Mohon tunggu...
hersinta suroso
hersinta suroso Mohon Tunggu... Ilmuwan - A researcher on internet and disability issues.

A communication lecturer and a writer in progress, an avid book reader and music fans, a proud mum of a neurodivergent.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Hari Peduli Autisme Sedunia: Tantangan untuk Masa Depan?

2 April 2014   23:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:10 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Autisme, saat ini menjadi isu global dengan tingkat prevalensi yang makin melonjak. Di AS, menurut data terakhir dari CDC (Centre for Disease Control and Prevention), 1 dari 68 anak teridentifikasi autis. Di Eropa, lebih dari 1:100 individu menyandang label autistik. Bagaimana dengan di Indonesia?

Menyambut Hari Peduli Autisme Sedunia yang jatuh pada hari ini, 2 April 2014, marilah menengok sedikit tentang gambaran kondisi autisme di Indonesia.

Menurut data tahun lalu yang termuat di republika.co.id, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Diah Setia menyatakan, diperkirakan terdapat 112.000 anak di Indonesia menyandang autisme, pada rentang usia sekitar 5-19 tahun. Dalam kurun waktu 15-20 tahun, anak-anak ini akan memasuki masa dewasa. Di masa dewasa, diharapkan mereka dapat mandiri. Mandiri dalam mengurus diri sendiri, lebih baik lagi jika bisa mandiri menghidupi diri sendiri.

Autisme, merupakan spektrum  kompleks dengan ciri gangguan perkembangan di 3 area: interaksi sosial, komunikasi verbal dan nonverbal  serta pola perilaku/minat/kegiatan yang terbatas. Namun, kondisi mereka yang berada dalam spektrum autisme ini punya karakteristik individual beragam. Sebagai contoh, ada anak autis yang verbalnya terbatas bahkan nonverbal, ada yang memiliki masalah emosional yang sangat tinggi, serta tingkat intelektual yang berbeda pula.

Tantangan bagi orangtua, sungguh luarbiasa. Sulit untuk menangani masalah tumbuh-kembang anak autis, karena tidak ada solusi yang one size fits all, alias masing-masing individu punya karakteristik sendiri. Satu terapi atau treatment bisa jadi cocok ke satu orang, namun belum tentu cocok untuk yang lain. Belum lagi masalah edukasi yang kerap membuat orangtua pusing tujuh keliling. Apakah mau mengambil jalur inklusi, pendidikan khusus, atau pendidikan informal? Fasilitas pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) kini makin beragam, terutama di Jakarta. Namun apakah bisa memfasilitasi jumlah penyandang autis yang terus meningkat? Bagaimana dengan di daerah?

Lantas, ketika para ABK ini memasuki usia dewasa, masalah lain pun muncul. Bagaimana mereka bisa mandiri? Apakah mereka dapat menghidupi diri sendiri? Jawabannya: bisa!

Di sekolah berkebutuhan khusus Hadiya School (kebetulan putra saya, 10 tahun bersekolah di sana) para siswa diajarkan skill kemandirian untuk kehidupan sehari-hari. Mandi dan sikat gigi, membersihkan diri usai BAB dan BAK, makan sendiri, hingga mencuci piring. Selain itu, ada program yang akademis, seperti pengenalan angka dan huruf, serta program wicara dan okupasi, berhubung hampir semua siswa di sini termasuk ke dalam kategori mid/low functioning autism karena rata-rata masih nonverbal. Mereka juga diajarkan keterampilan seperti meronce manik untuk dijadikan kalung, gelang dan anting. Serta menempel aplikasi hiasan ke tas mungil untuk mukena atau tempat pensil.

[caption id="attachment_329710" align="aligncenter" width="614" caption="Siswa Sekolah Berkebutuhan Khusus Hadiya, saat outing renang"][/caption]

Sekolah ini didirikan secara swadana oleh sesama orangtua ABK, yang awalnya kebingungan karena sulit mencari sekolah yang sesuai dengan kebutuhan anak. Kini, banyak orangtua yang juga sudah mulai berpikir ke depan, untuk membuat komunitas bagi individu autistik. Misalnya, seperti di AS, sudah didirikan fasilitas housing bagi para individu autistik, di mana mereka juga dipekerjakan untuk beberapa industri sesuai dengan kemampuan dan minat mereka.

Beberapa orangtua dan guru kini juga banyak memanfaatkan teknologi komputer dan internet untuk mengembangkan kemandirian mereka. Bagi mereka yang nonverbal, kini banyak tersedia aplikasi yang berfungsi sebagai alat bantu komunikasi (facilitated communication) dengan memanfaatkan gambar/foto/visual, maupun tulisan. Salah satu apps yang dikembangkan oleh beberapa teman secara swadana adalah Vicara (Visually Interactive Communication and Reading Aid) yang dapat diunduh secara cuma-cuma di AppleStore.

[caption id="attachment_329711" align="aligncenter" width="300" caption="Vicara, apps untuk alat bantu komunikasi ABK"]

1396429075796897253
1396429075796897253
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun