Mohon tunggu...
Heru Kesuma
Heru Kesuma Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Seorang penggemar berat Harutya. Menulis untuk hidup, selain mengisi waktu. Karena ia hanya seorang pengangguran yang hampir dua puluhan. Setiap apa yang ditulisnya membuatnya merasa dirinya punya alasan atas eksistensinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Solasola Menjadi Tuhan (Bagian I)

16 Agustus 2023   20:54 Diperbarui: 16 Agustus 2023   22:05 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : unsplash.com

Seorang bocah bernama Solasola tengah bertemu dengan Tuhan. Bukan suatu kebetulan, ini percobaan yang butuh proses panjang. Setiap hari, setiap saat, Solasola akan terus berdoa pada Tuhan agar dapat bertemu. Pernah ia takut jika harus mati lebih dulu barulah ketemu dengan Tuhan. Namun siapa sangka Tuhan sendiri yang akhirnya mau bertemu dengannya.Tuhan kata, Solasola tidak akan bisa bertemu Dia mau masih hidup atau sudah mati sekali pun. Maka bertanyalah Solasola pada-Nya, "Kenapa tidak bisa?"

Tuhan menjawab, tidak bisa. Karena Tuhan tidak ada wujud. Sudah lama wujud lama-Nya hilang.

Itu memang benar, batin Solasola. Sebab meski ia tengah bertemu dengan Tuhan, ia tak dapat melihatnya langsung. Hanya saja semuanya berhenti. Jarum jam di stasiun, orang-orang yang berlalu-lalang, burung-burung yang terbang, gerimis yang turun, hingga warna yang hilang. Semuanya jadi hitam putih di mata Solasola. Ketika Tuhan berkata, semuanya diwakilkan oleh mulut orang-orang dan kata-kata yang lewat di televisi stasiun.

Tuhan bertanya pula, apa yang dimau oleh Solasola. Dijawab oleh Solasola, "Saya mau jadi Tuhan juga."

Baca juga: [Cerpen] TPA

Seketika Tuhan terbahak-bahak mendengarnya. Lewat semua orang di stasiun dan lewat tulisan "Hahahaha". Tuhan menjawab, tidak bisa.

"Kalau begitu, saya mau tanya," kata Solasola, "kenapa Tuhan menurunkan bencana? Kenapa kesedihan harus ada di dunia ini? Dulu waktu saya mau lahir, ibu bilang ayah saya ditabrak sebuah truk waktu mau ke klinik menemani ibu saya melahirkan. Karena itu satu keluarga saya bersedih, ibu juga menyebut saya bawa sial."

Tuhan diam mendengarkan. Lalu lanjut lagi Solasola, "Saya pikir ibu tidak sayang dengan saya. Habis itu, waktu saya sekolah dasar, kota tempat saya tinggal malah diguncang gempa, ibu saya mati-matian menyelamatkan saya. Sampai-sampai dia mendorong saya dan membiarkan diri ditimpa atap. Habis hancur ibu saya."

"Tidak itu saja. Waktu kakek dan nenek mengasuh saya, setelah ibu meninggal, mereka malah dirampok orang dan mati ditikam. Polisi berhasil mencari perampoknya, dan ternyata mereka orang yang begitu miskin. Tidak bekerja, sekalinya bekerja upahnya tidak pernah dibayar, jadinya untuk makan mereka malah merampok. Saya pun berpindah tumpangan pada bibi, mereka orang susah. Kadang kami tidak makan. Kami juga pindah-pindah kontrakan," lanjut Solasola.

Tuhan masih diam mendengarkan. "Setelah itu, suami bibi sakit gula. Habis badannya. Mau berobat tidak ada uang. Ke sana kemari cari utangan, sekalinya dapat memang bisa berobat, tapi utangnya berbunga. Bukan lagi hidup susah, mereka jadi hidup di bawah utang. Itu baru saya, belum lagi ratusan, ribuan, jutaan orang lainnya yang hidup susah. Ada bencana alam, ada korban kejahatan, macam-macam."

Tuhan memotong dengan bertanya kenapa Solasola mau menjadi Tuhan. Dijawab pula, "Saya diajar banyak guru. Kata mereka, hidup harus penuh syukur. Kesusahan ada sebagai ujian. Saya heran bukan main, kalau ujiannya sampai membuat kita mati, untuk apa tujuan ujian itu? Kata guru-guru untuk kehidupan setelah mati. Lalu ada pula orang baik masuk surga dan orang jahat masuk neraka. Kalau hidup yang memaksa orang jadi jahat, seperti orang yang merampok kakek dan nenek saya, kenapa Tuhan tidak beri mereka kebahagiaan lebih dulu. Tuhan jadinya bisa mencegah kejahatan, tapi Tuhan malah biarkan saja, sampai yang lain jadi korban dan mati. Lalu orang-orang sebuah itu ujian?"

Solasola menarik napas sekejap. Barang beberapa jurus kemudian, lanjut lagi ia bicara, "Saya mau hapus kesedihan. Saya mau hilangkan kejahatan. Saya mau ciptakan kebahagiaan. Bukan setelah mati, saya mau dunia jadi surga untuk manusia. Karena itu saya mau jadi Tuhan. Saya tidak mau orang lain bernasib sama dengan saya."

Tuhan membuat semua orang di dekat Solasola tersenyum. Lalu mengeluarkan emoji senyum di televisi. Dan menawarkan Solasola kesempatan menjadi Tuhan. Solasola menjawab, "Saya mau! Tidak peduli bagaimana caranya, saya akan jadi Tuhan!"

Tuhan berpesan, Solasola akan hilang dari dunia. Solasola tidak akan punya tubuh lagi, tidak bisa sembarangan berkomunikasi dengan orang, atau bahkan menikmati dunia. Menonton kartun, minum macam-macam es, makan kue, semuanya tidak bisa. "Tidak apa-apa. Toh saya juga jarang yang begituan," balas Solasola.

Tuhan berpesan lagi, manusia butuh kesedihan. Namun jika Solasola mau memberi kebahagiaan, silakan coba sendiri.

Solasola begitu semangat. Tidak sabar lagi ia jadi Tuhan. Seketika sekeliling Solasola terkoyak, tubuh Solasola terurai. Kulitnya mengelupas, dagingnya mencair, darahnya mengering seperti air di wajan dengan kompor yang menyala. Tulangnya rapuh, ambruk dan menjadi bubuk. Organ-organ dalamnya terbelah menjadi kecil-kecil sampai akhirnya tidak lagi terlihat. Dan tidak ada sakit yang tidak dirasanya. Solasola mau menjerit, tapi suaranya pun tak ada. Hanya beberapa kedip mata normalnya, tapi Solasola merasa sudah berhari-hari ia tersiksa. Sampai akhirnya, Solasola bisa melihat segalanya. Segala apa yang ada di dunia.

Manusia, hewan, tumbuhan, rumput yang bergoyang, serangga di hutan, air mengalir, bahkan angin, ia dapat melihatnya, mendengarnya, dan merasakannya. Ia dapat ke mana saja. Ia dapat melakukan apa pun. Ia melelehkan es di kutub, dan membekukannya lagi. Ia membersihkan semua sungai di dunia. Ia menumbuhkan beberapa pohon dan menurunkan panas di gurun. Ia tetap membuat kutub beku, tapi ia menaikkan suhunya.

Maka dimulailah, tujuan Solasola untuk membahagiakan manusia. Yang tidak ia ketahui kalau itu merupakan awal bencana manusia.

Bersambung ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun