Mohon tunggu...
Heru Margianto
Heru Margianto Mohon Tunggu... -

Johanes Heru Margianto lebih akrab dipanggil Mbonk oleh teman-temannya. Ia memulai karir jurnalistiknya sebagai wartawan online di Kompas.com sejak tahun 2000. Ia termasuk generasi awal wartawan online Indonesia sejak media internet ini booming tahun 2000. Meski lama berkutat meliput aktivitas kelompok ekstraparlementer dan isu hak asasi manusia, ia lebih berminat mendalami New Media. Blog ini didedikasikannya sebagai ruang belajar tentang media baru itu.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Televisi, Imperialisme Jakarta atas Indonesia

29 Maret 2012   02:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:19 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_178975" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption] Minggu ini saya baru saja selesai membaca buku "Televisi Jakarta di Atas Indonesia" karya Ade Armando. Isi buku itu membuat saya tercenung berhari-hari. Kesadaran saya seperti tersengat serangga Tomcat yang lagi mewabah itu. Mumpung sengatan itu masih hangat, saya tulis catatan kecil ini sebagai refleksi saya atas buku yang menggugah kesadaran tersebut. Anda yang punya waktu luang, yang punya mimpi akan keadilan Indonesia yang merata dari Sabang sampai Merauke, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Indonesia bukan hanya Jakarta. OK, saya buka catatan ini dengan cerita "Upin dan Ipin".

Beberapa waktu lalu, saat tayangan film anak-anak “Upin dan Ipin” populer di televisi, sejumlah orang di Jakarta protes. Mereka menganggap film asal Malaysia itu mengikis nasionalisme anak-anak. Alasan yang disampaikan para pemrotes, bahasa di film itu menggunakan bahasa Malaysia.

Protes yang sangat Jakarta-sentris. Para pemrotes lupa bahasa yang digunakan dalam film “Upin dan Ipin” sangat dekat dengan masyarakat di pesisir timur Sumatera. Penyuka film itu tidak hanya anak-anak, tapi juga orang tua asal Sumatera yang tumbuh besar dalam bahasa Melayu. Menonton film itu, tak sedikit orang Sumatera yang terkenang dengan kampung halaman dan budaya mereka. Cerita film tersebut ber-setting kehidupan kampung yang sesungguhnya serumpun dengan sebagian masyarakat pesisir timur Sumatera.

Cara pandang Jakarta-sentris tidak hanya terjadi dalam kasus “Upin dan Ipin”. Dalam banyak hal, masyarakat kita sering memandang Indonesia dari sudut pandang Jakarta. Padahal, Jakarta hanyalah sebuah noktah dalam peta Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Jakarta memang di atas segala-galanya. Jakarta adalah kota pemerintahan, kota bisnis, kota industri. Ia seperti mercusuar yang dijadikan kiblat cara pandang.

1332988363596535852
1332988363596535852

Sistem pertelevisian kita

Macam inilah yang terjadi dalam sistem pertelevisian kita. Sepuluh televisi yang menyebut dirinya televisi nasional berpusat di Jakarta dan menyebarkan siaran mereka ke seluruh pelosok tanah air. Cilakanya, konten yang mereka tampilkan selalu dalam sudut pandang Jakarta karena diproduksi di Jakarta oleh orang-orang Jakarta.

Sebanyak 230 juta masyarakat Indonesia dipaksa untuk menonton aneka tayangan dengan standard norma dan nilai Jakarta. Apakah relevan masyarakat di Papua sana menonton aksi Olga dan Refli Ahmad dalam program Dahsyat di RCTI, misalnya, yang menampilkan dialog "gue" "elo".

Atau, apakah relevan masyarakat Lhokseumawe di ujung barat Indonesia menyaksikan berita tawuran pelajar SMP di Manggarai, Jakarta Pusat. Juga, apakah relevan, masyarakat Miangas di ujung utara Indonesia menyaksikan iklan produk JACO yang menawarkan sebuag panci seharga jutaan rupiah.

Siaran televisi kita tidak pernah memberi ruang pada kepentingan dan konteks masyarakat lokal. Penyebabnya adalah sistem pertelevisian kita yang tersentralistis di Jakarta. Hanya 10 stasiun televisi itulah yang memiliki hak siar dalam jangkauan nasional. Implikasinya sangat luas: ketidakadilan dalam aspek ekonomi, politik, budaya, dan sosial.

Secara ekonomi, puluhan triliun duit iklan hanya terserap di Jakarta. Siapapun mereka di daerah yang ingin beriklan di televisi harus menyetorkan duitnya ke Jakarta. Itu yang terjadi ketika para calon kepala daerah berbondong-bondong membeli iklan televisi untuk kampanye mereka di pemilu kada. Hanya demi menjaring suara di Kabupaten Ogan Komring Ilir yang populasinya hanya ratusan ribu jiwa, misalnya, bapak calon bupati memasang iklan yang dipancarkan ke 230 juta penduduk Indonesia.

Rumah produksi dan industri periklanan pun hanya tumbuh di Jakarta. Lapangan pekerjaan dunia televisi hanya ada di Jakarta. Lapangan pekerjaan di daerah hanya terbuka bagi para kontributor berita dengan peluang kesejahteraan yang minim.

Secara politik, diskursus aneka kepentingan publik daerah tidak pernah mendapat tempat di ruang-ruang televisi. Para kontributor berita di daerah mafhum, isu-isu lokal tidak akan laku jika disetor ke jakarta. Berita-berita lokal yang diterima koordinator liputan mereka kalo tidak sensasional dan dramatis ya berita kriminal yang lekat dan darah dan kekerasan seksual. Potret daerah dalam ruang televisi kita adalah potret kriminalitas.

Dari aspek budaya, saya ragu siaran OVJ di Trans7 yang bagi masyarakat Jakartasangat lucu juga dirasa sama lucunya oleh masyarakat Pulau Rote. Taste lucunya Jakarta banget. Untung tayangan Srimulat dan Ketoprak Humor sudah tidak ada lagi. Kasihan, masyarakat Dayak di Kalimantan.

Dari aspek budaya, masyarakat se-Indonesia pun dicekoki aneka program gaya hidup metropolis. Ada penetrasi budaya urban atas budaya-budaya lokal setempat. Berhimpitan dengan itu, aspek budaya itu juga merongrong aspek sosial masyarakat daerah. Sinetron RCTI yang tayang sejak sekitar maghrib sampai hampir tengah malam menampilkan setting kehidupan glamour para tokoh-tokohnya. Masyarakat Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, yang tercatat sebagai salah satu wilayah termiskin di Indonesia, hanya menonton tayangan imajinasi dalam tayangan sinetron "Putri yang Ditukar".

Televisi berjaringan

Catatan-catatan di atas menegaskan perlunya perubahan sistem dalam pertelevisian kita. Frekuensi yang sifatnya terbatas dan milik rakyat Indonesia sungguh tidaka pada tempatnya dikuasai oleh segelintir orang. Apalagi jika kepentingannya semata-mata hanya ekonomi.

Indonesia membutuhkan sebuah sistem TV berjaringan seperti yang terjadi pada radio. Tidak ada dominasi dalam sistem peradioan kita. Setiap daerah memiliki stasiun radio lokal. Radio-radio Jakarta yang ingin menjangkau Indonesia harus berjejaring dengan radio-radio lokal seperi yang dilakukan Elshinta.

Lalu apa itu sistem televisi berjaringan? Seturut Undang-undang Penyiaran 2002, televisi berjaringan bercirikan:

  1. Setiap stasiun televisi swasta memiliki  jangkauan siaran terbatas sesuai dengan wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan. Stasiun televisi di Jakarta, jangkauan siarannya adalah Jakarta dan sekitarnya, begitu seterusnya.
  2. Tidak ada lagi stasiun televisi swasta nasional yang siarannya dapat menjangkau seluruh wilayah indonesia secara langsung dengan menggunakan stasiun relai/transmitter saja. Satu-satunya lembaga penyiaran televisi yang diizinkan melakukan siaran nasional secara langsung adalah TVRI.
  3. Siaran sebuah stasiun televisi swasta dapat menjangkau daerah di luar wilayah jangkauan siarannya hanya dengan perantaraan stasiun televisi yang berada di wilayah tersebut. Misalnya, jika Trans7  yang berada di Jakarta ingin agar siarannya dapa ditangkap di Makassar, maka di Makassar harus ada stasiun televisi yang menjadi bagian dari jaringan Trans7..
  4. Stasiun televisi swasta yang hendak melakukan siaran nasional dapat melakukannya dengan  perantaraan rangkaian stasiun-stasiun televisi yang terjalin dalam sebuah jaringan stasiun televisi. Artinya, untuk dapat menjangkau wilayah Indonesia, stasiun-stasiun televis harus membangun jaringan televisi-televisi lokal di seluruh Indonesia. Dengan begitu, tidak ada lagi izin siaran nasional.

Lho, kan sudah ada undang-undang penyiaran yang mengatur soal televisi berjaringan, kenapa kita belum mempraktikkan itu? Ah, panjang jawabnya, bisa jadi buku sendiri itu (baca: Televisi Jakarta di Atas Indonesia). Buku itu bertutur tentang pergulatan Indonesia membangun sistem televisi berjaringan. Pendeknya, Indonesia sudah bergulat lama membangun regulasi yang menentang praktik dominasi. Tidak mudah. Industri televisi gigih melawan. Sepertinya, ada gap pemahaman yang akut di benak para pejabat publik kita atas persoalan ini. Ketidakpahaman itu turut berkontribusi terhadap kegagalan cita-cita membangun sistem pertelevisian yang adil.

Imperialisme

Praktik imperialisme yang disebut Johan Galtung dan Herberst Schiller ternyata tidak jauh dari kita. Praktik dominasi dan penjajahan budaya dan media ternyata tidak hanya antar-negara, negara maju atas negara dunia ketiga, tapi juga di dalam negara itu sendiri. Jakarta menjajah Sabang hingga Merauke melalui layar kaca.

Indonesia bukannya tidak punya stasiun televisi lokal. Ada puluhan. Mereka kini sedang berjuang untuk bertahan hidup. Televisi-televisi lokal tidak mungkin berkembang jika izin siaran nasional yang dipegang 10 televisi Jakarta tidak cabut. Siapa yang mau pasang iklan di TV lokal jika masih ada TV bersiaran nasional.

Seperi kata Vincent Mosco, secara natural media punya hasrat melakukan spasialisasi vertikal dan horisontal. Pemerintah mesti turun tangan menciptakan regulasi atas nama rakyat dan keadilan. Tak bisa dibiarkan televisi Jakarta terus mengudara di atas Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun