Kami sampai di bandara Tan Son Nhat, di Ho Chi Minh City sekitar jam 9 malam. Ketika pesawat mendarat, dari jendela pesawat saya melihat ada lapangan futsal di mana orang-orang sedang asyik berolah raga tersebut. Saya agak heran juga ada lapangan olah raga yang begitu dekat, sehingga bisa terlihat dari jendela pesawat.Bandara agak lengang, bahkan mungkin yang antri di imigrasi hanya para penumpang pesawat yang kami tumpangi saja. Dengan taksi kami menuju hotel, yang lumayan dekat dengan Ben Thanh market. Esok harinya kami mulai berjalan-jalan keliling kota. Ketika berada di kota ini ada hal-hal menarik yang saya lihat.
Yang pertama adalah tentang rumah tempat tinggal. Banyak sekali rumah-rumah kecil seukuran kamar tapi terdiri dari 4-6 lantai. Ini tidak di dalam kota saja, bahkan di luar kota, bangunan kecil ramping nan menjulang ini mudah ditemui. Mungkin tiap lantai memiliki fungsi yang berbeda. Menurut teman, yang punya kawan orang Vietnam, tanah di sana begitu mahal, sehingga kebanyakan mereka hanya mampu membeli tanah yang sempit, kemudian rumah dibangun menjulang ke atas.
[caption id="attachment_199726" align="aligncenter" width="300" caption="Dari jendela kamar hotel terlihat aktivitas pemilik rumah (dok. Pribadi)"][/caption]
Yang kedua adalah tentang semrawutnya kabel-kabel (listrik) di jalan (ini juga saya temui di Manila). Kabel-kabel besar begitu malang melintang tidak karuan. Bahkan ada yang terjuntai rendah di beberapa bagian ruas jalan, yang nota bene untuk pejalan kaki.
[caption id="attachment_199728" align="aligncenter" width="300" caption="Semrawutnya kabel-kabel di jalan (dok. Pribadi)"]
Yang ketiga adalah tentang banyaknya motor yang begitu menguasai jalanan.Pantaslah kalau Ho Chi Minh disebut sebagai Kota Sepeda Motor. Begitu menakutkan kalau hendak menyeberang. Karena begitu banyaknya motor yang memenuhi jalan, sepertinya pengemudinya pun tidak begitu peduli dengan pejalan kaki. Bahkan ketika kami berjalan-jalan menuju taman kota yang dekat dengan istana Reunifikasi, dengan seenaknya beberapa motor nyelonong di trotoar, ngebut lagi, sehingga membuat kami terkaget-kaget. Dan uniknya helm yang mereka pakai seperti ‘helm proyek’, alias seperti topi, bukan helm standar seperti yang berlaku di Indonesia. Malah ada yang berbentuk seperti topi beneran. Sepertinya mereka yang bermotor itu merasa aman-aman saja, dengan lihai mengatasi lalu lintas yang semrawut begitu.
[caption id="attachment_199733" align="aligncenter" width="300" caption="Plat motor persegi di Ho Chi Minh City (dok. Pribadi)"]
Beberapa teman mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan tentang alat transportasi yang mirip becak atau tuk-tuk dan disebut dengan xich lo. Karena kelihatan sebagai turis, mereka ditawari untuk city tour di distrik 1, yang sebenarnya tempat tujuan adalah saling berdekatan sehingga tidak apa seandainya dijangkau dengan berjalan kaki. Tapi karena mereka ingin merasakan naik ‘becak’ tersebut, dan penarik becaknya minta ongkos ‘fifteen’ pada masing-masing becak. (Dipikir teman, wah murah, paling yang dimaksud 15.000 Dong atau 150.000 Dong Vietnam). Tidak tahunya, para penarik becak itu minta 15 lembar uang 100.000 Dong. Berarti mereka minta 1.500.000 Dong atau sekitar 750.000 rupiah.Akhirnya oleh teman mereka terpaksa diberi 50 USD (1 USD = 20.000 Dong, berarti 50 USD = 1.000.000 Dong), karena mereka mintanya sambil menarik uang langsung di dompet teman, seperti memaksa dan para penarik becak tersebut bersikap seperti preman……Wahhh….benar-benar perlu diwaspadai ini.
[caption id="attachment_199740" align="aligncenter" width="300" caption="Ini Becak ala Vietnam (dok. Pribadi)"]
Yang keempat adalah mudah ditemui pedagang roti atau yang disebut dengan Banh Bo. Sekilas saya lihat sepertinya ada bermacam rasa buat isinya. Ada berkaleng-kaleng ikan sardin dan tumpukan daging, mungkin daging babi. Jadi buat yang muslim sepertinya tidak aman untuk mencobanya. Dan makanan khas lainnnya adalah Pho atau mie Vietnam atau beef noodle. Saya juga takut untuk mencobanya. Bayangan saya penduduk Vietnam makannya nasi. Tetapi ternyata di Ho Chi Minh City justru menu roti dan mie dari beras yang banyak dijumpai. Ketika saya dalam perjalanan menuju keluar kota karena mengikuti Chu Chi Tunnel tour, di jalanan bahkan saya melihat penduduk Vietnam yang bercaping dengan sepedanya memborong roti isi sekantong besar. Wah bener-bener kontradiktif, penampilannya begitu sederhana tapi membawa roti isi yang besar-besar. Mungkin karena pengaruh Perancis, jadi kebiasaan makan rotinya itu masih melekat (tapi kok di Indonesia ngga terpengaruh Belanda ya???)
[caption id="attachment_199741" align="aligncenter" width="300" caption="Roti yang bertumpuk di pinggir jalan, tidakkah takut berdebu? (dok. Pribadi)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H