Sejak usianya mulai beranjak remaja, Dewi Subadra terus menjadi bahan pembicaraan para lelaki, khususnya para satria di jagad pewayangan Marcapada. Lelaki mana yang tak kan memuji kecantikan dan kelembutan putri Prabu Basudewa dengan Dewi Badrahini ini. Lelaki mana yang tak punya cita-cita ingin menjadi pendamping hidup putri raja kebanggaan Kerajaan Mandura ini. Banyak kesatria yang mencoba peruntungannya, ingin mempersunting Subadra. Tetapi takdir berpihak kepada Arjuna. Subadra memilih sang rupawan penengah Pandawa itu.
Rupanya, tidak semua lelaki di jagad pewayangan Marcapada rela dengan takdir itu; Burisrawa salah satunya. Putra Prabu Salya raja Kerajaan Mandaraka dengan Dewi Setyawati ini tak bisa membendung rasa cintanya kepada Subadra. Hari-harinya selalu diwarnai kerinduan pada Subadra. Cintanya yang telah menggila itu membuat penghuni istana Mandaraka terganggu dengan rintihannya setiap hari memanggil pujaan hatinya: “Oh, Subadra, tidakkah kau tahu bahwa separuh jiwaku telah hilang dan kini bersemayam pada dirimu. Oh, Subadra, sungguh, bau harum dirimu adalah nafas kehidupanku …”.
Hari demi hari, bulan demi bulan terus berjalan. Akhirnya Burisrawa berniat menculik Subadra. Dengat tekad kuat, sekuat cintanya kepada Subadra, lalu Burisrawa pergi menemui Subadra di Taman Maduganda. Burisrawa yang biasa bertindak sembrono dan serampangan, menjadi lebih berhati-hati ketika merencanakan niatnya masuk ke taman keputren yang ada di Kesatrian Madukara itu. Diperhitungkannya matang-matang hari dan saat yang tepat untuk menemui Subadra. Namun karena begitu ketatnya penjagaan taman itu, Burisrawa kemudian meminta bantuan kepada Batari Durga, dewi kahyangan yang biasa memberi bantuan kepada wayang-wayang yang akan berbuat jahat dan mencari jalan pintas.
“Batari Durga, aku mohon dengan sangat pertolonganmu. Aku serius ingin mempersunting Subadra. Aku berjanji kepadamu, juga kepada seluruh dewata, bahwa cintaku kepada Subadra akan kubawa sampai mati”.
Mendengar rintihan permintaan Burisrawa yang cukup serius itu, akhirnya hati Batari Durga luluh. Diberinya Burisrawa Aji Panglimunan, yaitu kemampuan untuk menghilangkan diri.
Burisrawa menculik Subadra
Betapa kagetnya Subadra ketika tiba-tiba di depannya telah berdiri Burisrawa. Dengan mulut berbusa, Burisrawa mengobral kalimat-kalimat rindu dan rayuan untuk berolah asmara. Subadra jijik melihat tingkah polah Burisrawa yang kulit wajahnya seperti permukaan bulan yang dilihat dari dekat itu. Ia menghindar, tetapi selalu saja Burisrawa dapat menggamitnya.
“Buris, aku sudah bersuami. Jangan dekati aku!” teriak Subadra.
“Badra, tidakkah kau tahu, bahwa seluruh hidupku kupersembahkan hanya untukmu, sayangku. Biarpun wajahku seperti kakekku Bagaspati, tetapi soal perempuan, aku beda dengan suamimu Arjuna. Ayolah manis, kawinlah denganku”, bujuk Burisrawa.
“Tidak! Aku tak sudi. Kau sudah mempermalukan aku di depan umum. Masih lengket dalam ingatanku, ketika pada malam pesta pernikahan kakakku Narayana (nama muda Kresna) dengan Dewi Pertiwi, kelakuanmu tidak seperti layaknya putra keturunan orang terhormat. Tanpa rasa bersalah, kau berbangga diri di hadapan para tamu atas kekurangajaranmu itu padaku. Untung saja waktu itu kakang Kakrasana (nama muda Baladewa) masih bisa menahan diri. Dan saudaraku, Larasati membawaku meninggalkan kerumunan untuk menenangkanku dan menghiburku”.
