Dada Prabu Thong Thong Sot Belgeduwelbeh mau meledak! Raja Kerajaan Sunyawibawa1) itu kecewa berat; marah, dan juga iri, bercampur-aduk menjadi satu bagai kawah candradimuka. Bagaimana tidak, di mana-mana ‘sangat telanjang’ kerakusan dipertontonkan, kebodohan dilestarikan, ketidakadilan ditegakkan, kemunafikan dibudayakan, dan kemiskinan dibiarkan. Ke negeri manapun dia menghadap, di Dwarawati, di Indraprasta (yang katanya negeri para kesatria luhur itu), di Hastinapura (apa lagi), bahkan di Jonggring Saloka (negerinya para dewa), sama saja!
1)Ada juga yang mengatakan Kerajaan Ngrancangkencana
Tantangan Prabu Belgeduwelbeh
Mulailah satu persatu para tokoh wayang di bumi maupun di Jonggring Saloka dihujatnya habis-habisan.
“Yudistira jangan sok suci! Aku tahu rencana jahatmu. Kau sebarkan tim suksesmu ke seluruh penjuru negeri, membangun opini seolah-olah kau titisan Batara Darma hanya untuk mendapatkan citra sebagai manusia suci. Mana ada manusia suci hobinya judi? Siapa bilang darahmu putih? Mungkin benar darah putih, tetapi darah putih yang rakus dengan darah merah; berarti kau mengidap penyakit Lupus! Semua kebaikanmu, semua kesabaranmu, tidak lebih hanya pencitraan semata, sehingga rakyat Indraprasta tertipu. Majulah wahai raja peragu! Akan aku penggal kepalamu; aku akan buktikan bahwa darahmu tidak lebih dari sekedar getah pohon nangka!”
“Arjuna! Satria maniak yang bisanya hanya jual tampang. Mentang-mentang ganteng, kau obral tampangmu kepada setiap perempuan. Belum puas kau dengan Supraba, kau jual tampangmu ke Larasati. Belum puas kau meniduri Larasati, kau rayu Manohara. Bosan dengan manusia, kau kawini Subadra dan Dresanala. Dan aku tahu akal busukmu, mengapa kau selingkuhi Banuwati.2) Dan yang paling menjijikkanku, kau paksa Dewi Anggraini3) untuk melampiaskan nafsu bejatmu! Itukah yang dinamakan satria sejati? Pantas julukanmu Satria Madukara; gemar memadu istri sendiri, tak mampu menyelesaikan perkaranya. Beranimu di belakang Kresna. Kalau kau memang benar-benar seorang kesatria, inilah Prabu Belgeduwelbeh, menantangmu satu lawan satu! Bakal aku tukar mukaku dengan mukamu!”
2)Dewi Banuwati adalah istri Prabu Duryudana, raja Kerajaan Hastinapura, mbarepnya Kurawa. Dia berselingkuh dengan Arjuna karena cintanya yang tak sampai kala itu. Mengetahui Banuwati diperistri Duryudana, Arjuna memanfaatkannya hanya untuk mendapatkan informasi rencana jahat Kurawa terhadap Pandawa.
3)Dewi Anggraini adalah istri Bambang Ekalaya atau Ekawaluya. Ekawaluya artinya memusatkan perhatian hanya pada satu pelajaran. Kala itu Dewi Anggraini ditinggal suaminya pergi berburu. Sekembali suaminya dari berburu, Anggraini mengadu bahwa Arjuna mau berbuat tak senonoh kepadanya, padahal sudah diingatkan dia sudah bersuami tetapi tak dipedulikan. Dikejarlah Arjuna dan terjadilah perang-tanding dan Arjuna tewas. Namun karena kisah Mahabharata mengatakan bahwa Arjuna harus ikut berperang dalam perang Bharatayuda maka oleh Kresna Arjuna dihidupkan kembali. Arjuna heran mengapa Bambang Ekalaya punya kesaktian seperti dirinya. Akhirnya diketahui bahwa kesaktian Bambang Ekalaya diperoleh dengan cara “mencuri” (mengintip) dirinya ketika diajar oleh Durna. Dihukumlah Bambang Ekalaya oleh Durna, dimintanya ia untuk melakukan dakshina (memotong ibu jarinya sendiri) dan tewaslah ia karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Bambang Ekalaya adalah contoh orang yang ulet dalam menuntut ilmu. Walaupun dari kaum nisada (orang yang hidupnya hanya dari berburu), Bambang Ekalaya mampu mengangkat derajatnya menjadi kaum satria. Lebih lengkapnya kisah ini ada pada cerita “Palguna dan Palgunadi”.
“Bongsor! Mana otakmu? Bisanya hanya mengandalkan otot. Satria yang tak peduli “go green”. Enak saja kau babat habis-habisan hutan Wanamarta; membunuhi gajah, macan, ular, dll. Tak puas kau bunuhi makhluk kasat mata, kau bersihkan juga makhluk astral. Karena ulahmu, bencana tanah longsor di mana-mana; banjir merajalela. Kau cuekin saja Basarnas sibuk mencari korban tanah longsor dan para korban banjir. Kalau kau memang satria sejati, mana tanggung jawabmu? Mana?! Hai Bima, aku Prabu Belgeduwelbeh, tunjukkan nyalimu di hadapanku!
“Kresna! Aku sudah tahu semua kelicikanmu. Mengaku-aku titisan Batara Wisnu, hanya untuk menipu; untuk mencari keuntungan pribadi! Ingat, dosa-dosamu sudah menggunung. Kau bela Arjuna yang jelas-jelas salah mengganggu istri orang. Kau benarkan anakmu Samba merebut Hagnyanawati4) yang sudah bersuami itu, dan malah kau bunuh suaminya padahal dia anakmu sendiri. Ayah macam apa kamu? Mertua macam apa kamu? Kau propagandakan kepada setiap wayang, kau tanamkan keyakinan kepada Pandawa dan Kurawa bahwa Bharatayuda mesti terjadi. Kau cegah dan bahkan kau perangi wayang-wayang yang berusaha mendamaikan trah Bharata. Bukankah itu mengadu-domba namanya? Kau sudutkan musuh-musuhmu dengan tuduhan merusak tatanan padahal kau sendiri yang merusaknya. Bukankah itu hanya akal-akalanmu saja untuk membangun kembali kejayaan trah Ramabadra? Akuilah, niatmu sudah aku baca semua. Inilah saatnya, Prabu Belgeduwelbeh akan menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah! Serahkan Dwaraka kepadaku, kalau tidak ingin kulitmu kujadikan lebih hangus lagi!!”
4)Dewi Hagnyanawati adalah putri Prabu Narakasura raja Negara Prajatisa/Surateleng, diperistri oleh Bomanarakasura,yang kemudian menggantikan mertuanya menjadi raja. Bomanarakasura adalah kakak Samba.
“Hai para Kurawa, aku tidak perlu lagi mengungkit-ungkit keangkaramurkaan dan kebiadaban kalian yang sudah tercecer dimana-mana. Tunggulah, sebentar lagi aku, Prabu Belgeduwelbeh akan menunjukkan kepada kalian, bahwa akulah yang layak duduk di singgasana Kerajaan Hastinapura. Akulah yang layak menggantikan Duryudana, Destarastra, Bisma, Durna, apalagi Sengkuni. Menyerahlah kalian. Atau kalau kalian masih ragu, kumpulkan semua kekuatan yang kalian miliki, majulah bersama-sama. Itu lebih baik bagiku untuk membereskan kalian semua dengan segera!”
Tidak hanya kepada para wayang bumi Prabu Belgeduwelbeh menghujat habis-habisan. Kepada para wayang dewa pun demikian.
“Aku ingin katakan pula kepada kalian, wahai para dewa! Jangan mentang-mentang kalian berada di Jonggring Saloka, sehingga dengan mudah kalian memainkan segala gelombang dan sinyal yang ada di Marcapada5). Wahai Manikmaya, aku sudah tahu rencana kejimu. Mengapa kau utus Batara Wisnu nitis ke Kresna. Kau salahgunakan informasi, kau rancang skenario segala urusan wayang Marcapada, dan kau jadikan Kresna menjadi corongmu. Kalian bangga dan berbesar kepala manakala para wayang Marcapada menjilatmu, merengek-rengek minta kesaktian kepadamu. Wahai dewa palsu, lepaskan semua baju kebesaranmu, tunjukkan siapa sejatinya dirimu. Ini, Prabu Belgeduwelbeh tak segan-segan akan menelanjangimu!”
