Makan hanya ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang adalah formula tentang kesehatan hidup. Tidak hanya menyangkut tubuh, tetapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari sekedar teori keilmuan tentang efektivitas dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung menabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu professional dengan hanya mencari uang kita sebut “diperbudak oleh perut”. Para koruptor yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat kita gelari “hamba perut”. Padahal “ejekan” itu tidak tepat; mereka bukan hamba perut. Sebab kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekedar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tidak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, nasi uduk atau masakan Jepang.
Yang terlalu rewel dan menuntut berlebih itu sebenarnya pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah. Tetapi lidah, mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu, bahkan sejuta rupiah.
Makhluk lidah termasuk penghuni batas antara jasmani dan rohani: satu kakinya berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta rohani. Kaki pertama memanggul kompleksitas tentang rasa. Kaki berikutnya bersentuhan dengan selera; tidak cukup dengan standar Empat Sehat Lima Sempurna, ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya makan cukup di warung pojok pasar, tetapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis makanan, inovasi dan paradigm teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa, sehingga biaya makan menjadi bengkak ratusan kali lipat.
Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan-kecenderungan aneh yang menyifati budaya manusia. Makan, yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah ini diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, feodalisme, kepriayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, tetapi dipalsukan, dimanipulasi, atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur dan peradaban, yang biayanya menjadi amat sangat mahal. Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif: orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja-kursi, dindingnya, hingga karaokenya.
Artifisialisasi budaya makan itu akhirnya juga menciptakan berbagai ketergantungan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat uang proyek, memborong barang-barang, bahkan berperang dan membunuh satu-sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan “makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”.
Makan yang bernama “makan sejati” adalah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini adalah “memberi makan kepada nafsu”. Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tiada terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tidak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan – dan tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam sejarah umat manusia – sesungguhnya itulah contoh paling konkrit dari terbunuhnya efisiensi dan efektivitas.
Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri; disamping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.
Seorang sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya tidak pernah lagi ingat makan. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tetapi benar-benar sudah tidak mengingat makan sampai perutnya berteriak mengingatkan bahwa ia lapar. Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukkannya, tetapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tidak lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan kapasitas makan agar ia meperoleh ketepatan pula dalam aktivitas “makan” yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.