih atas nikmat berlimbah dan ide yang membuncah untuk bisa menyelesaikan novel ini di tengah rutinitas yang padat.

Mimpi untuk menjadikan kehidupanku berguna bagi orang-orang di sekelilingku adalah kekuatanku untuk terus menulis atas kejadian-kejadian tragis-ironis yang telah ditakdirkan Tuhan untukku, saat aku hidup di desa yang sangat ispriratif:

Desa Pamengger.

Pada Bapak-Ibu dan Adik-adikku:

cara untuk mengungkapkan cinta beragam bahasanya. Novel ini adalah bahasaku yang paling nyebelin untuk mengatakan rasa cintaku pada kalian.

Sangat memusingkan mungkin,

saat kisah-kisah kekonyolan kita jadi abadi dalam cerita, tapi tujuan untuk berbagi dan memberi inspirasi hidup adalah kebaikan yang harus diabadikan.

Jadi, sekonyol dan segoblok apapun cerita hidup kita, pasti ada manfaatnya.

Atas dasar kemanfaatan ini aku kembali kisahkan cerita-cerita konyol keluargaku.

Pada Teman-teman seperjuangan dan sependeritaan:

Tongkat, Cik, Roh, Tuluk, Pendek, Auh, Said, Sakur, Rismo, Cik, Nar,Wer, Ending, Herwin, Ooh, Ii, dan masih banyak lain. Kesempurnaan kita adalah saat masih kanak-kanak yang begitu jujur dalam menjalani hidup yang apa adanya. Kemiskinan dan keserbakekurangan tak menyebabkan kita menyerah dalam bermain dari injek-injekkan sampai jotos-jotosan (terlihat kejam), tapi itu bahasa paling lugu kita dalam menaklukan alam dan kedirian kita sebagai anak-anak desa. Saya mengucapkan terima kasih pada kalian yang telah membagi kehidupan bersamaku dengan cara menyengsarakan dan membahagiakanku. Aku selalu ingat kalian beserta nasib-nasib kalian yang harus bercerai berai karena takdir. Jangan menyerah, dalam nasib yang berbeda-beda sebenarnya kita dalam ikatan darah anak-anak desa yang penuh vitalitas untuk menaklukan dunia. Aku berterima kasih memiliki persahabatan dengan kalian, yang sekalipun bisa jadi konyol, tapi kekonyolan itu telah mengajarkan banyak hal tentang kehidupan yang begitu manis ini.

Pada Saudara, Tetangga, dan Warga Desa Pamengger,

Terima kasih atas kasih sayang kalian padaku, sambutan hangat, dan kebersamaannya. Keramahan uluran tangan kalian yang begitu lembut membimbingku sejak kecil sampai dewasa membuatku selalu begitu takjub pada kuatnya bahu kalian untuk menaklukan hidup. Aku selalu berjanji pada diriku sendiri untuk bisa memberi arti pada anak-cucu keluarga kalian walaupun hanya sedikit. Aku ingin mengabdikan diri untuk tempat kita bertahan hidup: tanah kelahiran kita, desa yang semakin tua jelas semakin renta, Desa Pamangger.

Nenek Moyang dan Penghuni Tak Terlihat Desa Pamengger:

Terima kasih telah menempa kami dengan keyakinan dan mitos dan kisah-kisah zaman bahela yang menakjubkan dari aku kecil sampai dewasa. kisah-kisah itu selalu aku ceritakan pada anak keturunanku karena aku yakin kalian akan terus menjaga desaku, dan aku pun punya kewajiban untuk mempertahankan tempat dan identitas kita desa yang menjadikan kita ada sesuai dengan takdir kita masing-masing.

Desaku Desa Pamengger, desa yang dengan kerentaannya masih terus bertahan di tengah arus modernisasi dan kebijakan yang politik yang tak berpihak padamu.

Semoga aku dan generasiku bisa menjadikanmu sebagai tempat yang nyaman untuk hidup dan mempertahankan kemanusiaan dengan cara tertawa sebisa kita tertawa atas segala kelucuan dan kekonyolan hidup ini.

Barangkali Tertawa adalah Cara Paling Indah untuk Mengisi Hidup!

Pengantar

PAMENGGER!

Seperti desa yang lain, desa-desa yang ada di segala tanah air tercinta, aku punya nama: PAMENGGER, ya, Desa Pamengger. Nick Name-ku: Mengger. Terdiri atas: Mengger Lor, Mengger Wetan, dan Mengger Kidul, istilah pemerintahannya dusun. Tiga dusun ada dalam pelukan mesraku, tak mungkin terpisah karena kami punya hobi yang sama: memelihara kambing!

Kambing menyatukan kami.

Kambing memberi kami pengertian, jika kambing saja tidak pernah berebut rumput, kenapa kami harus berebut tanah sejumput untuk kata berpisah dari pelukan nenek moyang kami. Tidak! Kami sepakat untuk bersatu sebagai desa yang akan hidup selamanya bersatu, sampai kambing tidak bernama kambing lagi.

Kami akan berpisah jika Kambing sudah berubah takdir menjadi Manusia, dan Manusia menjadi Kambing!

Itu tekadku. Bulat seperti bola.

Bulat seperti bumi. Barangkali juga sperti onde-onde Wa Mirah yang selama puluhan tahun, setiap lebaran, selalu membuat Onde-onde, tidak pernah berubah. Sampai kami pung menyebut namanya Mirah Onde-onde!