Rupanya alasan Subadra itu tertutupi oleh cinta Burisrawa yang sudah tak bisa ditawar-tawar lagi. Buriswara semakin lama semakin kasar, sementara Subadra semakin lama semakin benci dan sekuat tenaga menghindar dari kejaran Burisrawa. Burisrawa semakin brutal begitu Subadra berhasil dalam cengkeramannya. Menghadapi situasi yang tidak menguntungkan itu kemudian Subadra berusaha mencabut keris Burisrawa. Kedua wayang itu berguling-guling demi mempertahankan tujuannya masing-masing. Dan akhirnya, jress!! Perlawanan Subadra melemah, tangan Burisrawa basah bersimbah darah. Subadra tewas tertusuk keris Burisrawa.
Burisrawa terkesiap melihat kejadian itu. Ia terbengong-bengong. Lalu berteriak: “Subadraaa …!!”
Teriakan Burisrawa mengagetkan para prajurit Madukara yang ada di taman keputren. Mereka langsung menuju sumber suara itu. Burisrawa terkepung. Ia lalu melompat secepat kilat melewati tembok istana. Dan loloslah ia dari sergapan prajurit Madukara.
Sepanjang pelariannya, Burisrawa selalu terbayang bagaimana tragisnya kematian Subadra di pelukannya. Burisrawa mengutuk dirinya sendiri. Ia ketakutan dan malu pulang ke Mandaraka.
Kabar kematian Subadra cepat merambat ke kalangan masyarakat luas. Prabu Kresna datang terlambat ketika dilihat adik perempuannya itu telah terbujur kaku. Jasad Subadra tidak dibakar seperti lazimnya kepercayaan dalam agama Hindu, karena satria titisan Batara Wisnu itu mendapatkan petunjuk dari Batara Guru untuk melarung Subadra di sungai Silugangga. Sementara itu, selama dalam pelarungan Gatotkaca diminta Kresna untuk mengawal Subadra.
Pertemuan Gatotkaca dengan Antareja
Sementara itu, di Saptapratala atau Saptabumi, Antareja berpamitan kepada ibunya, Dewi Nagagini dan kakeknya Batara Anantaboga (dewa bangsa ular) untuk menemui ayahnya, Bima. Karena sudah cukup dewasa, Antareja ingin mengabdi kepada ayahnya yang berada di Indraprasta.
Sebelum ke Indraprasta, Batara Anantaboga membekali cucunya itu dengan air Prawitasari atau air kehidupan serta Aji Kawastraman. Putra sulung Bima ini kemudian melakukan perjalanan lewat jalan dalam tanah. Ketika Antareja keluar dari dalam tanah, tepat dia di perairan sungai Silugangga. Sesampai di atas permukaan air, ia melihat sebuah perahu yang datang mendekat ke arahnya. Semakin dekat semakin jelas benda apa yang ada di perahu itu. Betapa terkejutnya Antareja, ternyata yang dilihatnya adalah jasad seorang perempuan yang terbaring membujur kaku.
Antareja bermaksud akan menghidupkan kembali jasad perempuan tersebut dengan air Prawitasari. Begitu akan didekati, tiba-tiba kilat menyambar di atas kepalanya. Kalau saja tak waspada, kepala Antareja sudah terbakar terkena kilat itu. Dilihatnya ada seorang lelaki yang terbang sambil berteriak-teriak mencegahnya. Antareja menyampaikan niat baiknya. Tetapi lelaki perkasa itu tidak menggubrisnya. Perkelahian tak terelakkan. Masing-masing saling serang, saling tangkis, beradu kesaktian. Perkelahian tampak seimbang, tak ada yang kalah dan tak ada yang menang. Melihat perkelahian semakin sengit, akhirnya, turunlah Batara Narada memberitahukan bahwa keduanya masih bersaudara, bahwa keduanya adalah putera Bima. Dijelaskan oleh Antareja apa yang akan dilakukannya terhadap jasad Subadra. Setelah tahu niat Antareja, Gatotkaca memaklumi.
Oleh Antareja, wajah Subadra diperciki dengan air Prawitasari. Atas kehendak dewata, Subadra hidup kembali. Kedua satria itu senang. Setelah siuman Subadra menceriterakan apa sebenarnya yang telah terjadi, hingga ia tewas. Antareja merasa geram, ia ingin membalas kejahatan Buriswara. Gatotkaca pun ingin mengadakan perhitungan kepada Burisrawa.
Antasena membuat perhitungan kepada Burisrawa
Walaupun sudah bersembunyi di tempat terpencil, Burisrawa masih tetap saja cemas dengan keselamatan dirinya. Suatu ketika, antara percaya dan tidak, ada berita yang sampai ke telinganya, bahwa Subadra masih hidup. Mungkin waktu itu Subadra cepat-cepat dibawa ke UGD, dan nyawanya berhasil diselamatkan, pikirnya. Andai saja keluarga dan kerabat Subadra mau memaafkannya, tentu dia tak akan berlama-lama sembunyi seperti ini.
Belum selesai pikirannya berharap dapat pengampunan dari Subadra dan keluarga besarnya, tiba-tiba Burisrawa dikejutkan oleh sosok yang tiba-tiba berdiri di hadapannya.
“Ap-ap-appakah aku sedang bermimpi??”, tergagap Burisrawa sambil mengucek-ngucek matanya yang melotot itu.
“Tidak, Buris, kau tidak bermimpi. Aku memang sengaja ke sini untuk menyampaikan sesuatu kepadamu”.
“Maafkan kekhilafanku Subadra. Kejadian di Taman Maduganda waktu itu murni kesalahanku. Tapi, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?”
“Batari Durga telah memberitahuku. Sudahlah, lupakanlah masalah itu, Buris. Sejak peristiwa itu, dan setelah aku pikir-pikir kembali, memang benar ucapanmu. Walaupun wajahmu jika dibandingkan dengan wajah suamiku, seperti air susu dengan air tuba, tetapi untuk masalah perempuan, benar-benar kaubuktikan kesetiaanmu. Suamiku, Arjuna, kini sering meninggalkanku. Alasannya macam-macam; mencari ilmu-lah, ada rapat-lah, lembur-lah, katanya”.
“Lalu, apakah kau akan menggugat cerai suamimu dan bersedia menjadi istriku Subadra?”
“Itu masalah gampang, Buris. Sekarang, aku ingin buktikan keseriusanku padamu di sini; di tempat ini”.
“Maksud adi? Bener nih??”, Burisrawa antara senang dan tak percaya.
“Bukan itu yang aku maksud, Buris. Tapii…, dari tadi aku perhatikan kau garuk-garuk kepala terus. Maukah kucarikan kutu di kepalamu?”
“Tentu saja mau, sayangku”. Bukan main senangnya Burisrawa mendapatkan perhatian yang tidak biasa dari kekasih dambaannya itu.
Subadra mendekati Burisrawa. Dijamahnya rambut gimbal Burisrawa, dan ….., Dunkk! Kepala Burisrawa seperti dipalu-godam. Dunkk! Lagi, Dunkk!! Lama-lama Burisrawa tidak bisa menahan rasa sakitnya.
“Subadra, walaupun kau perempuan, ternyata tangan adi betul-betul “anteb” ya”.
“Ah masa? Biasa saja kok Buris. Habis kutunya besar-besar sih …”.
Tetapi, lama-lama kepala Burisrawa pusing sepuluh keliling juga, dan mulailah muncul kecurigaannya. Benar juga, begitu dia menoleh ke belakang, betapa kagetnya Burisrawa. Ternyata Subadra yang mencari kutu kini berubah menjadi sosok yang mirip Gatotkaca.
“Kurang ajar!! Ternyata kau, Antasena1)!!”
Maka terjadilah perang-tanding antara Buriswara dan Antasena. Pertarungan tak seimbang, akhirnya Buriswara yang sudah babak-belur itu melarikan diri ketakutan.
Tak berselang lama, Gatotkaca dan Antareja datang. Rupanya, kedua kakanya itu tidak setuju dengan tindakan Antasena yang membiarkan Burisrawa lolos dari incaran mereka. Bahkan Antasena mencegah mereka berdua untuk tidak mengejarnya.
“Antasena! Kau tahu apa tentang Burisrawa. Dia telah membunuh bibi Subadra. Saat ini dia adalah target kami berdua. Kenapa kau biarkan dia lolos?!”, bentak Gatotkaca.
“Maafkan adimu kakang. Tidak adil rasanya kalau aku atau kakang berdua harus membunuh Burisrawa. Bukankah bibi Subadra telah hidup kembali? Apatah kata rakyat, kalau kita sebagai satria membalasnya dengan lebih kejam?”.
Mendengarkan penjelasan adiknya itu, Gatotkaca dan Antareja tersadarkan. Memang, tidaklah adil kalau Burisrawa (di)mati(kan), sementara bibi Subadra telah hidup kembali. Akhirnya ketiga satria itu kembali ke Indraprasta untuk menemui ayah mereka, Bima, dan keluarga Pandawa lainnya.
Sementara itu, Burisrawa hingga tewasnya di tangan Setyaki, dia belum beristri.
1)Tentang Antasena:
Antasena adalah anak Bima yang ketiga, dengan Dewi Urangayu putri Batara Mintuna atau Batara Baruna. Antasena adalah sosok yang unik, karena mewarisi tiga gen sekaligus, yaitu gen manusia, gen makhluk samudra dan gen dewa. Bentuk fisiknya khas: kulit sisik kemerahan di sekujur badannya digambarkan seperti sisik udang sehingga dia kebal terhadap segala jenis senjata; dapat hidup di darat dan bisa ambles ke dalam bumi, bisa hidup di dalam air, dan bahkan bisa terbang ke angkasa.
Dikisahkan bahwa Antasena adalah putra Bima yang paling sakti. Dia mempunyai aji Kawastraman, pemberian kakeknya sehingga dia mampu berubah wujud sesuai kehendaknya. Dari kakeknya juga dia mendapatkan Cupu Madusena yang kelak dipakai untuk menghidupkan kembali ayah dan paman-pamannya, satria Pandawa yang tewas disekap di penjara besi yang ditenggelamkan di laut oleh sekutu Kurawa yaitu Ganggatrimuka, raja Kerajaan Dasarsamodra. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Antasena berhasil membunuh Ganggatrimuka. Karena kesaktiannya sulit digambarkan, sehingga Antasena tak pernah diceritakan kalah oleh tokoh lain, bahkan oleh bangsa dewa sekalipun! Konon katanya, untuk membalikkan dunia wayang pun dia mampu.
Antasena menikah dengan Janakawati, putri Arjuna dengan Dewi Larasati. Dia akhirnya meninggal secara moksa bersama sepupunya, Wisanggeni putra Arjuna. Keduanya meninggal sebagai tumbal kemenangan para Pandawa menjelang meletusnya perang Bharatayuda. Ketika itu Wisanggeni dan Antasena menghadap Sang Hyang Wenang, leluhur para dewa untuk meminta restu atas kemenangan Pandawa dalam menghadapi Kurawa. Sang Hyang Wenang menyatakan bahwa jika keduanya ikut berperang justru akan membuat pihak Pandawa kalah. Wisanggeni dan Antasena pun memutuskan untuk tidak kembali ke dunia. Keduanya kemudian menyusut sedikit-demi sedikit dan akhirnya musnah sama sekali di kahyangan Sang Hyang Wenang.
Dalam versi India, tokoh Antasena tidak ada dalam cerita Mahabarata. Tokoh ini merupakan kreasi pujangga Jawa, pun hanya ada di wayang versi Yogyakarta. Pada wayang Surakarta, nama Antasena juga ada, tetapi Antasena yang dimaksud adalah nama lain dari tokoh Antareja. Sedangkan di Yogyakarta, Antasena dan Antareja dikisahkan sebagai dua karakter yang berbeda, walaupun keduanya sepertinya sama-sama diciptakan sebagai sosok ‘pencari’ makna kehidupan sejati, tapi nuansa tingkah-laku mereka sangat berbeda.
Di dalam pakeliran wayang Jawa, sosok Antasena menyimpan misteri tersendiri, entah karena pengejawantahan karakter Antasena itu sendiri yang samar, ataupun sengaja dibuat demikian. Konon kabarnya, memang sosok karakter Antasena ini dimunculkan sebagai penggambaran kepribadian seorang sufi. Orang menghubung-hubungkan kemunculan tokoh Antasena ini dengan semisal figur sufi kontroversial Syeh Siti Jenar atau sosok ‘sakral’ Abdul Qadir Jaelani. Oleh karenanya, tidak banyak dalang yang cukup ‘berani’ melakonkan tokoh Antasena dalam pertunjukannya. Mungkin karena penokohannya sendiri yang misterius, atau kegamangan para dalang itu yang merasa tidak cukup mampu menghidupkan karakter Antasena dari tangan mereka.
Ketika banyak orang yang khawatir akan kesaktian Antasena yang tanpa tanding itu, akankah dia melibatkan diri pada perang Bharatayuha? Dengan karakter Antasena yang’sufi’ dan ‘mahasakti’ itu justru membawa cerita kepada ketidaktarikan Antasena terhadap perang Bharatayuda. Bahkan kalaupun dalam cerita dipaksakan terlibat, ceritanya seperti penjelasan di atas; Kurawa justru akan memenangkan perang Bharatayuda.
Lalu, kira-kira karakter seperti apa kepribadian Antasena yang sangat sakti tanpa tanding itu? Tentu saja tokoh ini tidak mungkin ditempelkan pada tokoh antagonis. Karakter seperti ini pun rasanya akan hambar bila harus ada pada para ‘lakon’. Sehingga tokoh Antasena seolah-olah sebagai pelengkap dalam cerita untuk menggambarkan kemuliaan sebuah ilmu dan kebijaksanaan. Ilmu dan kebijaksanaan yang secara awam tak akan mampu dibaurkan dengan ilmu dan kebijaksanaan para tokoh wayang kebanyakan.
Antasena bisa dikesankan sebagai orang yang: angin-anginan, selesai dalam memandang dunia, dan terbebas dari sifat unggah-ungguh kehidupan kerajaan atau kepada siapapun. Ada yang kemudian memunculkan tokoh ini dengan kesan lucu dan selengekan, sebagai upaya agar tokoh Antasena bisa digagas dan diterima oleh khalayak. Tapi tetap ada juga yang berusaha menggambarkan tokoh Antasena seperti keinginan ‘dalang’nya, men-tauhid, kesufi-sufian, jauh dari keinginan dunia, dan selalu mengagungkan Sang Pencipta di setiap langkahnya.
Bagi Antasena, hampir tak ada jarak pemisah antara ‘membunuh’ dan ‘melapangkan jalan kematian’. Bedanya adalah, kalau membunuh akan dihujat dan dikutuk, sementara kalau melapangkan jalan kematian akan mendapatkan terimakasih dari si mati. (Seperti kisah gugurnya Arjunasasrabahu di tangan Resi Druwasa atau Rama Bargawa).
Ada versi lain tentang kematian Antasena. Dikisahkan bahwa dalam menempuh jalan kematian, Antasena kembali merubah dirinya sebagai ikan pari yang kemudian mengantarkan abu jenazah Bisma yang dibuang ke laut untuk dipertemukan dengan Dewi Amba di alam dasar Samodra. Dan jalan kematian itu pun seakan tak pernah selesai karena bak energy (yang dalam teori ilmu alam dikatakan tidak bisa diciptakan dan tak bisa dimusnahkan), Antasena selalu merubah dirinya ke wujud kehidupan lain setelah tugas di kehidupan sebelumnya dianggapnya sudah selesai.
(Dihimpun dari berbagai sumber)
Wallahu ‘alam bishshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H