Nomor peserta: 343
Batuk itu kembali hadir.
Seperti yang sudah-sudah mak, ketika rasa tak berdaya dan kesal telah memuncak walau belum mampu memeras derai mata, batuk itu menyela sesekali di antara rasa panas yang menghimpit dan menyesakkan napasku. Batuk ini mak, jelas saja menambah daftar panjang hal yang paling kubenci dalam hidup ini. Yah, walau memang tidak menempati posisi yang teratas.
Mak pasti sudah tahu jikalau posisi teratas dalam dalam hal itu tentu ditempati oleh hal yang membuat aku merasa kesal, marah, dan tak berdaya disaat yang bersamaan; Hutang mak!
Tahun-tahun belakangan mak, hidup keluarga kita semakin memburuk. Meroketnya harga barang-barangberbanding terbalik dengan penghasilan kita yang tetap segitu-segitu saja mungkin jadi penyebab utama menumpuknya hutang keluarga kita, ditambah dengan tidak adanya Bank di daerah kita yang bersedia memberikan pinjaman tanpa jaminan—memangnya apa ya mak, yang bisa kita jadikan jaminan selain nyawa yang pasti bakal ditolak mentah-mentah—membuat kita terpaksa meminjam uang pada rentenir dengan bunga tinggi sehingga semakin mencekik leher kita.
Maka jadilah setiap hari mak, kau harus bekerja keras untuk menutup kebutuhan hidup kita sampai tak jarang kau harus lembur kerja demi mengejar upah lemburan yang menurutmu lumayan. Penghasilanku sebagai buruh kasar tak ubahnya sekedar uang tambahan untukmu membeli garam.
“Mbok sudah to le, jangan manyun terus begitu nanti batukmu gak berhenti-berhenti lho!” Kau berkata membuyarkan lamunanku.
Baru kemarin mak, salah satu rentenir itu datang menyambangi rumah kita, menjelaskan jumlah total baru yang harus kita lunasi bulan depan. Tak kurang dan tak lebih mak dari sepuluh juta, tapi sudah cukup untuk membuat kita susah tidur berhari-hari. Cerca serapahnya membungkam nyaliku, dan rasanya juga kulihat gesture tubuhmu mengkeret memandang sorotnya yang memancarkan hinaan.
“Tapi mak, aku tak terima!” Aku berdiri menjawab agak keras. “kita ini bukan peminta-minta!”
“Walah yo wis ta le, sing sabar.” Ucapmu berusaha menenangkan hatiku “udah ayo berangkat, keburu siang nanti!”
Aku hanya diam mak, melangkah pelan di belakangmu keluar dari ruang depan rumah kecil kita. Tempat kerja yang searah membuat kita selalu bisa berangkat bersama sambil bercengkerama.
“Angga anak emak yang paling cakep, jangan lupa lho emak nanti lembur lagi.” katamu setelah menggerendel pintu rumah.
“Lagi mak?”Aku bertanya tak memedulikan pujian yang kau lontarkan sebelumnya.
“Iya, kan kamu ngerti sendiri to, kita lagi butuh banyak uang buat bayar hutang.”
Lagi-lagi aku tertunduk mendengar jawabmu. Ah, andai saja aku bisa memberimu kehidupan yang layak mak, pasti kau tidak perlu bekerja terlalu keras di hari tuamu.
Kau tarik lenganku lebih dekat ketika ada motor memotong langkah kita dari samping. “Jangan lupa jaga adikmu baik-baik dan jangan berbuat yang aneh-aneh.”
Kali ini aku tertawa mendengar ucapmu “memangnya mak mau kemana? Gak pulang?”
Kau hanya diam dan mengelus rambutku sebagai jawabannya.
Aku sadar kau serius. “Iya mak, aku pasti bakal jagain Dinar dengan baik sebagai ganti bapak.”
“ya sudah, sana gih! Nanti kamu telat.” Kau melempar pandangmu pada gerbang pabrik tempatku bekerja “hati-hati ya le.”
Entah kenapa mak, wajah bapak yang telah berpulang lebih dari empat tahun yang lalu terbayang sekilas sebelum aku meraih tanganmu dan menciumnya. “aku pamit dulu ya, mak juga hati-hati!”
Aku melangkah ke arah pintu gerbang, menoleh sejenak aku masih melihatmu berdiri di sana mak, tersenyum melambaikan tangan kemudian melanjutkan perjalanan,
Saat itu mak, aku tak pernah menyangka jikalau itu adalah senyum terakhir yang bisa kulihat dari damai wajahmu.
***
Jam sembilan malam.
Ini berarti sudah lebih dari satu jam aku duduk menemani segelas teh hangat yang aku siapkan untuk menyambut kedatanganmu. Titik-titik air yang banyak menempel di sekeliling bibir gelas menunjukkan teh itupun sudah dingin karena tak segera diminum.
Terus saja kuhujani segelas teh bertutup itu dengan sorot gelisah. Aku khawatir terjadi sesuatu padamu mak. Karena biasanya ketika jarum jam menunjukkan pukul delapan kau sudah berada di ruangan ini menceritakan bagaimana harimu berlalu di tempat kerja.
Aku khawatir mak, kau memaksakan raga tuamu bekerja untuk mendapat uang lebih mengingat beberapa hari ini aku sering memergokimu melihatku dengan tatap sendu, seperti kasihan bercampur malu atas apa yang terjadi dalam keluarga kita.
Bila sudah begitu biasanya aku akan memegang telapakmu, menggerak-gerakkan jariku di sana seakan melukiskan mimpi-mimpi, berujar tentang harapan bahwa suatu saat nanti semua ini akan berakhir dan segalanya akan baik-baik saja.
Rasa khawatirku semakin menjadi tatkala kusadari tak terasa sudah hampir setengah sebelas dan kau belum juga pulang. Aku berjalan mondar-mandir setelah menengok Dinar yang sudah lelap tertidur di kamarnya.
“Tak ada apapun yang terjadiaku yakin.Mak, kau pasti baik-baik saja dan dalam perjalanan pulang.” Kubisikkan kalimat itu sambil menjelajah isi ruang depan guna menyamarkan rasa gelisah.
Meja-kursi kayu reyot yang menjadi tempat favoritmu melepas lelah adalah ornamen paling menonjol di ruangan ini selain rak buku berhias beberapa bingkai foto yang menempel pada dinding bambu.
Salah satu foto di sana menggambarkan keluarga kita yang masih utuh mak; bapak, aku dan seorang gadis kecil—Dinar—tampak tersenyum mengelilingimu di balik bingkai. Aku merindukan masa-masa itu mak. Kuulurkan tangan untuk mengambil bingkai berdebu itu.
Plukk!!!
Sebuah amplop putih jatuh di kakiku yang seketika itu juga langsung kusambar. Masih tampak baru. Kuletakkan bingkai itu di meja seraya duduk di kursi membuka keliman amplop.
Inilah yang tertulis di sana:
Mak pergi, mak sudah lelah melihatmu dan adikmu menderita. Mak juga kepengin memenuhi permintaan dan membahagiakan kalian berdua. Mungkin inilah jalan yang tepat buat emak mewujudkan keinginan emak. Maafin emak karena pergi diam-diam. Inget pesan emak, jaga adikmu baik-baik dan jangan berbuat yang aneh-aneh. Inget siapa kita!
Emak janji bakal cepat pulang.
Salam sayang selalu.
Emakmu
Selesai membaca bisa kurasakan seluruh tubuhku gemetar. Aku tahu mak, sudah terlambat untuk mengejarmu karena kau pasti sudah jauh, di samping itu aku tak tahu kau pergi kemana. Mak, belum apa-apa aku sudah merindukanmu.