5)Dikisahkan bahwa dalam memonitor segala kejadian yang ada di alam Marcapada (bumi), para dewa cukup melihat asap yang keluar dari Gunung Mahameru. Selain itu, Batara Guru sendiri punya alat semacam kotak kecil berisi “tirta kamandanu” yang bernama Cupu Manik Astagina. Cukup hanya dengan melihat cupu itu Batara Guru dapat mengetahui peristiwa apa saja yang terjadi di Jagad Dhuwur, Jagad Tengah dan Jagad Isor. Oleh karena itu Batara Guru diberi gelar dewa penguasa Triloka.
Hujatan demi hujatan, makian demi makian terus saja menggema di seantero jagad pewayangan. Walaupun tanpa kehadiran para wayang, gelombang suara Prabu Belgeduwelbeh bak peluru torpedo, mencari sasarannya masing-masing hingga menghujam ke dada setiap wayang yang merasa dihujat. Bukah hanya para wayang yang tercengang, para dalang pun ikut tercengang mendengar hujatannya.
Sepanjang perjalanan, Prabu Belgeduwelbeh dan pasukan pilihan Kerajaan Sunyawibawa membuat geger dan ketakutan penduduk setempat. Dibawanya semua jenis senjata dari berbagai merek. Dari senjata kasat mata sampai senjata rahasia, dari senjata tidak sakti sampai senjata sakti, dari senjata darat, senjata laut, maupun senjata udara. Tak ada yang tertinggal. Seolah-olah Prabu Belgeduwelbeh ingin mengatakan: “Menyerahlah kalian semua, wahai Pandawa, Kurawa, Kresna, Baladewa, para dewa, dan semua umat wayang, sebelum kekuatan Prabu Belgeduwelbeh unjuk gigi!”.
Bima mengadu kepada Prabu Kresna
Bima (Werkudara) bergegas pergi ke Negara Dwarawati meminta petunjuk Prabu Kresna. Dia mengeluh dan mengadu kepada Kresna karena di Negara Indraprasta tak kunjung usai “pageblug”. Penyakit merambah ke mana-mana dan menyerang siapa saja tanpa pandang bulu; pagi sakit – sore mati; siang sakit – malam mati. Semua jenis tanaman selalu gagal panen, hampir di setiap wilayah dilanda kekeringan. Perceraian dan kejahatan terjadi setiap hari, kegiatan ekonomi lesu, pengangguran di mana-mana.
“Apa sebabnya yayi?” tanya Kresna.
Dengan suara bergetar Bima menjawab: “Jamus Kalimasada hilang, jlitheng kakangku!”
Padahal istana Amarta bersih dari bekas-bekas penyusupan. Tembok tak ada yang jebol, dinding-dinding istana bersih dari jejak atau benda apapun yang mencurigakan. Tetapi Jamus Kalimasada hilang, lenyap secara misterius.6)
6)Para satria Pandawa sama sekali lupa terhadap kasus “Mustakaweni”. Karena pada waktu itu mereka semua sedang konsentrasi menyelesaikan masalah pemugaran Candi Saptarengga yang tak kunjung selesai. Untuk mengingat kembali, baca kisah “Mustakaweni (Hilangnya Pusaka Jamus Kalimasada)”.
“Sudahlah, hapus air matamu. Jadi lelaki jangan gampang mengeluarkan air mata. Kalau lelaki gampang mengeluarkan air mata, tulang yang keras jadi rapuh, otot yang ulet jadi methel, nadi yang kedap jadi bocor”, Kresna mencoba menasehati.
Bima: “Lalu bagaimana caranya supaya Jamus itu kembali kakang?”
Kresna: “Lho, sekarang saya tanya balik, kamu mau Jamus itu kembali atau tidak?”
Bima: “Ya, mau kakang, tapi bagaimana caranya?
Kresna: “Sudah. Sekarang, endapkan rasamu, bersihkan batinmu dari praduga-prasangka buruk. Bersihkan jiwamu. Ayo, sekarang kita sama-sama mohon petunjuk kepada Gusti kang akarya jagad. Inilah cara menemukan Jamus Kalimasada!”
