Terhitung sudah dua hari sejak presiden tercinta kita, Joko Widodo memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak atau biasa disingkat sebagai BBM. Sebelum tanggal 18 November 2014 masyarakat bisa mendapatkan satu liter BBM jenis premium dengan harga enam ribu lima ratus rupiah, namun, kini masyarakat harus mengeluarkan delapan ribu lima ratus rupiah per liternya. Hal yang sama terjadi juga pada BBM jenis solar naik dua ribu rupiah per liter sehingga menjadi tujuh ribu lima ratus rupiah.
Tentu saja kebijakan yang sangat tidak populer ini disambut penolakan oleh berbagai pihak. Sopir angkutan kota adalah yang pertama kali menjerit karena BBM adalah hal yang sangat erat dengan mata pencahariannya. Ketika harga BBM naik maka mereka selaku sopir angkutan kota seharusnya menaikkan tarif, namun apa daya menteri perhubungan, Ignasius Jonan memutuskan kenaikan tarif angkutan maksimal hanya sepuluh persen.
Selanjutnya berbagai lapisan masyarakat ikut menjerit akibat harga BBM yang makin mencekik leher. Mahasiswa, Buruh, Ibu rumah tangga, guru adalah beberapa yang sempat diberitakan di televisi melakukan demo. Ada yang memilih memblokade jalan, ada juga yang berdemo sampai berakhir rusuh. Demo pun juga terjadi di tempat kota saya tinggal, Surabaya.
Saya sendiri tidak melakukan apa-apa. Mengantri lama-lama di SPBU di malam selasa supaya masih mendapat harga enam ribu lima ratus pun tidak. Saya lebih memilih membeli keesokan paginya dengan harga baru. Harga yang sebenarnya membuat saya kaget juga bahwa kini uang pecahan dua puluh ribu terasa sudah tidak ada artinya lagi karena hanya habis dibakar. Padahal dulu masih bisa buat makan dua kali plus jajan 3-4 macam di kampus.
Lucunya keesokan harinya sepulang kuliah sekitar pukul satu siang tanggal 19 November 2014, saya berpapasan dengan banyak orang yang akan berangkat berdemo beriringan naik sepeda motor. Tentu saja mereka dilengkapi dengan perlengkapan berdemo seperti spanduk, bendera dan tak lupa toa. Sepanjang jalan mereka meneriakkan turunkan harga BBM dan segala macam ungkapan kekesalan hati mereka.
Saya berlalu sembari tersenyum dan sedikit geli bercampur heran memerhatikan tingkah mereka. Bagaimana mungkin mereka bisa dengan santainya meneriakkan turunkan harga BBM, tetapi mereka berangkat berdemo dengan sepeda motor yang hanya bisa dijalankan bila diisi dengan BBM? Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kalau memang mereka mengeluh harga BBM mencekik, maka silahkan pergi demo tetapi naik sepeda onthel saja, bukan sepeda motor!!
Mengeluh harga BBM mahal tetapi mereka malah menghambur-hamburkan BBM, yang nanti seusai demo mereka juga harus membeli BBM lagi dengan harga yang sudah terlanjur naik. Mau tidak mau, saya akhirnya dengan jahat menyimpulkan bahwa sesungguhnya mereka tidak benar-benar orang tidak mampu. Mereka yang pergi berdemo hanya MENGAKU TIDAK MAMPU dan MERASA tertindas dengan naiknya harga BBM. Nyatanya mereka SANGAT MAMPU untuk membeli BBM dengan harga yang mahal itu.
Saya sedih melihatnya. Mereka yang sesungguhnya mampu membeli BBM dengan harga mahal malah memaksa mendapatkan bahan bakar dengan harga murah. Mereka yang sesungguhnya tidak mampu membeli hanya akan semakin tidak berdaya saja. Saya untuk kali ini SETUJU dengan keputusan pemerintah. Memang lebih baik BBM dinaikkan daripada hanya dihabiskan oleh orang-orang yang mengaku tidak mampu tadi.
Tentu saja dengan syarat masyarakat yang tidak mampu sudah diberi fasilitas kesehatan, pendidikan yang layak agar pengeluaran bulanan tidak terlalu bengkak. Langkah ini sudah dilakukan oleh pemerintah sebelum memutuskan menaikkan harga BBM. Jadi benarkah mereka (tidak) setuju kenaikan harga BBM?
Selamat Malam Kompasianer :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H