Aku tercenung mengingat kejadian dua hari yang lalu. Waktu itu kau mengutarakan keinginanmu untuk menjadi TKW ke luar negri yang jelas saja aku tentang habis-habisan, tapi takkusangka kau bakal nekat pergi diam-diam.
Aku merasa bingung sekaligus cemas mak, memikirkan bagaimana kelanjutan garis takdir kita.Apa yang harus aku katakan pada putrimu mak? Aku bahkan tidak tahu bagaimana mengungkapkan hal ini pada seorang gadis kecilberumur tujuh tahun.
Tenggelam dalam rasa sedih,bingung dan gelisah terus saja kutatap surat itu dengan pandang penuh keputusasaan berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk dan aku akan terbangun esok harinya mendengar damai suaramu menarikku dari alam mimpi.
***
Sayangnya itu semua bukan mimpi dan 2 bulan sudah berlalu.
Pagi ini mendung yang menggantung di langit menghalangi cahaya mataharimenghangatkan pelataran rumah kita yang penuh oleh deretan rapi kursi plastik. Dari tempatku duduk bisa kulihat di ujung jalan sana sebatang bendera merah menyalatampak diikatkan pada tiang listrik. Sebuah penanda.
Kali ini mak, tak ada sengal, bahkan rasa panas menyesakkan yang biasanya menghadirkan batuk. Semuanya luruh bersama air mata yang sepertinya enggan berhenti mengalir.
Kedua lenganku memeluk Dinar yang terus saja menangis mengguncang-guncang tubuhmu yang seluruhnya sudah berselimut kain jarit.
Ini kenyataan mak, kepergianmu pada akhirnya berbuah petaka. Dua bulan menghilang tanpa kabar, tanpa jejak, ternyata di negri orang kau diperlakukan bak budak oleh majikanmu. Tadi bisa kulihat dengan jelas mak, bilur-bilur luka yang masih membekas di sekujur lengan dan kakimu. Bekas apakah itu? Kesakitankah kau kala itu? Serta belasan pertanyaan lain berkecamuk dalam benakku yang kesemuanya berujung pada satu pertanyaan. Kenapa semua ini bisa terjadi padamu?
Sempat aku bertanya pada orang-orang yang mengurus kepulanganmu, namun sayang mereka hanya menggeleng lemah sambil berkata; kami tidak tahu apa yang terjadi.
Aku marah mak, muak dengan jawaban semua orang-orang itu. Tapi apa yang bisa kulakukan selain menerima bahwa kau sudah tiada, dijelaskanpun aku ragu bisa mengerti apa yang sudah terjadi. Tapi meskipun begitu aku berterimakasih pada mereka mak, setidaknya mereka mau membawamu pulang pada kami mak.
Jemariku erat menggenggam kertas lecek yang terlipat beberapakali—surat terakhir sebelum kepergianmu. Benda itu menjadi satu-satunya benda yang yang kuanggap paling dekat dengan kehangatan kasihmu. Segala kenangan tentang senyum, ketegaran dan keteguhanmu berpusar dalam pikiranku. Mengapa harus berkhir seperti ini mak?
Aku mengangkat tubuh Dinar lebih dekat ke arahmu. Memelukmu untuk yang terakhir kalinya setelah sekian lama kau pergi meninggalkan kami. Sebuah peluk selamat datang dan juga perpisahan.
Suasana rumah mulai ramai oleh pengurus jenazah dan tetangga sekitar yang berniat membantu mengurus pemakaman.
Tak kupedulikan mereka semua, kami hanya ingin memelukmu sejenak lebih lama.
“Mak, kesedihan ini rasanya begitu pekat. Tapi aku akan bertahan dan mengingat semua pesanmu.” kubisikkan kalimat itu ke telingamu.
Tahu, entah di mana kau pasti bisa mendengar bisik ini “baik-baik di sana ya mak, peluk terakhir kami selalu untukmu.”
NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community, akun Fiksiana: http://www.kompasiana.com/androgini
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H