Kresna: “Aku ingin bertanya, apakah sudah kau renungkan, mengapa Jamus Kalimasada hilang dari Pandawa? Sebab kalian lupa, bahwa manusia punya mutiara; mutiara itu adanya di akal. Mutiaranya akal adalah ilmu; ilmu yang tak bisa hilang walaupun pemiliknya mati. Tahukah kamu mengapa bantalnya orang mati itu dinamakan “gelu”? Gelu artinya “ora bisa tugel barang kang telu”. Pertama: sedekah/amal jariyah, kedua: ilmu yang bermanfaat, ketiga: anak shaleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya. Nah, sekarang ilmunya Pandawa buat apa? Kenapa Pandawa sekarang beda dengan Pandawa yang dulu? Yudistira yang terkenal jujur, mengapa tidak bisa menularkan sifat kejujurannya kepada adik-adiknya? Sekarang dzikirnya Pandawa aku lihat cuma dua: pertama, janji-janji kepada rakyat, kedua, membohongi rakyat. Rakyat tidak butuh slogan, tidak butuh janji, tidak butuh angin sorga. Kalian ceramah ke mana-mana, kasih motivasi ke mana-mana, tetapi kelakuan kalian berbalik 180 derajad!”
Kresna: “Jamus Kalimasada juga begitu; jangan dilihat fisiknya saja. Jangan hanya dijadikan bahan ceramah saja. Harus dibuktikan! Coba, saya mau bertanya, bagaimana caranya Pandawa mengurusi fakir-miskin? Gunakan akhlakmu. Mengapa sekarang kalian bisa tidur mendengkur sementara tetangga di sebelah kalian gelisah tak bisa tidur karena menahan lapar? Jangankan swargaloka, baunya saja haram bagi kalian, jika kalian tetap demikian. Makanya, kenapa Jamus Kalimasada minggat dari Amarta, tak lain karena hawa panas yang kalian ciptakan sendiri. Aku tahu, dumeh Jamus Kalimasada di tangan kalian, lantas kalian merasa suci. Jamus Kalimasada itu apa sih? Cuma kertas, kertas yang berisi kalimat. Yang membuat sakti itu sejatinya adalah bagaimana kalian menerjemahkannya ke dalam laku yang murni, sumarah dan istiqomah. Mutiaranya ilmu adalah amal, mutiaranya amal adalah akhlak, mutiaranya akhlak adalah iman. Faham?”
Setelah panjang-lebar Prabu Kresna menasehati Bima, datang ke hadapannya Gatotkaca. Sambil terengah-engah Gatotkaca memberi kabar bahwa Negara Indraprasta dibedah dan sekarang dalam kekuasaan Prabu Belgeduwelbeh dari Kerajaan Sunyawibawa. Kini, pasukan Sunyawibawa bergerak merangsek menuju Negara Dwarawati. Bagai disengat lebah, Prabu Kresna kaget dan setengah percaya tak percaya mendengar kabar itu.
Kresna: “Jagad dewa batara, jagad pangestungkara. Itu kurang ajar betul namanya. Terima kasih Gatot beritanya”.
Bima: “Nah, sekarang mau tidak mau Dwarawati harus terlibat. Sekarang apa sikapmu, jliteng kakangku?”
Prabu Baladewa yang kebetulan berada di Dwarawati dan sejak tadi mengikuti kejadian ini menyahut: “Kalau Belgeduwelbeh coba-coba menginjak Mandura, jangan harap dia pulang membawa badan!”
Kresna: “Baiklah. Mari kita hadapi bersama!”
Penyerangan Prabu Belgeduwelbeh ke Negara Dwarawati
Maka, melawanlah pasukan Prabu Kresna untuk menahan gempuran pasukan Prabu Belgeduwelbeh. Pasukan Belgeduwelbeh terus merangsek maju masuk ke tapal batas Negara Dwarawati. Pasukan Kresna semakin kewalahan menahan gempuran pasukan Belgeduwelbeh yang semakin mengganas itu.
