Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita. Bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan. Program-program pembangunan kita memacu takhayul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian kepada kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah dan bahkan merasa tak ada apabila tidak memiliki celana model ini, tas model itu, dan kosmetika merek tertentu.
Salah satu wajah dunia industri modern adalah konsumtivisme yang dibujuk oleh takhayul dan klenik merek-merek dagang yang subur dalam budaya gengsi dan budaya kelas priayi. Inilah biang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik, hingga penyelewengan hukum.
Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta, dan ketakwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada “makan yang sejati”, yakni terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli, ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya bahwa itu semua adalah “makanan palsu”.
Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tidak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat kekenyangan. Untunglah bahwa bagi para pelaku “puasa sejati”, kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu justru dapat meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.
(disarikan dari buku: Emha Ainun Najib, 2012, Tuhan pun Berpuasa, Jakarta: Kompas, hal. 35-43)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H