Aksi membakar kitab suci ini memiliki letupan sosial yang serius dan ruwet. Tak hanya menciptakan ketegangan antar kelompok agama, tetapi juga mengancam hubungan harmonis antarumat beragama.Â
Selain itu, stempel Skandinavia sebagai lambang kedamaian dan kemakmuran dapat tercoreng oleh aksi kontroversial ini.
Maka, sementara Skandinavia dapat terus meraih pujian atas kemapanan dan kesejahteraannya, kita juga perlu mengakui sisi kelam yang kadang menghantui wilayah ini.Â
Sejarah dan nyatanya kebiasaan membakar kitab suci mengajarkan bahwa ketenangan bukanlah sesuatu yang mesti, dan bahwa gaduh seputar agama dapat menemukan celah di tempat yang paling tidak terduga.
Beberapa Orang Beranggapan bahwa Skandinavia Tidak Mengenal Tuhan
Skandinavia, daerah yang terkenal dengan kehidupan sejahtera dan damai, memang menarik perhatian banyak orang. Tapi, di balik pemandangannya yang indah, ada pertanyaan yang menggelitik pikiran: Apakah Skandinavia benar-benar tanpa "Nya"?Â
Beberapa orang berpendapat bahwa wilayah ini mampu mencapai kemakmuran dan harmoni tanpa bergantung pada kepercayaan agama.Â
Bagi mereka, moralitas yang kokoh, etika yang berlandaskan keadilan sosial, dan sistem merata adalah kunci utama yang membuka pintu sejahtera di sana.
Namun, kita tak bisa melihat hal ini sebagai kenyataan mutlak. Meskipun agama tidak lagi mendominasi kehidupan sehari-hari penduduk Skandinavia, mayoritas dari mereka masih berpegang pada agama Kristen.Â
Data dari Eurobarometer menunjukkan bahwa sekitar 70% warga Denmark, 60% warga Norwegia, dan 55% warga Swedia mengidentifikasi diri sebagai Kristen.
Mengenai hubungan antara kesejahteraan dan agama, perdebatan masih membara. Beberapa penelitian menganalisis bahwa orang-orang yang aktif dalam praktik keagamaan cenderung hidup lebih bahagia dan memiliki kesehatan mental yang lebih baik.Â