Namaku Pamengger

Aku tak tahu dari mana sumbernya. Tak ada catatan sejarah yang jelas. Yang kutahu, katanya sih, PAMENGGER berarti TANAH YANG TINGI, tempat yang tak akan berkenalan dengan banjir, kecuali daerah yang dekat sungai. Pasti, Tetap saja ada bajir. Entahlah, tak tahu apakah sekarang makna filosofis masih bisa relevan denga problem alam dan sosial? Sepertinya tidak. Nama hanya tinggal nama. Tinggal harapan, selebihnya, yang berjuang menentukan nasib adalah yang mempunyai nama.

KITA!

Ya, Pamengger. Sangat Maskulin: Pa’ Mengger. Terdengar aku adalah laki-laki sepuh yang berjenggot panjang dan jalan bungkuk tertatih-tatih. Seperti Kambing.

SEPERTI LELAKI SEPARUH BUAYA!

Aku terletak dalam teritorial Kabupaten Brebes, kabupaten paling utara dari propinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat, kabupaten yang terkenal dengan Bawang Merah dan Telur Asinnya, selebihnya adalah bahasa ngapak-nya yang beraksen panjang dan mendayu-dayu pilu karena akan jadi bahan tertawaan bagi yang mendengarnya.

Aku terletak di Kecamatan Jatibarang, hati-hati nama Jatibarang ada yang menyamai, tepatnya Jatibarang tempat Pabrik Gula terbesar di Jawa Tengah ini berdiri. Jatibarang yang gersang dan panas. Bertabur asap pabrik gilingan gula yang selalu terbang melayang di uadara sebelum jatuh pada nasib kami yang miris.

Jarakku dengan kota kecamatan Jatibarang berkisar 3 kilometer. Sepertinya, jika kalian ingin menujuku, datanglah ke Kabupaten Brebes, jika sudah sampai tanyalah kota kecil kecamatan yang bernama Jatibarang, jika sudah sampai di Jatibarang, carilah pusat pasarnya, dan tanyalah orang-orang di pasar itu: Desa Pamengger, pasti semua orang mengenal, karena bisa jadi yang Anda tanya adalah orang yang tinggal di tanah airku.

Penghuniku yang jadi pedagang atau tukang becak selama puluhan tahun.

Jika sudah di pasar, Anda tinggal menempuh perjalanan sekitar 15 menit untuk sampai ke alamatku. Tidak usah kuatir, aku bukan desa tertinggal dan terpelosok, aku sama seperti desa umumnya di negeri ini, desa sub urban.

Untuk sampai di dialamatku, Anda bisa pakai kendaraan pribadi atau angkot (yang baru nongol tiga tahun terahir). Tapi, jika ingin menguji nyali, naiklah becak atau pir (delman). Nanti Anda akan merasakan asyiknya menuju ke rumahku. Bukan asik karena becak dan delmannya, tapi asyik karena jalannya yang super rusak. Berlubang-lubang dan bergelombang, maka naik becak dan delman serasa sedang naik kapal yang dihantam ombak yang begitu besar. Anda akan menyaksikan gagahnya supir becak dan delman yang pasti berasal dari tanahku.

Anda akan lihat keringaatnya yang bercucuran, gerakannya yang gagah, tatapan matanya yang tajam, dan hirupan nafasnya yang dalam, Anda akan mencium aroma tubuhnya yang tak besahabat dengan jantung Anda. Semoga tak tercemari dengan tempat pembuangan sampah pinggir jalan yang sudah puluhan tahun nasibnya sama. Teronggok dan membusuk tanpa ada sentuhan pemerintah untuk mengatasinya. Jika Anda sudah mencium perkawinan antara bau tubuh dan sampah lekaslah minta ambil minyak kayu putih. Hilangkan bau taksedap itu. Tujuannya agar Anda tetap sehat. Jangan mabok sebelum sampai ke tujuaan.

BAHAYA!

Karena jika sudah sampai di tempat tujuan, Anda pasti akan mabuk. Mabuk kenyataan. Apa yang Anda bayangkan tentang desa yang masuk buku selalu spektakuler, ternyata tidak berlaku bagi desa Pamengger. Di sana tak ada pemandangan yang indah. Di sana tidak ada lautan, gunung, dan gadis cantik.

Yang ada hanya keganasan dan kegersangan hidup. Celaka. Anda pasti akan mengatakan salah alamat.

Ya, demikianlah aku adanya. Aku desa yang biasa saja. Tapi, yang biasa tidak berarti juga biasa dalam pengalaman hidupnya. Aku punya pengalaman hidup yang sederhana dan konyol. Inilah yang akan aku ceritakan pada kalian. Sebuah cerita kekonyolan dan kegetiran hidup dari orang-orang yang hidup di tanah tumpah darahku: Desa Pamengger. Desa yang masih mempunyai banyak misteri kehidupan dan kekonyolan yang perlu diungkapan. Orang-orangnya, tempat-tempatnya, sampai kepada dunia binatanganya.

Aku adalah Desa Pamengger yang siap menampung ironisitas kehidupan yang paradoksal. Parodi dan tragedi, tangis dan bahagia, sakit dan sehat, sampai pada kehidupan dan kematian berbaur jadi satu. Dan yang paling ironis, keseriusan dan kekonyolan menjadi makananku sehari-hari. Dari orang-orang yang menganggapku sebagai tanah air tercinta.

Tentu sayang untuk dilewatkan setiap sisi cerita yang terjadi.

Dari sinilah novel atas catatan kekonyolan orang-orang di tanah airku ini akan aku ceritakan….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun