[caption id="" align="aligncenter" width="476" caption="ilustrasi/kompasiana(kompas.com/shutterstock)"][/caption]
Kalender pendidikan tahun 2014/2015 baru berjalan. Rutinitas kegiatan belajar-mengajar diprediksi akan tetap berlangsung seperti tahun2 sebelumnya. Walaupun Kurikulum 2013 mulai diberlakukan, siswa tetap dituntut untuk belajar dan hafal materi-materi yang tercantum pada kurikulum, begitu juga guru dituntut untuk mengajar materi sesuai kurikulum. Pada akhir tahun ajar, guru akan tetap mememberikan nilai rapor siswa berupa angka (seperti 6, 7, 8, atau 9). Khusus bagi siswa yang berada dikelas akhir, mereka akan mendapatkan nilai Ujian Nasional (UN) yang juga berupa angka-angka. Angka-angk inilah yang menentukan masa depan mereka. Akibat lebih lanjut, setiap akhir kalender akademik sejumlah siswa stress dan bunuh diri karena angka yang diperolehnya tidak mencapai syarat minimal untuk dapat naik kelas atau lulus.
Angka Tanpa Makna
Angka menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar siswa Indonesia. Menjadi momok menakutkan karena angka-angka ini difungsikan hanya sebagai label yang melekat pada siswa, tanpa melihat makna atau arti dari angka. Padahal dalam bidang penilaian pendidikan, makna dari angka lebih penting dari angka itu sendiri. Tingkat komptensi seperti apa yang perlu dimiliki siswa agar memperoleh, misal, nilai 8 di matpel Matamatika dan apa bedanya dengan temannya yang memeroleh nilai 9 adalah lebih penting dari angka-angka itu. Tanpa makna (nirmakna), angka pada hasil penilainan pendidikan hanya sekedar angka tanpa arti.
Badan Standarisasi Nasional Pendidikan dan Pusat Penilaian Pendidikan yang bertanggung jawab terhadap UN selama lebih dari sepuluh tahun tidak pernah mendiskripsikan makna angka-angka UN, selain angka-angka itu digunakan untuk menentukan lulus atau tidak. Angka-angka UN tidak mungkin dan tidak akan dapat dimaknai, karena angka-angka ini diperoleh dari model dan alat ukur penilaian pendidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secarah ilmiah. Meminjam istilah anak mudah, UN adalah ujian “abal-abal”.
Sebagai informasi bagaimana angka-angka pada penilaian siswa bermakna (bukan sekedar angka), saya ceritakan tentang anak saya (Wimar Widiatmo dengan nama panggilan Dimas) yang sekolah di Amerika, tepatnya di Iowa City, Iowa, USA.
Makna Angka Pada Laporan Akademik Dimas
Beda dengan Indonesia, Amerika tidak mengenal ujian kenaikan kelas apalagi kelulusan, juga mereka tidak memiliki kurikulum nasional. Setiap sekolah bebas menentukan kurikulumnya, sehingga dimungkinkan terjadi perbedaan materi belajar pada tingkat yang sama antara dua sekolah berbeda pada satu kota. Namun ini tidak menjadikan mutu pendidikan sekolah A, misal, lebih rendah dari sekolah B disebabkan penerapan kurikulum berbeda, karena setiap sekolah pasti mengajarkan materi dasar (common core). Common core inilah yang digunakan oleh lembaga2 penilaian pendidikan tingkat nasional, seperti Iowa Testing Program (ITP) yang akan saya ceritakan lebih lanjut, untuk membuat test (alat ukur). Berdasarkan common core, ITP melaporkan perkembangan belajar siswa setiap tahun dari SD kelas 1 sampai dengan SMA kelas akhir kepada sekolah/guru, orangtua, dan siswa.
Selain itu, berbeda dengan di Indonesia rapor anak SD di Amerika tidak berupa angka, tapi berupa kalimat2 guru pengajar yang mengambarkan pencapaian siswa (diskripsi). Rapor berupa huruf (seperti A, B,dll) yang disertai diskripsinya digunakan di level SMP dan SMA.
Saya tertarik menceritakan bentuk laporan perkembangan belajar Dimas berdasarkan hasil dari Iowa Assessment. Laporan perkembangan belajar siswa seperti ini tidak ada di Indonesia, karena laporan perkembangan akademik siswa seperti ini memerlukan lembaga assessment tingkat nasional yang profesional yang tidak dimiliki oleh Indonesia. Sebagai informasi ITP, didirikan sekitar 50 tahun lalu, merupakan lembaga penelitian penilaian pendidikan di University of Iowa.
Iowa Assessemnt (IA) adalah test tingkat nasional yang diadakan setiap tahun dan ditujukan untuk menentukan pencapaian dan perkembangan anak belajar (https://itp.education.uiowa.edu). Tidak ada persiapan khusus dari guru dan siswa pada saat menghadapi test, karena hanya ditujukan melihat perkembanganbelajar-mengajar. Sebagaimana yang saya perhatikan, Dimas melakukan aktifitas rutin seperti biasa pada malam hari sebelum test yaitu lihat tv, main game, dan belajar sekitar 1 jam. Dia tidak belajar khusus karena test.
Grafik di bawah menunjukan hasil test Dimas selama tiga tahun terakhir; Grade 4, 5, dan 6. Dia tidak memiliki hasil dari grade dibawahnya, karena dia mulai masuk sekolah di Amerika pada Grade 3 dan pada tahun pertama itu dia masih di kelas English Second Language yang tidak memungkinkannya ikut IA. Lihat grafik, garis Horizontal menunjukan Kompetensi atau Sub-Kompetensi, dan Vertical adalah Nasional StandardScore (NSS). Dari grafik terlihat terdapat peningkatan tajam dari Grade 5 ke 6 dibandingkan dari Grade 4 ke 5. Dugaan saya, ini terjadi karena Dimas masih mengalami kendala bahasa pada saat di Grade 4 dan 5, tapi dia tidak lagi mengalami kesulitan bahasa setelah 3 tahun berada di Amerika sehingga angkanya meningkat tajam.
Satu hal menarik yang dapat saya simpulkan dari grafik adalah kompetensi Dimas di writing dan reading lebih menonjol dari matematika yang mungkin terbalik dengan kompetensi saya, karena saya pada saat sekolah lebih suka matematika dari pada menulis dan membaca (sehingga saya memilih S1 Matematika di ITB dan kerjaan saya sekarang lebih banyak berhubungan dengan angka).
Data ini dapat disandingkan dengan NPR (National Percentile Rank) dari website di atas untuk melihat perbandingan kompetensi Dimas dengan anak2 lainnya secara nasional. Dari perbandingan ini, saya memperoleh informasi bahwa kemampuan Dimas di matematika sesuai dangan rata2 anak Amerika, tapi kemampuan menulis dan membacanya melebihi 90% anak Amerika
Angka Bermakna Menyongsong Masa Depan Bermakna
Dimas mulai semester depan masuk ke Junior High School (SMP). Tidak berbeda dengan anak2 di Indonesia, Dimas akan menjalani rutinitas seperti tahun2 sebelumnya. Satu hal yang berbeda dan Dimas beruntung untuk itu adalah dia tidak akan menghadapi ujian2 tingkat sekolah dan/atau nasional model Indonesia yang menghantui anak2 karena dibuat hanya untuk menentukan naik/lulus atau tidak. Dimas akan mengerjakan soal2 Iowa Assessment (tentu dengan soal2 dan pertanyaan2 berbeda) seperti tahun2 sebelumnya. Pada akhir tahun ajaran, saya sebagai orangtua akan mendapat rapor dari sekolah serta laporan seperti grafik di atas ditambah dengan informasi pendukung lainnya. Kelebihan Dimas pada kompetensi tertentu perlu dikembangkan dan kekurangannya perlu diperbaiki.
Pada saatnya nanti, Insya Allah enam tahun ke depan (dua tahun di JHS dan 4 tahun di Senior High School) Dimas masuk universitas. Berdasarkan laporan2 akademik (rapor sekolah dan hasil2 Iowa Assessemnt), Dimas akan mantap memilih jurusan dan karir yang tepat dan sesuai dng keunggulan kompetensinya agar pada saat di universitas, berkarir, dan hidupnya nanti akan lebih bermakna dan optimal. Saya akan dukung dia kalau dia ingin masuk ke School of Journalism and Mass Communication untuk menjadi wartawan, dan saya tidak akan memaksa dia untuk jadi dokter seperti harapan kakeknya. Amien .............
Iowa City, July 20, 2014
Heru Widiatmo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H