Setyaki meladeni Prabu Krida Manggala. Satria dari Lesanpura itu mati-matian menahan serangan patih utusan Prabu Belgeduwelbeh itu. Pertarungan cukup seimbang. Masing-masing mengeluarkan senjata canggihnya. Akhirnya, Setyaki berhasil mengakhiri duel maut itu. Prabu Krida Manggala tewas oleh pedang Mangebama Setyaki.
Sementara itu Gatotkaca “membeli” tantangan Prabu Bondan Sumirat. Rupanya patih yang juga utusan Prabu Belgeduwelbeh itu tidak bisa dianggap remeh. Pukulan dan tendangannya bagaikan Gada Rujakpala-nya Bima. Bagai burung dadali, Gatotkaca berusaha mengimbangi serangan-serangan Prabu Bondan Sumirat yang kesetanan itu. Begitu Bondan Sumirat lengah, secepat kilat bogem mentah Gatutkaca bersarang di rahang, di dada, dan di perut Bondan Sumirat. Aji Brajamusti telah mengakhiri riwayat Bondan Sumirat.
Belum sampai di tapal batas Negara Dwarawati, Prabu Belgeduwelbeh dihadang Prabu Baladewa. Tanpa banyak bicara, satria temperamental itu langsung menghajar Prabu Belgeduwelbeh; menendang, menghantam, dan membantingnya. Pertarungan tampaknya tak seimbang. Prabu Belgeduwelbeh dijadikan bulan-bulanan. Tetapi aneh; Prabu Belgeduwelbeh seolah tak merasakan apa-apa. Prabu Baladewa kehabisan akal. Kini gantian, Prabu Baladewa dikeplek-keplekkan, dibejek-bejek, dibanting ke kiri, dibanting ke kanan, ditendang-tendang bagai bola oleh Prabu Belgeduwelbeh. Melihat lawannya yang ternyata tidak bisa dianggap enteng itu, Prabu Baladewa mulai berpikir menggunakan senjata pamungkasnya, Nenggala. Begitu Nenggala dilemparkan, secepat kilat Prabu Belgeduwelbeh menjemputnya dengan aji Luluhjiwa. Dan di luar prediksi, … lemah-lunglailah Prabu Baladewa. Raja Kerajaan Mandura itu bertekuk lutu, menangis merengek-rengek di hadapan Prabu Belgeduwelbeh, tetapi tak dipedulikan; justru raja Sunyawibawa itu tertawa terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha-ha, sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Para patihku, kita tak perlu ke Negara Mandura. Kalian semua telah mendengar sendiri, bahwa hari ini Prabu Baladewa, raja Kerajaan Mandura telah bertekuk lutut di hadapanku!”
Kemudian Prabu Belgeduwelbeh memanggil Prabu Panjigelung, patih kepercayaannya, untuk memenjarakan Prabu Baladewa.
Perang belum sehari tetapi darah sudah tergenang di mana-mana dan mulai menganak sungai. Tewasnya Prabu Krida Manggala dan Prabu Bondan Sumirat setidaknya memperlemah pasukan Sunyawibawa. Sesuai janjinya, Prabu Belgeduwelbeh tidak membiarkan hal itu terjadi. Tanpa membuang-buang waktu, Prabu Belgeduwelbeh maju sendiri membereskan peperangan itu. Ditembakkannya pusaka aji Luluhjiwa. Pertama ke arah Setyaki, Setyaki tak berdaya; kedua ke Gatotkaca, Gatotkaca juga tak berdaya; ketiga ke Antareja, Antareja juga tak berdaya; keempat ke Antasena, Antasena juga tak berdaya; kelima ke Bima, Bima pun tak berdaya. Kemudian semuanya dipenjarakan.
“Kalian yang terpenjara, tidak usah khawatir. Masing-masing akan aku beri jabatan yang pas. Baladewa, kau tetap di Mandura; tepatnya Provinsi Mandura. Kau cukup jadi gubernur saja. Setyaki, bantulah Baladewa dan posisimu cocok sebagai Sekdaprov di sana. Gatotkaca, karena kau suka terbang maka kau pantas jadi Panglima Angkatan Udara Negara Sunyawibawa Raya. Antasena, aku perlu menteri perhubungan seperti menterinya Jokowi; dan kau pas di posisi itu. Antareja, karena kesaktianmu bisa menembus dan berjalan di dalam bumi, aku angkat engkau jadi Menteri ESDM. Dan terakhir Bima, engkau pantas menjadi Menhankam/Pangab Negara Sunyawibawa Raya. Tetapi ingat, kalian harus mentaati segala perintah-perintahku dan menjauhi segala larangan-laranganku. Ha-ha-ha-ha …”.
Selesai menaklukkan Indraprasta, Mandura, dan sebentar lagi Dwaraka, membuat Prabu Belgeduwelbeh jumawa, lupa daratan, sekaligus lupa lautan. Selanjutnya dia berencana akan menyerang Jonggring Saloka. Namun, penasehatnya, Prabu Jangkahwuri buru-buru mencegahnya, mengingatkan bahwa masih banyak negara di Marcapada yang belum ditaklukkan Prabu Belgeduwelbeh; yaitu Negara Hastinapura, Negara Wirata, Negara Magada, Negara Gandara, Negara Mandaraka, Negara Kasindra, dll. Dan yang mengherankan dan perlu diwaspadai adalah, di mana Kresna saat ini? Mengapa dia tiba-tiba menghilang? Jangan-jangan Kresna sengaja menghilang untuk menyusun siasat. Demikian nasehat Prabu Jangkahwuri kepada sang raja. Raja Dwarawati itu memang terkenal ahli strategi. Prabu Belgeduwelbeh mulai berpikir ulang dan lebih waspada.
Prabu Kresna bertemu Kyai Semar
Prabu Kresna tidak ambil pusing dengan nasib negaranya yang kini sudah dikuasai Prabu Belgeduwelbeh. Yang penting sekarang mencari akar masalahnya dan bagaimana penyelesaiannya. Percuma saja Prabu Belgeduwelbeh dihadapi dengan cara kekerasan dan pertumpahan darah kalau tidak tahu apa kelemahannya. Oleh karena itu Prabu Kresna menemui Kyai Semar untuk meminta bantuan.
“Mengapa semua ini harus terjadi kakang Semar? Siapa sebenarnya Prabu Belgeduwelbeh itu? Adakah kaitannya dengan hilangnya pusaka Jamus Kalimasada?”, tanya Kresna.
Semar: “Den, derajat sampeyan Wisnu, derajad saya Ismaya. Mari kejadian ini kita baca bersama-sama. Ibarat buah catur, mengapa ini melangkah ke situ, mengapa itu melangkah ke sini. Perkara bendara saya, perkara pejabat saya, sama dengan perkara negara saya. Jika membahas perkara negara, cukup saya sendiri yang mengupasnya. Tetapi ini bukan perkara negara. Saya lambang rakyat, sedangkan Pandawa dan sampeyan lambang pejabat. Biarlah saya yang mastur (kerja), sampeyan yang masyhur. Biarlah sampeyan yang dapat nama, saya tidak perlu nama; asalkan yang menyandang nama menggunakannya untuk ketentraman dan kesejahteraan sesama dan menjadi penyangga kebenaran. Saya akan coba mengurai rumitnya permasalahan ini. Sekarang sampeyan tunggu di sini saja karena sampeyan diancam Prabu Belgeduwelbeh. Saya akan ke alam “Prajiman”, mau tanya kepada bapaknya Petruk.”
Kresna: “Ke alam Prajiman?”
Semar: “Ya, alam Prajiman. Ketahuilah Den, alam itu ada empat. Pertama alam nasut atau alam rohani; tempatnya arwah, roh, jin, dan mertayangan. Kedua alam malakut; tempatnya malaikat melaksanakan segala titah Tuhan. Ketiga alam jabarut; tempatnya manusia. Dan keempat alam lahut; tempatnya Gusti kang akarya jagad.”
Kresna: “Kalau begitu alam mana yang akan engkau masuki kakang Semar?”
Semar: “Dulu, Petruk pernah diasuh oleh bapaknya, yaitu bangsa jin yang bernama Gandarwaraja. Saya akan masuk ke alam nasut, sampeyan tunggu di sini saja. Jangan pergi sebelum saya kembali”.
Kresna: “Baktiku, selamat jalan kakang”.
Semar bertemu Gandarwaraja
Semar kemudian mengheningkan cipta, tiwikrama, masuk ke alam nasut. Di alam nasut, Semar bertemu Gandarwaraja, membicarakan masalah Petruk. Semar bertanya mengapa beratus-ratus tahun Gandarwaraja tidak pernah mengirim makanan kepada anaknya Petruk.
Gandarwaraja: “O’o’o’o… kakang Semar, sejak kematian ibunya, aku tidak ingin anak-anakku kelak mempunyai watak seperti bangsa jin. Aku ingin Bambang Penyupercukilan (Petruk) dan Bambang Sukodadi (Gareng) benar-benar menjadi manusia seutuhnya. Bila aku masih menyuplai makanan kepada mereka, aku khawatir sifat-sifat jin akan merasuki mereka”.
Semar: “Sebentar! Kamu enak saja beralasan ini-itu. Aku yang sekarang jadi bapaknya menyangga masalah. Kalau memang bukan anaknya jin, mengapa Petruk sekarang minggat dari Karangkadempel? Yang saya khawatirkan adalah, barangkali, ini masih barangkali lho, barangkali gen jin-nya lebih dominan daripada gen manusianya”.
Gandarwaraja: “Jadi …?”
Semar: “Jadi, perkara Petruk aku pasrahkan kepadamu. Sebab, hilangnya Petruk ini ibarat petasan renteng yang apabila disulut satu, yang lainnya ikut meledak. Pusaka Jamus Kalimasada hilang, Negara Indraprasta “bedhah”, Dwarawati “sekarat”. Ini tadi malah Prabu Belgeduwelbeh juga akan “mbedhah” Negara Hastinapura”.
Mendengar cerita itu lantas Gandarwaraja mencari Petruk. Begitu ditemukan di dekat perbatasan Negara Hastinapura, barulah mengerti apa permasalahannya. Gandarwaraja tahu bahwa Prabu Belgeduwelbeh adalah Petruk yang sekarang telah menguasai Jamus Kalimasada. Jamus itu ditaruh di dalam mahkotanya. Tanpa membuang-buang waktu, dicengkeramnya krah Petruk dari belakang dan Petruk pun kaget begitu melihat siapa yang berani mencegahnya.
Gandarwaraja: “Walaupun aku jin, tetapi melihat kelakuanmu yang mengobrak-abrik tatatan yang sudah baik, aku tidak terima. Hidupmu hanya dipenuhi kesinisan, kebencian, kesombongan dan angkara murka; mentang-mentang kau digdaya. Tahukah kamu, siapa aku? Aku adalah Jin Gandarwaraja. Siapa di belakangmu itu?”
“Aku Prabu Jangkahwuri, penasehat Prabu Belgeduwelbeh”.
“Belakangnya lagi?”
“Aku Patih Panjigelung, asistennya”.
Gandarwaraja: “Kalian akan menggempur Hastinapura, berarti kalian akan merusak tatanan. Ketahuilah, perang Bharatayuda sudah ditetapkan. Bharatayuda harus jadi untuk mengadili orang-orang yang berbuat kezaliman, untuk membalas segala karma, tanpa pandang bulu. Jika kalian memaksakan diri, berarti kalian akan merusak takdir yang sudah digariskan”.
Prabu Belgeduwelbeh: “Jangan banyak bacot kamu Gandarwaraja. Buktikan keperkasaanmu sekarang juga di hadapanku. Nih, Prabu Belgeduwelbeh! Siapa yang menghalangi aku, berarti musuhku. Minggat!!”
“Aku mau minggat kalau sudah menelanjangi pakaianmu!”
“Bajjingan!!” geram Prabu Belgeduwebeh sambil menendang Gandarwaraja.
Terjadilah perang-tanding. Mula-mula, Gandarwaraja berhadapan dengan Patih Panjigelung. Keduanya sama-sama ulet. Namun, tak lama kemudian Patih Panjigelung dapat diringkus. Berkata Gandarwaraja: “Kamu seorang dewa, mengapa ikut-ikutan mengurus masalah dunia? Buka bajumu, Narada!”. Terbukalah kedok Patih Panjigelung yang ternyata Batara Narada.
Berikutnya Prabu Jangkahwuri; begitu akan melawan Gandarwaraja, dicegah oleh Batara Narada. Dimintanya Prabu Jangkahwuri untuk membuka kedoknya; dia ternyata Batara Guru.
Batara Guru: “Ketahuilah Gandarwaraja, aku dan kakang Narada melakukan ‘memba-warna’ ini agar anakmu yang sedang kesurupan itu tidak mengobrak-abrik kahyangan. Para dewa di Jonggring Saloka sadar, bahwa mereka tidak akan mampu membendung serangan anakmu karena dua jimat ampuh sekaligus berada di tangannya. Jamus Kalimasada membuat dirinya merasa berada di pihak yang benar. Sedangkan Aji Luluhjiwa membuat dia semakin percaya diri. Kedua jimat inilah yang membuatnya mampu menundukkan siapa saja termasuk para dewa. Sekarang, karena kamu adalah bapaknya, terserah kamu, bagaimana cara mengatasinya”.
Gandarwaraja sangat berterima kasih mendengar penjelasan dari Batara Guru. Kemudian kedua dewa itu pamit untuk kembali ke kahyangan sambil mengawasi sepak terjang Prabu Belgeduwelbeh selanjutnya.
Gandarwaraja menghadang Prabu Belgeduwelbeh. Terjadilah perang-tanding karena sang Prabu masih membangkang. Tak mau lama-lama berperang-tanding, Prabu Belgeduwelbeh melemparkan Aji Luluhjiwa ke arah Gandarwaraja. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata aji itu sama sekali tidak membawa efek apapun kepada Gandarwaraja dan dipungutlah aji Luluhjiwa olehnya.
Gandarwaraja: “Jangan dianggap tapak sama tingginya. Jangan dianggap garam sama asinnya, tholee. Aji Luluhjiwa ini kan dulu punyaku. Tahukah kamu, aku berikan ajian ini ke Semar, kemudian diberikan kepadamu, karena Semar minta kepadaku agar engkau tidak dibully oleh teman-temanmu. Kau kira kamu ini siapa, oh Petruk, Petruk.”
Melihat aji Luluhjiwa tidak “ngefek” di hadapan Gandarwaraja, tentu saja membuat Prabu Belgeduwelbeh grogi. Begitu aji Luluhjiwa dalam genggaman Gandarwaraja, seketika itu juga Prabu Belgeduwelbeh berubah wujud …., menjadi Petruk kembali.
Oleh Gandarwaraja aji Luluhjiwa itu akhirnya disimpan kembali di dalam perut bumi dan dikunci dengan kunci Tilebrana.
Nasehat Semar kepada Petruk
Di Dusun Kembangsore, Petruk yang masih setengah pusing dan setengah bingung itu mendapatkan nasehat dari bapaknya, Semar Badranaya. Istri Petruk, Dewi Undanawati, dengan setia mendampinginya sambil mengoleskan balsam di keningnya.
Semar: “Segala sesuatu itu kalau tidak pada tempatnya pasti rusak, pasti kacau tholee. Sapi itu tempatnya di kandang, bukan di dalam rumah. Petani itu alatnya cangkul, bukan panah. Seniman itu ya berkarya seni, bukan berpolitik, jangan dibalik-balik. Kamu itu siapa? Ngaca le, ngaca! Orang kalau tidak mampu menyangga derajad ya begini ini jadinya. Kamu berteriak sebagai pembela kebenaran dan keadilan; terus ingin mengubah tatanan dunia dan kahyangan, tetapi dengan cara kekerasan. Apakah itu yang dinamakan pembela kebenaran dan keadilan? Berapa banyak manusia yang tak tahu apa-apa mati sia-sia gara-gara ulahmu ini. Berapa banyak manusia yang hidup dalam ketakutan, juga gara-gara ulahmu. Kau kira Tuhan berada di pihakmu apa? Itu namanya Tuhan (Gusti kang Akarya Jagad) kau monopoli. Jangan sekali-kali kau ulangi perbuatanmu itu ya, tholee. Kembalilah kepada jatidirimu sendiri”.
Setelah itu Petruk dibawa Semar ke suatu tempat untuk diruwat, atau tepatnya dirukyah selama seratus hari untuk membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran hati. Dan Jamus Kalimasada dikembalikan kepada Prabu Yudistira.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H